Saling introspeksi dan memahami kebutuhan pasangan dapat meminimalkan terjadinya konflik antara suami istri gara-gara urusan PRT alias pembantu rumah tangga.
Jangan salah, lo, gara-gara PRT, kita bisa "berantem" dengan pasangan. Sekalipun persoalannya cuma sepele semisal suami menegur istri, "Sama si Iyem, Mama enggak usah kelewat cerewet begitu. Nanti kalau dia enggak betah, kita semua juga yang kebagian capek." Istri bisa marah besar, lo, karena merasa disalahkan, "Papa apa-apaan, sih? Kok, jadi ngebelain si Iyem? Papa pikir, Mama enggak capek?" Nah, jadi ribut, kan?
Padahal, si suami sebetulnya cuma ingin mengingatkan agar istrinya tak kelewat menuntut PRT bekerja sempurna sesuai standarnya. "Si suami cuma berpikir praktis sekaligus berusaha memaklumi keterbatasan dan hasil kerja pembantu. Baginya, tak ada pembantu lebih merepotkan ketimbang ada pembantu yang kerjanya kurang beres," tutur psikolog Wieka Dyah Partasari. Jadi, ada kesalahpahaman pada si istri, dikiranya suami membela sang PRT.
Sebaliknya, tak jarang pula suami yang salah paham. Kala ia "teriak-teriak" memanggil si Iyem minta diambilkan korek api, istri langsung "protes", "Ayah keterlaluan, deh! Masak ngambil korek aja harus nyuruh si Iyem? Dia, kan, banyak pekerjaan! Ambil sendiri kenapa, sih?" Tentu saja si suami jadi sewot, "Lo, Ibu, kok, jadi manjain dia? Lantas, buat apa kita gaji dia kalau enggak bisa disuruh-suruh?" Padahal maksud si istri agar jangan terlalu membebani PRT dengan hal-hal sepele sementara si PRT sendiri sudah cukup direpotkan dengan pekerjaannya yang "segudang". Kalau si PRT merasa pekerjaannya amat banyak hingga ia kewalahan, bisa-bisa ia malah minta berhenti, kan?
CEMBURU PADA PRT
Itu baru konflik seputar kerja, lo. Belum lagi soal kecemburuan istri yang menyangkut penampilan PRT semisal gemar pakai celana pendek atau rok/blus ketat, berdandan seronok, atau tingkah lakunya cenderung ganjen. Sementara suami menanggapi kecemburuan tersebut dengan enteng, "Mungkin dia merasa lebih enak dan bisa gesit kerja kalau pakai celana pendek. Gitu aja, kok, dipersoalkan, sih?" Ya, enggak heran kalau si istri jadi berang, "Iya, buat Papa, sih, enggak masalah. Sekalian cuci mata, kan?"
Kalau sudah begitu, bisa-bisa tiap hari suami istri "perang" melulu hanya gara-gara tampilan PRT yang tak berkenan di mata istri. Apalagi jika si suami ternyata tipe mata keranjang, makin bertambah-tambahlah kecemburuan istri. Malah, bukan tak mungkin disertai kecurigaan kemungkinan terjadi perselingkuhan. Apalagi cerita soal perselingkuhan antara majikan dengan PRT-nya bukan isapan jempol belaka. Bahkan, ada, lo, yang sampai mengawini PRT-nya. Kalau sudah begitu, bukan tak mungkin si istri atau malah si suami yang lantas menggugat cerai. Runyam, kan?
Bukan cuma soal tampilan PRT yang seksi, lo. Istri pun bisa cemburu dengan kepiawaian PRT dalam hal memasak atau menata rumah, misal. Terlebih jika suami kerap "keceplosan" memuji-muji lezatnya rendang buatan si Iyem atau betapa rapinya si Iyem mengurus rumah, dan sebagainya. Kecemburuan istri juga bisa terjadi kala melihat suami asyik ngobrol dengan si Iyem atau menunjukkan perhatiannya semisal, "Kamu kenapa, Yem, kok, Bapak lihat dari pagi tadi kamu diam aja? Apa kamu sakit? Kalau sakit, biar nanti diantar ke dokter." Padahal, perhatian seperti itu wajar, toh?
INSTROPEKSI DIRI
Kalau soal kompetensi atau kepiawaian PRT, menurut Wieka, tak pada tempatnya istri cemburu, apalagi sampai merasa tersingkir. "Kalau memang si pembantu lebih mahir, mengapa tak berguru padanya?" anjur pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini. Jadi, enggak usah gengsi, ya, Bu. Jikapun tak mampu mengikis perasaan tersebut, toh, kita bisa menutupinya dengan cara memasak bersama, misal. Bukankah tak ada yang bakal tahu bila kita sebetulnya tengah menimba ilmu darinya?
Namun bila perasaan cemburu tetap mendera, "coba, deh, introspeksi diri!" Jangan-jangan, tambah Wieka, perasaan tersebut merajalela kala kita benar-benar lepas kontrol. Artinya, kita begitu sibuk dengan segala macam urusan sementara pekerjaan rumah tangga tak terpegang sama sekali. Nah, kalau ini yang terjadi, dalam hati kita pasti terselip rasa bersalah dan tak nyaman. "Kegalauan semacam itulah yang antara lain kemudian muncul menjadi kecemburuan berlebih tadi. Kecuali bila kita memang memiliki kelainan berupa kecenderungan untuk gampang cemburu pada siapa saja," terangnya.
Jadi, Bu, tak perlu cemburu sama si Iyem. Kalau ia pakai kaos ketat dengan celana amat pendek, misal, tegur saja baik-baik. Kita bisa bilang, misal, "Yem, saat ini kamu, kan, tinggal di rumah orang lain, bukan di rumahmu sendiri. Tentunya kalau kita tinggal di rumah orang, kita harus punya sopan santun. Salah satunya, kita harus memakai baju yang sopan. Jadi, baju yang sekarang kamu pakai ini lebih baik dipakai di rumahmu kalau kamu nanti pulang kampung." Begitu, kan, lebih enak ketimbang cemburu yang malah bisa bikin konflik dengan pasangan atau malah mencari-cari dan membesar-besarkan kesalahan PRT guna menyingkirkannya, yang akhirnya malah juga akan berbuntut keributan dengan pasangan.
KOMENTAR