Jika kita kenal karakter pasangan, dijamin konflik dapat diminimalisir. Bukankah dengan kenal, kita bisa memahaminya, hingga solusi pun bisa ditemukan. Nah, seperti apa karakter istri Anda, silakan simak sejumlah karakter di bawah ini.
1. BOROS
Coba lihat bagaimana karakter orang tuanya. Soalnya, kata psikolog Raymond A.I. Tambunan dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, mereka yang boros biasanya dibesarkan dari orang tua yang boros pula. "Jadi, sejak kecil memang sudah terbiasa dengan pola hidup boros." Umumnya lebih impulsif, yakni tak bisa menunda keinginan. Bila menginginkan sesuatu, ia pasti langsung membelinya. "Bukankah dari orang tuanya, ia selalu mendapat pemenuhan atas setiap yang diinginkannya?"
Kendati demikian, pola asuh bukan satu-satunya yang membentuk seseorang berkembang jadi si boros. Ada juga, kok, yang dulunya hidup miskin, tapi setelah dewasa jadi boros. "Kalau sekarang ia hidup bergelimang harta karena berhasil mencapai pendidikan tinggi hingga punya karir dan penghasilan bagus, tentunya apa pun yang ia inginkan bisa dibelinya dengan mudah hingga membentuknya jadi pribadi yang boros." Jadi, sikap borosnya lebih merupakan kompensasi masa kecilnya yang serba susah.
Tentu saja, si pemboros tak mengenal budaya menabung. Terlebih si boros yang merupakan "produk" dari orang tua boros. Di benaknya yang ada cuma bagaimana menghabiskan uang yang diperolehnya. Celaka, kan? Bisa-bisa tiap menjelang akhir bulan suami harus ekstra cari tambahan untuk menutupi kekurangan belanja. Atau, bisa jadi suami kemudian menjatah uang belanja per minggu atau malah per hari. Kalau sudah begitu, bakalan "perang", deh.
2. PELIT
Kayaknya karakter ini sudah menjadi semacam trade mark kaum ibu. Bukankah para ibu lebih suka berkeliling pasar menawar ke sana ke mari demi mendapatkan harga termurah? Orang luar boleh saja berkomentar, "Kok, mau beli gitu aja mesti dihitung-hitung banget? Berapa, sih, selisih harganya? Apa enggak capek buang-buang energi?"
Padahal, ibu-ibu model ini belum tentu pelit, lo. Siapa tahu ia cuma bermaksud hemat. Apalagi secara sosiologis, terang Raymond, ibu-ibu di negeri kita umumnya bertanggung jawab pegang keuangan keluarga, sementara suami bertugas mencari nafkah. "Nah, sebagai menejer keuangan keluarga, tentu ia harus pandai-pandai mengatur keuangan keluarganya, bukan? Itu sebab, perbedaan-perbedaan harga yang oleh orang luar dinilai sepele, bagi si ibu sangat berarti." Terlebih bila ia memperhitungkannya berdasarkan akumulasi atau penjumlahan. Coba, gimana jadinya bila belanja keluarga tekor? Ibu juga, kan, yang biasanya dituduh tak becus pegang uang? Sementara bapak dan anak biasanya enggak mau tahu. Mereka cuma tahu beres aaja karena tak mau kelewat njlimet memperhitungkan perbedaan-perbedaan harga tadi.
Jadi kalau pelitnya dalam arti hemat, dipahami aja, deh, Pak. Ketimbang punya istri boros yang bisanya cuma menghambur-hamburkan uang melulu. Iya, kan? Apalagi, "biasanya karakter pelit yang hemat ini lebih dimunculkan oleh kondisi tertentu semisal terbiasa menjalani kehidupan serba susah dari sudut ekonomi, hingga ia harus menabung dulu untuk mendapatkan yang diinginkannya." Nah, malah bagus, kan? Si kecil pun bisa belajar menabung dari ibunya, sekaligus belajar menahan diri untuk menunda keinginannya.
Sebaliknya, si pelit dalam arti tak mau berbagi, biasanya diwarnai posesivitas, yaitu keinginan untuk memiliki yang begitu kuat. Karakter ini sebenarnya dibawa dari masa 5 tahun pertama. "Bila pada tahap usia ini anak kelewat diatur-atur hingga terbiasa menahan segala keinginannya karena tak boleh ini maupun itu, ia berkembang jadi pribadi yang tak mau berbagi." Namun dengan usia terus bertambah, semestinya ia makin bisa membedakan miliknya dan milik orang lain, serta lebih mampu meminjam dan meminjamkan miliknya. Jangan malah keterusan, sampai sudah jadi ibu pun masih pelit enggak ketulungan.
3. TAK BETAH DI RUMAH
"Memang ada pribadi-pribadi yang tergolong outgoing alias tak betah di rumah ini," bilang Raymond. Yang model begini, suka sekali menghabiskan waktu dengan jalan-jalan ke mal dan menghambur-hamburkan uang. Padahal, jika memang tujuannya mengisi waktu, kan, masih banyak kegiatan bermanfaat. Entah kursus menjahit, merangkai bunga, bahasa asing, dan sebagainya, yang lebih erat kaitannya dengan achievement. Sementara di rumah pun, rasanya mustahil bila tak ada pekerjaan dijadikan alasan keluyuran. Bukankah mendampingi anak belajar atau memanfaatkan waktu bersama anak merupakan aktivitas yang sangat bermanfaat ketimbang mereka seharian bersama pembantu?
KOMENTAR