Tiap anak batita pasti melakukan kesalahan ini. Jadi, tak usah marah, sekalipun ia tetap ngotot kala dikasih tahu yang benar. Masalahnya, ia belum kenal konsep kiri dan kanan.
Bukan cuma pada kesempatan pertama, lo, ia melakukan kesalahan ini. Pada kesempatan- kesempatan berikutnya pun, ia tetap akan mengenakan sepatu maupun sandal kiri di kaki kanan dan sebaliknya. Artinya, meski sudah berulang kali diberi tahu, tetap saja ia "berpeluang" melakukan kesalahan tersebut.
Soalnya, terang dra. Retnaningsih, di usia ini, kemampuan intelektual anak sangat terbatas. "Ia pun belum mengerti konsep kiri dan kanan, sama halnya ia belum memiliki konsep baik-buruk atau salah-benar," tambah Ketua Jurusan Psikologi Universitas Gunadarma, Jakarta, ini.
SEMUANYA SAMA, KOK
Penting pula dipahami, cara pandang anak usia ini juga serba terbatas. "Ia melihat segala sesuatu dari satu arah, yakni dirinya sendirinya," jelas psikolog yang akrab disapa Retno ini. Itu sebab, ia belum bisa melihat benda yang sama dari perspektif atau sudut pandang orang lain, termasuk menerima pandangan yang berbeda dengan dirinya.
Ambil contoh kala kita ajak ia mengisi air dengan jumlah sama ke dalam gelas berukuran sama. Dengan mudah ia akan bilang, isi gelas itu sama banyak. Namun bila kita menuang air yang sama ke dalam gelas lain berukuran lebih kecil, ia justru bilang gelas ini isinya lebih banyak karena memang terlihat lebih penuh dengan volume air yang sama.
Begitu halnya dengan benda atau objek lain seperti sepatu. Ia memang sudah mengenali benda yang disebut sepatu. Terbukti, kala kita minta ia mengambil sepatunya saat hendak pergi, ia bisa melakukannya. Namun pengetahuannya tentang sepatu baru sebatas itu, karena ia belum bisa melihat benda tersebut sampai hal-hal detilnya semisal bentuk sepatu yang berbeda antara kiri dan kanan. Apalagi menangkap perbedaan lekukan antara sisi luar dan dalam sepatu, maupun kemiringan tertentu yang mengikuti bentuk kaki sesuai letak jempol dan kelingking.
"Jadi, tak heran bila ia belum bisa membedakan mana sepatu yang harus dipakai di kaki kiri dan mana yang harus dikenakan di kaki kanan. Buatnya, semua sama, kok," tutur lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta ini.
MENUNJUKKAN OTONOMI
Di sisi lain, anak usia ini juga tengah berada dalam tahap menunjukkan otonominya. Mengacu pada teori pakar perkembangan anak, Ericson, tiap anak akan mengalami beberapa tahap perkembangan dan di tiap tahap akan mengalami konflik tersendiri yang harus diselesaikannya agar bisa mencapai kematangan di tahap berikut.
Semasa bayi, misal, ia tengah berupaya mengembangkan basic trust atau rasa percaya terhadap lingkungan terdekatnya. Bila di tahap ini tak ada ganjalan berarti, ia akan merasa secure atau aman. Hingga, rasa percayanya pun mulai terbentuk yang di kemudian hari akan jadi modal kepercayaan dalam lingkup luas.
Di tahap berikut, yakni ketika menginjak usia 2 tahun, anak akan menunjukkan otonominya lewat berbagai cara. Salah satunya, lewat dorongan yang membuat ia kepingin melakukan segalanya sendirian, termasuk keinginan mengenakan baju dan sepatu sendiri, meski selama ini orang tualah yang selalu memakaikannya.
