Adapun yang membentuk karakter anti sosial bisa berbagai hal. Salah satunya, faktor gen. Bukankah gen-gen yang membentuk sifat manusia? "Nah, pada saat pembentukan, gen-gen ini bisa saja mengalami kegagalan pembelahan, hingga terjadilah mutasi-mutasi gen tertentu yang bisa menyebabkan seorang anak punya karakter tertentu. Antara lain, karakter anti sosial ini."
Pengaruh luar semacam obat-obatan yang diperoleh anak sesudah lahir pun bisa mempengaruhi simpul-simpul saraf anak, hingga memungkinkan anak berkarakter anti sosial. Bukan itu saja, pengaruh dan didikan lingkungan sekitar atau pemberian contoh tak baik yang kerap orang tua perlihatkan pada anak juga bisa jadi penyebabnya.
Bukan berarti karakter ini tak bisa diubah, lo. "Caranya, selalu beri pengertian dan contoh yang baik pada anak dalam segala bidang. Bagaimanapun, orang tua tetaplah tokoh sentral bagi anak seusia ini. Jadi, bila orang tuanya baik, tak menutup kemungkin anaknya pun akan menirukan hal yang sama." Jikapun penyebabnya pengaruh gen atau obat-obatan, bukan tak mungkin pula diobati. Caranya tentu dengan menjalani terapi dan diberi obat-obatan tertentu yang diresepkan dokter.
BERI CONTOH DAN KONSISTEN
Pun pada anak yang tak anti sosial dan si pencemas, kita harus memberinya pengertian bahwa main ambil saja tanpa bilang lebih dulu sama yang punya, meskipun enggak ada yang lihat, itu berarti mencuri. Bisa juga dengan menekankan pada agama, "Sekalipun enggak ada yang lihat perbuatan kita, tapi sebenarnya ada yang tahu, lo. Tuhan, kan, tahu kamu mengambil barang milik orang lain." Dengan begitu, anak pun akan berpikir bila hendak "meminjam" bahwa Tuhan selalu melihat apa yang sedang ia lakukan.
Pada anak pencemas, terang Sherly, biasanya akan merasa takut sekali untuk mengambil sesuatu. Namun yang ditakutkannya bukan takut bersalah ataupun berdosa, melainkan takut ketahuan. Soalnya, yang jadi masalah bagi anak dalam hal ini adalah ketahuannya, bukan benar-tidaknya perbuatan tersebut.
Namun dalam memberi pengertian harus dengan kalimat sederhana yang mudah dipahami anak. Misal, "Nak, Bunda tahu kamu hanya meminjam. Tapi yang namanya meminjam itu harus bilang dulu sama yang punya. Jadi, lain kali bilang sama yang punya, ya, kalau kamu ingin pinjam apa pun."
Tentunya, pengertian saja belum cukup bila tak dibarengi contoh sehari-hari dari orang tua. Jadi, bila kita membutuhkan barang milik anak, jangan sungkan untuk bilang padanya, "Nak, Bunda pinjam pensil kamu sebentar, ya. Bunda harus mencatat nomor telepon teman Bunda, nih.", misal.
Selain itu, kita pun harus konsisten. Jangan karena sedang buru-buru harus mencatat nomor telepon, misal, kita lantas main ambil saja pensil kepunyaan si kecil. Ia pasti akan bertanya, 'Kok, Bunda ambil pensil aku enggak bilang-bilang lagi?" Bila hal ini kerap terjadi, si kecil bisa saja punya anggapan, "Berarti, kalau aku mau pinjam, biarpun enggak bilang, aku bukan mencuri." Kalau sudah begitu, percuma, kan, apa yang sudah kita ajarkan selama ini?
JAGA KEDEKATAN HUBUNGAN
Tak kalah penting, yakinkan anak agar berani bilang atau minta pada orang tua maupun orang lain akan kebutuhannya. "Ia mesti dibiasakan, jika ingin sesuatu harus minta lebih dulu," bilang Sherly.
Namun pembiasaan ini baru bisa tercapai bila orang tua selalu menjaga kedekatan hubungan dengan anak, hingga anak pun tak canggung atau takut untuk mengungkapkan keinginannya. "Pokoknya, jangan sampai anak punya anggapan, jika aku ingin sesuatu dengan meminta pasti takkan dipenuhi." Sebab, lanjut Sherly, jika anak sudah punya anggapan demikian, pasti ia akan merasa percuma saja. "Ia akan merasa lebih baik mengambil sendiri ketimbang minta."
KOMENTAR