SOLUSI
Nah, agar si kecil tak keterusan latah, yang pertama harus kita lakukan tentulah tak memberi respon menyenangkan semisal senyum atau tertawa, karena justru akan memperkuat kelatahannya. "Ingat, lo, anak usia ini pemahamannya masih terbatas. Jadi, kalau lingkungannya tertawa, dianggapnya sebagai bentuk pengakuan atau persetujuan atas ulah yang dilakukannya," terang Dhieni. Makanya, si kecil jadi terpancing untuk kembali latah.
Lebih baik, sambung Sofi, si kecil ditegur langsung saat latahnya muncul. "Biasanya anak akan berusaha keras untuk tak mengulangi kebiasaan yang enggak berkenan tadi," katanya. Namun menegurnya jangan dengan nada keras atau marah, lo, dan harus disertai penjelasan. Dengan begitu, si kecil jadi tahu kenapa ia tak boleh latah.
Selain itu, orang-orang terdekat lingkungan si kecil hendaknya juga tak memberi contoh. "Ingat, siapa pun yang paling dekat dengan kehidupan anak, jika ngomong dengan pola tertentu yang memancing latah, si kecil pun akan bertingkah laku sama begitu menghadapi situasi serupa," tutur Dhieni. Jadi, kita perlu mengingatkan orang-orang sekitar untuk menegur sosok peniru, termasuk diri kita sendiri, saat melakukan "kesalahan" tersebut.
Jika segala upaya sudah dilakukan tapi si kecil tetap ngotot mempertahankan kelatahannya, "coba, deh, dicuekin," anjur Sofi. Maksudnya, jangan beri respon apa pun, baik senyuman, teguran, ataupun omelan. "Pokoknya tunjukkan kita tak mendukungnya sama sekali. Dengan begitu, anak belajar memahami bahwa ayah atau ibu diam saja dan tak menyetujui aksinya." Biasanya cara ini cukup manjur, kok. Bukankah kalau kita diam, si kecil biasanya malah tak berkutik? Sementara kalau kita ngomel, ia malah makin nekat. Apalagi kalau kita bereaksi tertawa, makin menjadi-jadilah ulahnya.
Nah, mana solusi yang tepat, silakan Ibu dan Bapak pilih yang kira-kira paling pas buat menghadapi si kecil yang suka berlatah-ria.
Th.Puspayanti/nakita
WASPADAI TAYANGAN TV
Kita tahu, tayangan TV bisa berpengaruh positif maupun negatif pada anak. Celakanya, jika si kecil terpengaruh yang negatif. "Ambil contoh tayangan iklan sebuah obat sakit kepala yang penjualnya digambarkan latah. Nah, ini, kan, bisa saja ditiru si kecil," bilang Dhieni. Itu sebab, tekannya, orang tua harus jeli mengamati sekaligus memilah-milah tontonan yang boleh dinikmati anaknya dan mendampingi kala si anak nonton. Hingga, saat ada tontonan yang tak layak ditiru semisal tayangan iklan tadi, kita bisa langsung menjelaskannya pada si kecil.
KOMENTAR