Jadi, tegas Retno, anak sebetulnya tengah menguji kemampuan dirinya atau berusaha menunjukkan kemandiriannya. Namun karena keterbatasan intelektual tadi, sementara ia ngotot ingin mencoba, terjadilah kesalahan tersebut.
PENJAGA GAWANG
Kendati begitu, kita mesti mencermati dampak buruk kebiasaan memakai sepatu atau sandal terbalik, mengingat peran kaki cukup vital bagi gerak tubuh anak secara keseluruhan. Dengan memakai sepatu/sandal yang terbolak-balik, minimal ia merasa tak nyaman hingga membuat gerak motoriknya terganggu.
Padahal di usia ini, kemampuan motorik kasar anak justru tengah berkembang pesat. Hingga, si kecil yang tengah getol berlari ke sana kemari atau melompat/meloncat akan mudah terjatuh. Praktis, aktivitas dan peluang bereksplorasi serta rasa ingin tahunya jadi terhambat.
Itu sebab, agar tak berkembang kelewat jauh, sejak awal orang tua maupun pengasuh atau siapa pun yang menjadi orang terdekat si kecil harus memberi perhatian secara proporsional sekaligus pengarahan.
Jikapun lantaran berbagai sebab, akhirnya 'kesalahan' ini menjadi kebiasaan, menurut Retno, orang tua wajib bersikap sebagai gatekeeper atau penjaga gawang yang takkan pernah bosan memberitahukan kesalahan sekaligus meluruskannya. Bukankah bentuk perlakuan yang berulang-ulang bisa diharapkan akan mengakar sebagai kebiasaan?
Namun bila orang tua tak peka terhadap kesalahan tadi dan tak segera menegur serta membetulkannya, anak akan merasa hal tersebut bukan suatu kesalahan.
BELAJAR DARI KESALAHAN
Sebetulnya, bilang Retno, kita bisa memanfaatkan sisi positif dari situasi ini, yakni biarkan anak belajar dari kesalahannya. "Namun tentu saja, kesadaran bahwa dirinya melakukan kesalahan tak datang atau terbentuk dengan sendirinya, melainkan karena ada kepekaan dan pendampingan serta pengarahan yang tepat dari orang tua." Misal, "Ade, pakai sepatunya salah. Harusnya begini, lo, pakai sepatu yang benar.", dibarengi contoh langsung atau minimal sembari orang tua meletakkan sepatu tersebut di posisi yang benar.
Koreksi cara ini akan diingat si kecil dalam memorinya sekaligus lebih bermakna. Pasalnya, dibanding anak yang tak pernah melakukan kesalahan lantaran sepatunya selalu dipakaikan, mereka yang memakai sepatu terbolak-balik ini lebih "beruntung". Setidaknya, dampak psikologisnya lebih bagus karena ia pernah merasakan arti gagal atau berbuat salah, sekaligus tahu bagaimana cara memperbaikinya. Namun ingat, dalam menegur harus menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami anak usia ini. Juga harus disertai contoh karena lebih mudah ditangkap anak lantaran bersifat konkret. Selain, anak masih dalam tahap modelling atau peniruan.
Jika ia sampai terjatuh karena pakai sepatu/sandal terbalik, kita pun bisa menjadikannya sebagai contoh karena anak umumnya lebih mudah berasosiasi. Misal, "Tuh, Ade jatuh kesrimpet gara-gara pakai sepatu terbalik, sih!" Dengan demikian, ia akan melihat dan merasakan konsekuensi langsung dari kesalahannya memakai sepatu/sandal terbalik. Yang penting, bilang Retno, jangan lupa untuk langsung meralat kesalahannya, "Begini, lo, De, pakai sepatunya biar enggak jatuh dan kaki Adek juga enggak sakit."
Namun jangan lantas berhenti sampai di situ, lo, melainkan lanjutkan dengan memberi dukungan dan lingkungan kondusif yang akan menguatkan harga dirinya dan memunculkan perasaan mampu. Caranya, tunjukkan apresiasi atau penghargaan kita kala ia menunjukkan keinginannya mandiri. "Aduh, pintarnya, anak Ayah, sudah bisa pakai sepatu sendiri."
