Garis yang membedakan apakah itu eksploitasi terhadap istri atau bukan, ternyata sangat tipis. Butuh kebijaksanaan dari kedua belah pihak untuk menghindarinya.
Tengoklah bagaimana nasib tenaga kerja wanita yang harus menyeberangi lautan untuk menghidupi keluarganya. Sementara uang yang dikirim ke suaminya habis untuk foya-foya, bahkan untuk menikah lagi! Nasib tragis yang dialami wanita-wanita ini disadari atau tidak adalah bentuk eksploitasi suami terhadap istri.
Menurut Nursjahbani Katjasungkana, SH, pengacara dari LBH-APIK, Jakarta, ada batasan atas apa yang disebut eksploitasi terhadap istri, yaitu:
* Ada paksaan
Meskipun pekerjaan itu sepertinya disukai, tapi bila sudah ada unsur paksaan di dalamnya, maka bisa dikategorikan sebagai eksploitasi. Misalnya paksaan untuk menghasilkan sekian rupiah, paksaan untuk terus bekerja meski dalam kondisi kelelahan, dan sebagainya.
* Tidak disukai
Apalagi jika perkerjaan yang dilakukan istri tidak disukainya, tapi suami tetap ngotot, tentu ini termasuk kategori eksploitasi. Contohnya, pekerjaan tersebut menuntut istri menggunakan pakaian mini yang membuatnya tidak nyaman, harus bekerja sampai larut malam yang membuatnya merasa tidak aman, dan sebagainya.
* Kehilangan otoritas
Yang termasuk kategori eksploitasi adalah bila istri kehilangan otoritas atas penghasilannya. Misalnya dia harus menyetorkan seluruh pendapatannya pada suami dan kehilangan kesempatan untuk mengelola hasil tetesan keringatnya sendiri.
Di luar ketiga hal itu, menurut Nursjahbani, tidak termasuk eksploitasi. Namun yang harus diperhatikan, banyak wanita yang tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya terpaksa bekerja, tidak suka dengan pekerjaan yang harus dilakoninya, atau bahkan kehilangan otoritas atas penghasilannya. Seolah sudah menjadi kodrat wanita menjadi lebih peka pada kondisi keluarga/rumah tangganya. Semua itu dilakukan supaya anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa sekolah. Keadaan inilah yang kadang mengaburkan keterpaksaan yang sebenarnya sedang dijalaninya.
BATASAN TIPIS
Secara lebih tegas Henny E. Wirawan, M. Hum., Psi., Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara yang juga pemerhati masalah perempuan mengatakan, "Selama istri sudah terbebani dengan kewajiban mencari nafkah, itu sebetulnya sudah dikategorikan eksploitasi."
Dengan demikian batasannya menjadi sangat tipis. Bisa jadi awalnya si wanita dengan kesadarannya sendiri berusaha membantu mencukupi nafkah keluarga, tapi lama-kelamaan hal tersebut dirasakannya sebagai beban. Misalnya untuk sepuluh ribu rupiah pengeluaran setiap bulan, istri memberi kontribusi sebesar delapan ribu. Sedangkan suami karena merasa sudah tercukupi, tidak berusaha memberi lebih, malah menikmati bagian yang menjadi tanggung jawabnya hanya sebesar dua ribu rupiah.
Kasus ini bisa dilihat dari dua sisi. Kalau misalnya kemampuan suami hanya sebatas itu, meski sudah jungkir balik tetapi hasil maksimal yang bisa dicapainya memang tidak seberapa dibanding penghasilan istri, itu bukanlah eksploitasi. Akan tetapi kalau suami sebenarnya masih bisa mengusahakan lebih, namun karena malas ia pilih mengandalkan istri, inilah yang dikategorikan eksploitasi.
Demikian halnya bila suami tidak bekerja. Kalau memang kondisinya cacat, sakit, atau lumpuh yang sama sekali tidak memungkinkannya menafkahi keluarga, itu tidak termasuk eksploitasi. "Istilahnya sekadar bertukar peran," kata Nursjahbani. Namun kalau memang malas, padahal tubuhnya masih kuat dan segar bugar, "Ini yang tidak adil," imbuhnya.
DIBUTUHKAN KESADARAN BERSAMA
Untuk menghindari perangkap eksploitasi, kedua belah pihak secara dewasa seharusnya mampu bersikap bijaksana. Dominasi dunia patriakal sekarang ini, memang menuntut suami menjadi pencari nafkah utama. Nah, laksanakan kewajiban tersebut dengan penuh tanggung jawab. Jadikan keberadaan istri yang mandiri secara finansial sebagai mitra untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga. Namun sekali lagi ingat, istri bukanlah sebagai tulang punggung alias pencari nafkah utama.
Pada dasarnya dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, secara tegas pasal 9 menyebutkan perlindungan terhadap kemungkinan eksploitasi ekonomi dalam rumah tangga. "Maka bersyukurlah kita. Meski penerapannya belum terlihat, tapi setidaknya wanita sudah punya kepastian perlindungan hukum bila sampai terjerat dalam kasus tersebut," ungkap Henny.
Sebelum sampai tuntut-menuntut di meja hijau, memang tak ada salahnya bila suami istri membuka dialog. Sampaikan keberatan-keberatan yang dirasakan masing-masing pihak secara terbuka. Diskusikan jalan keluar yang paling mendekati kompromi untuk mereka berdua. Bila perlu, libatkan pihak ketiga yang bisa menengahi perkara ini.
EKSPLOITASI ATAS SUAMI?
"Tidak ada istilah eksploitasi suami," tandas Nursjahbani. Kalaupun istri tidak mampu mengelola keuangan keluarga secara bertanggung jawab, "Ya sudah jangan diberi kesempatan pegang uang lebih," tukasnya. Nursjahbani melihat kasus seperti ini sebagai bentuk pemborosan dan dan tidak ada hubungannya dengan eksploitasi.
Menanggapi masalah tersebut, Henny mempunyai pendapat yang sedikit berbeda. "Mungkin suatu saat nanti, kalau pembagian peran antara perempuan dan laki-laki sudah benar-benar sama, itu bisa disebut eksploitasi. Tapi kalau sekarang, masih menjadi kewajiban penuh bagi suami untuk menafkahi keluarganya. Kalau keberatan dengan pola pengaturan keuangan yang dilakukan istri, ya bicarakan saja. Apalagi secara tradisional dominasi laki-laki dalam keluarga sangat besar di sini."
Marfuah Panji Astuti
KOMENTAR