Anak yang menuntut perhatian penuh dari orang tua ini, menurut Endang, bisa juga lantaran ia pernah mengalami kehilangan masa kelekatan dengan orang tua, yang terjadi di usia 0-3 tahun. "Jika di usia batita anak mengalami sakit yang lama hingga harus dirawat di rumah sakit meskipun tak terus-menerus, tapi anak akan kehilangan masa kelekatan ini." Hingga, kala telah pulih kembali, ia butuh perhatian lebih dari orang tua.
Ditambah lagi, pada usia 4 tahun, anak pun telah masuk dalam fase egosentris. Tak ayal lagi, ketika si ibu bercerita dengan orang lain, ia akan berusaha mengalihkan perhatian ibunya agar tetap selalu kepada dirinya, bukan orang lain. Hingga, setelah si ibu stop bicara dan mengalihkan perhatian pada anak dengan cara memandang si anak, bisa dipastikan anak akan berhenti melakukan atraksi negativistiknya karena tujuannya sudah tercapai.
TURUTI KEMAUAN ANAK
Itu sebab, Endang minta agar orang tua berhenti mengekspos "aib" anak jika si anak sudah menunjukkan aksi penolakan keras. Kalau tidak, sama saja dengan memberikan dorongan negatif terhadap perilaku negativistik anak, di samping anak juga akan sakit hati. "Lihat saja, jika tetap menceritakan hal tersebut padahal anak telah meminta kita untuk berhenti, bisa dipastikan anak akan melakukan negativistik yang banyak sekali. Tak mempan dengan cara teriak-teriak, anak akan guling-gulingan. Jika tak mempan juga, anak akan memukul-mukul. Malah bisa juga, lo, membanting atau merusak apa pun yang ada dihadapannya."
Kalau sudah begitu, kita juga yang repot, kan? Bahkan, bisa membahayakan anak. Bukankah dengan ia berguling-guling di lantai, misal, bisa terkena benda-benda yang dapat membuatnya cedera? Jadi, tekan Endang, cerita orang tua tentang "aib" yang pernah dialami anak hanya akan semakin memberikan pengalaman negatif buat anak. Tentunya, pengalaman negatif ini akan memberikan perasaan negatif, sementara perasaan negatif akan membangun konsep pikir negatif, dan konsep pikir negatif akan berpengaruh pada rasa keyakinan diri yang negatif.
Soalnya, selain rasa malu, anak akhirnya berkeyakinan bahwa dirinya adalah anak yang sakit-sakitan, tak bisa sembuh, rentan, lemah, dan lainnya. "Akibatnya, anak bisa merasa rendah diri, menarik diri dari lingkungan, atau merasa dirinya aneh. Kalau sudah begitu, bisa dibayangkan, kan, apa yang bakal terjadi pada si anak?" Ih, serem, ya, Bu-Pak!
MINTA MAAF PADA ANAK
Setelah stop bercerita, saran Endang, jangan lantas kita diam saja, melainkan harus dapat menenangkan anak sebagai obat sakit hatinya. Misal, "Nak, Kakek hanya sekadar ingin tahu kenapa kamu sakit dan itu menandakan bahwa Kakek pun sayang sama kamu, seperti Bunda dan Ayah menyayangimu." Dengan begitu, anak akan beranggapan dirinya tetap dan selalu diperhatikan orang tua.
Tentunya dalam memberikan penjelasan atau pengertian harus dengan bahasa yang mudah dimengerti anak, hingga ia bisa memahami bahwa kita menceritakan hal negatif tentang dirinya bukan karena mau mempermalukannya di depan orang lain, melainkan karena kita benar-benar care padanya, termasuk orang yang kita ajak bicara pun care padanya.
Jangan lupa pula, saran Endang, kita pun harus minta maaf pada anak atas apa yang telah kita lakukan karena konsep positif pada diri anak harus tetap kita bangun. "Memang, orang tua biasanya naik darah duluan karena melihat perilaku negativistik anaknya. Hingga, sekalipun orang tua berhenti bercerita, tak jarang sambil memarahi anak. Namun perbuatan orang tua seperti itu sangat tak dibenarkan. Bukankah negativistik anak muncul disebabkan bukan kesalahan anak semata, tapi karena orang tuanya juga?" Dampaknya, selain tak menyelesaikan masalah, anak pun sakit hati hingga makin menumbuhkan konsep diri negatif pada anak.
Saran Endang, bawa anak keluar dari arena, ke kamar, misal, hingga di situ cuma ada orang tua dan anak. Selanjutnya, beri pengertian pada anak, misal, "Oke, Bunda enggak akan cerita lagi, tapi dengan syarat, kamu juga harus diam, ya." Setelah itu, orang tua tak perlu memperpanjang untuk membujuk-bujuk anak tapi bersikaplah biasa-biasa saja. Maksudnya, supaya anak tahu apa yang ia lakukan atau negativitasnya itu tak kita dorong, hingga tak bisa lagi menjadi senjata ampuhnya. Inilah, lanjut Endang, yang dinamakan proses pengabaian.
Tak ada salahnya, kita juga minta lawan bicara kita, entah kakek, nenek, atau siapa pun yang mendengarkan cerita kita mengenai "aib" anak, untuk minta maaf pada anak dan meyakinkan anak bahwa maksud mereka ingin tahu cerita tersebut bukan untuk mempermalukan atau untuk dijadikan bahan ejekan, melainkan sebagai manifestasi rasa sayang dan peduli terhadapnya. "Maafin, Kakek, ya, Kakek ingin tahu karena sayang pada kamu," misal. Setelah itu, jangan ungkit-ungkit lagi hal tersebut di depan anak, sekalipun si kakek ingin mengetahui atau kita ingin sekali menceritakannya kembali.
KOMENTAR