MERASA TAK MAMPU
Penting diperhatikan, jangan sekali-kali menegur anak sampai membuatnya merasa terpojok, apalagi sampai membuatnya patah arang. Soalnya, bisa menimbulkan rasa kesal pada si kecil hingga bukan tak mungkin ia malah menunjukkan sikap membangkang. Ingat, anak usia ini juga tengah menunjukkan sikap negativistiknya.
Lagi pula, jelas Retno, jika anak selalu dicela dan disalah-salahkan, "dalam dirinya akan muncul perasaan tak mampu, hingga ia cenderung meragukan kemampuan dirinya." Apalagi bila anak sampai begitu merasa malu lantaran telah berbuat salah, sedikit banyak pasti akan berpengaruh terhadap tahap perkembangan selanjutnya. "Perasaan tak mampu ini akan makin bertumpuk bila teman-temannya pun ikut memojokkan dan memposisikannya sebagai 'anak bawang', hingga akan mengikis rasa percaya dirinya yang baru mulai tumbuh." Tentunya ini akan menghambat pergaulannya, bukan?
Yang jelas, Bu-Pak, bila kita rajin mengarahkannya dan mampu bersikap konsisten, kesalahan semacam ini bisa cepat diperbaiki, kok. Apalagi dengan bertambahnya usia, kemampuan intelektualnya pun makin berkembang. Jadi, tak perlu khawatir kesalahan ini bakal terus terbawa hingga ia dewasa.
Mengenalkan Kiri Dan Kanan Lewat Tubuh
Untuk membantu anak mengenal konsep kiri dan kanan, terang Retno, ada baiknya si kecil diarahkan untuk "mempelajari" bagian-bagian tubuhnya. Misal, lewat nyanyian, "Dua kaki saya, yang kiri dan kanan," sambil langsung tunjukkan dan minta anak mengangkat masing-masing kakinya sesuai yang disebutkan. Jikapun ia masih melakukan kesalahan, tak mengapa. Toh, kita bisa meluruskannya pelan-pelan, "Lo, Bunda, kan, minta Ade angkat tangan kanan, kok, malah yang kiri?" Dengan begitu, selain belajar mengenal konsep kiri dan kanan, ia sekaligus mengenal konsep benar dan salah.
Memilih Sepatu Yang Pas
Sebetulnya sepatu/sandal berfungsi melindungi kaki dari kotoran dan benda-benda tajam/membahayakan, semisal duri. Namun mengingat penggunaan yang salah bisa berdampak pada perkembangan motorik kasar anak, orang tua pun perlu mencermati pemilihan/penggunaan sepatu yang benar-benar aman dan nyaman buat si kecil.
- Pilih yang paling sesuai dengan bentuk kaki. Ukurannya jangan terlalu besar atau justru kesempitan.
- Pas di kaki, tapi mudah dilepas-pasang, hingga tak membuat si kecil "terikat" seharian.
- Pilih bahan yang "bernafas" dan ringan agar si kecil tak mendapat kesulitan ganda dan merasa terbebani dengan sepatu. Apalagi bila mereka baru belajar berjalan.
- Perhatikan pula kelenturannya, minimal bagian depan harus dengan mudah dapat dilengkungkan ke atas sekitar 40 derajat.
- Cari yang bersol anti selip atau memiliki alur seperti roda mobil agar anak tak terpeleset, sekaligus tak lengket yang membuat sepatu sulit diangkat.
- Pilih desain dan warna yang menyala dan menarik. Biarkan anak menentukan pilihannya sendiri. Tempelan gambar hewan atau tokoh kartun akan memberi nilai tambah buat si kecil.
Yanti/Achmad Suhendi/nakita
KOMENTAR