Jangan salah, romantisme bukan cuma milik mereka yang lagi pacaran. Tiap perkawinan, berapa pun usianya, juga harus punya. Toh, caranya pun gampang.
Sayangnya, setelah buah hati tercinta hadir, waktu seolah habis terkuras hanya untuk mengurus si kecil, hingga pasangan pun terabaikan. Biasanya ini kerap terjadi pada para ibu. Tak heran jika banyak istri beralasan tak punya waktu lagi untuk suami karena repot ngurusin anak. Padahal, alasan klise ini sama saja dengan si istri mendeklarasikan bahwa suaminya tak masuk hitungan atau berada dalam skala prioritas hidupnya. "Ya, enggak bisa begitu, dong! Siapa, sih, yang mau dinomorsekiankan? Sekalipun yang jadi saingan adalah anak sendiri," bilang psikolog Dra. Rieny Hassan.
Belum lagi anggapan bawah sadar mayoritas perempuan bahwa kalau sudah punya anak, suami enggak bakal "lari" ke mana-mana. "Ini anggapan yang salah!" tegas pengasuh rubrik Konsultasi Psikologi Tabloid NOVA ini. Meski, diakuinya, kalau sudah punya anak, suami memang akan berpikir 1000 kali bila ingin meninggalkan istrinya. "Tapi, apakah dengan demikian perkawinan mereka bisa dibilang tetap sehat? Harus dipertanyakan lagi, kan?"
Terlebih, dengan adanya anggapan salah tersebut, para ibu jadi tak tega meninggalkan buah hatinya hanya untuk keluar berduaan dengan suaminya. Padahal, anak, kan, enggak harus dibawa-bawa ke mana pun orang tuanya pergi. "Wah, kalau begini caranya, lantas kapan ada physical intimacy di antara mereka?" ujar alumnus Fakultas Psikologi UI ini. Soalnya, kedekatan hubungan suami-istri takkan tercipta jika sebentar-sebentar ada gangguan berupa teriakan atau rengekan si kecil.
KENYAMANAN PSIKOLOGIS
Tentu saja tak semua istri bersikap demikian, ya, Bu. Para suami pun ada yang menomorsatukan anak hingga mengabaikan istrinya. Yang jelas, Bu-Pak, kita tak dibenarkan menciptakan ketergantungan mutlak anak pada ayah atau ibunya karena tak baik dampaknya buat perkembangan si kecil. Selain, tentunya juga berdampak pada hilangnya romantisme di antara kita dan pasangan.
Jadi, kita tetap harus punya waktu untuk pasangan. Malah, kata Rienny, kita harus menyediakan waktu khusus untuk berduaan saja dengan pasangan. "Kalau enggak sengaja dijadwalkan, jangan pernah mimpi bakal ada waktu luang, deh!" Itulah, pentingnya manajerial waktu yang selamanya akan tetap sama, 24 jam sehari.
Lagi pula, tegas Rieny, memiliki anak sebenarnya juga bukan merupakan satu-satunya tujuan perkawinan. Itu sebab, sekalipun sudah punya anak, harus tetap ada perhatian untuk pasangan. "Anak, kan, bukan 'paspor' yang akan mengantar suami-istri pada perkawinan yang secara otomatis utuh dan bahagia tanpa mereka sendiri saling mengupayakan kebahagiaan," terangnya.
Selain itu, perhatian pada anak dan pasangan merupakan dua hal berbeda. Kepada anak, kita wajib membantunya agar survive, antara lain dengan mengupayakan kondisi kesehatan yang prima, hingga bisa berkembang optimal sesuai tahapan usianya. Disamping memberikan pengasuhan dan pendidikan yang baik tentunya.
Sementara kepada pasangan, perhatian kita lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhannya akan kenyamanan psikologis. Salah satunya, cermat melihat perubahan-perubahan yang terjadi mengingat manusia selalu berubah, selain senantiasa berusaha menjadikan diri kita tetap bisa tune dengannya. Artinya, kita selalu menyejajarkan diri dan menyamakan langkah agar tak ada kesenjangan. Nah, salah satu upaya menyamakan langkah adalah memelihara romantisme dengan pasangan.
TIGA ELEMEN UTAMA
Dalam teori cinta, terang Rieny selanjutnya, romantisme masuk kategori passionate love yang mendorong pria dan wanita memutuskan untuk menikah sekaligus mengokohkan perkawinan. Soalnya, romantisme merupakan serangkaian acting untuk merefleksikan rasa cinta dan care of each other melalui aktivitas-aktivitas yang bisa "dibaca" dan dirasakan pasangan.
KOMENTAR