Lagi pula, harus diingat, kerabat yang menampung si anak, kan, juga punya keluarga dan kerepotan sendiri. Belum lagi jika si kerabat juga punya anak, lantas bagaimana posisi si kecil? Ingat, lo, Pak, mereka kini sama-sama berstatus sebagai anak. Jangan sampai perbedaan perlakuan membuat si kecil kehilangan haknya sebagai anak.
Tapi jangan lantas si kecil dititipkan di panti asuhan, ya, Pak, karena anak tak merasakan sebagai keluarga utuh. Lain hal bila dititipkan dalam sebuah keluarga, ia tetap bisa menikmati rasanya disayang dan diperhatikan sebagai anak, adik atau kakak. Tentu saja agar tercipta kondisi seperti itu, seluruh anggota keluarga baru yang dititipi harus siap mental memposisikan diri sebagai keluarga buat si anak.
JANGAN TURUNKAN POTRET
Bila pilihan-pilihan di atas dinilai tak ada yang pas, mungkin alternatif berikut bisa dipilih, yakni mencari istri baru yang diharapkan bisa menjadi ibu pengganti buat anak. Tapi keputusan ini hendaknya tak diambil tergesa-gesa mengingat si kecil baru saja kehilangan ibu. "Kita harus menempatkan kebutuhan anak pada prioritas pertama," kata Ieda. Coba, deh, bayangkan bila kita yang jadi si kecil, bagaimana perasaannya yang baru saja kehilangan ibu. Bukankah ia akan tambah bingung dan terpukul di saat ia masih bertanya-tanya apa yang terjadi, tiba-tiba muncul "orang baru" dalam keluarganya? Apalagi jika tanpa dibekali penjelasan apapun sebelumnya atau diminta pertimbangannya.
Jadi, tegas peminat masalah perkawinan, wanita, keluarga, dan anak ini, jika pilihan ini yang diambil, sebaiknya disertai pertimbangan yang betul-betul matang. "Jangan sampai kepentingan anak tersisihkan akibat pemaksaan hak karena kita menentu-nentukan sendiri tanpa memikirkan kepentingan anak. Belum lagi bila wanita pilihan si ayah tak siap mental menjadi ibu dalam arti sebenarnya." Jangan pula memutuskan menikah kembali hanya dengan dalih, "Habis kepaksa sih, anak-anak nggak ada yang ngurus." Soalnya, niat awal semacam ini biasanya malah sering terlupakan. Keadaan pun bisa jadi tambah runyam dan bukan tak mungkin muncul sederet masalah baru semisal istri yang cemburuan atau suami yang masih meratapi kepergian almarhumah.
Yang tak kalah penting, pikirkan pula dan pastikan bagaimana posisi anak dalam keluarga barunya; apakah hati ibu pengganti bisa sama adil kepada anak "titipan" dan anaknya sendiri yang kelak lahir? Selain itu, si ayah maupun istri barunya tak berhak menurunkan potret almarhumah. Bila istri pengganti memang keberatan lantaran cemburu, biarkan potret almarhumah tetap tergantung di kamar anak. Apa pun alasannya, ia tetap ibu si kecil. Biarkan si kecil berlama-lama memandangi foto tersebut sambil mengenang kebersamaan dengan ibunya karena dalam diri tiap anak pasti muncul angan-angan, "Coba, ya, kalau ibu masih ada."
Jangan pula halangi keinginan si kecil berziarah ke makam ibunya. Bila perlu manfaatkan kebersamaan ini buat memperkokoh hubungan si kecil dengan ibu pengganti. Tumbuhkan kepercayaan dalam diri si kecil, ibu pengganti ada untuk menyayanginya dan bukan merebut ayah dari ibu kandungnya.
Mudah-mudahan Bapak bisa menemukan solusi yang tepat agar si kecil bisa tetap tumbuh kembang optimal meski ibu tiada.
Th. Puspayanti/nakita
KOMENTAR