Hal serupa juga tetap perlu kita lakukan sekalipun kemampuan/keterampilan si kecil melampaui target yang seharusnya. "Kita harus mendorongnya agar bisa lebih ke depan lagi." Soalnya, kalau didiamkan saja, kemampuannya yang lebih itu lama-lama bisa tak berkembang. Namun bukan berarti kita lantas terlalu berambisi hingga memaksa si kecil untuk meningkatkan kemampuan/keterampilannya agar lebih tinggi lagi. Soalnya, sikap kita yang demikian bukan memotivasi anak, malah membuatnya jadi frustrasi.
Yang jelas, Bu-Pak, cepat-lambatnya perkembangan si kecil amat berkaitan dengan sikap kita. Bila kita memberi banyak kesempatan untuk belajar dan berlatih pada si kecil, ia akan tumbuh dan berkembang optimal, termasuk kemampuan/keterampilannya menolong diri sendiri. Malah, kemampuan/keterampilannya pada satu atau beberapa aspek bisa amat menonjol dibanding anak-anak lain seusianya, bila si kecil tergolong anak berbakat.
CARA EFEKTIF
Tapi tentu cara kita mengajarkannya pada si kecil harus efektif agar hasilnya benar-benar optimal. Menurut Mitha, kita hanya bertugas sebagai pemancing. "Orang tua membantu hanya pada awalnya, lalu anak diajarkan perlahan-lahan secara bertahap." Misal, kita ingin si kecil bisa pakai baju sendiri. Awalnya kita sediakan bajunya, baru si kecil pakai sendiri. Secara bertahap kita ajak dia memilih sendiri baju yang akan dipakainya, hingga akhirnya dia bukan hanya bisa memilih sendiri tapi juga tahu mana baju rumah, baju tidur, baju jalan-jalan, dan sebagainya. Sebaiknya, baju yang dipakai pun bertahap, dari t-shirt, berkancing satu-dua, lalu meningkat yang berkancing banyak; dari baju tanpa lengan hingga lengan panjang.
Namun dalam mengajarkan/melatih si kecil, kita harus sabar, lo. Hingga, waktu yang disediakan pun harus panjang. Selain, kita pun tak boleh menuntut anak harus mengerjakannya dengan sempurna. Namanya juga lagi belajar. Ya, kan? Misal, saat mengajarkan makan, "jangan sampai orang tua tergesa-gesa dan ingin meja tetap rapi." Jangan kita malah bilang, "Ayo, cepat makannya. Jangan diacak-acak begitu, dong, Kan, mejanya jadi kotor." Saran Mitha, "biarkan anak menghadapi piringnya sendiri agar ia punya pengalaman bagaimana caranya memegang sendok dengan benar dan memasukkannya ke mulut tanpa tumpah makanannya."
Bagaimanapun kita memang tak bisa menuntut si kecil untuk rapi dan bersih kala baru belajar. Apalagi saat baru belajar, rasa ingin tahunya pasti muncul hingga ia pun tergoda untuk bereksperimen, "Kalau sendok ini aku pukul-pukulkan ke piring, apa, ya, jadinya?" atau "Kalau aku pegang sendoknya pakai jempol dan telunjuk aja, nanti gimana, ya?", "Kalau aku makannya pakai tangan aja, bisa enggak, ya?", dan sebagainya.
Itu sebab, si kecil perlu bimbingan dan pengawasan dari kita kala pertama kali belajar. Kita enggak bisa cuma bilang, "Kakak, pakai bajunya harus rapi.", misal, tanpa memberi tahu dan mencontohkan seperti apa pakai baju yang rapi itu. Ingat, anak usia ini cara berpikirnya masih kongkret. Jadi, sebaiknya katakan, misal, "Kalau pakai baju, kancingnya harus dipasang semua, ya, Kak. Kerahnya juga jangan sampai terlipat seperti ini. Nah, sekarang jadi rapi, deh."
Hal lain yang harus diperhatikan, apa pun langkah dan hasil yang ditunjukkan si kecil, kita wajib menghargainya. Jadi, bila si kecil yang sedang belajar mengancingkan baju ternyata cuma 1 kancing yang dikaitkan padahal ada 2 kancing, kita tetap harus menghargainya, "Wah, anak Mama sudah pintar, sudah bisa mengancingkan baju sendiri. Mama senang Kakak bisa melakukannya. Pasti Kakak akan lebih pintar lagi kalau kancing yang ini juga dikaitkan." Dengan begitu, si kecil takkan merasa hasil kerjanya buruk, melainkan, "Oh, iya, ternyata ada yang lebih baik lagi kalau aku melakukan sesuatu."
Jangan kita malah melecehkannya, "Ah, Kakak payah. Masa ngancingin baju aja enggak becus. Tuh, satu masih ketinggalan." Pelecehan hanya akan melemahkan semangat anak hingga ia pun tak termotivasi untuk belajar/berlatih lagi. Begitu juga bila kita marah-marah, "akhirnya anak memilih diam saja, menunggu dipakaikan baju, disuapi makan, dimandikan, dan sebagainya." Kalau sudah begitu, jangan heran bila sampai saat mulai masuk SD pun si kecil tak kunjung mandiri.
BERTANGGUNG JAWAB
Penting diketahui, dengan mengajari/melatih si kecil untuk menolong dirinya sendiri, sekaligus kita mengajarinya bertanggung jawab pada diri sendiri. Soalnya, dengan ia terampil mengerjakan sesuatu, secara otomatis akan terbentuk tanggung jawab dalam dirinya untuk mengerjakannya sendiri. Misal, kita mengajarinya membereskan tempat tidurnya. Nah, setelah ia benar-benar terampil mengerjakan tugas itu, dalam dirinya akan tumbuh pikiran, "Oh, iya, sebelum aku keluar dari kamar, aku harus membereskan tempat tidurku dulu biar rapi."
Jadi, setelah anak tahu bagaimana cara mengerjakannya/melakukannya dan lingkungan juga kondusif memberikan tanggung jawab tersebut, "anak pun akan lebih bertanggung jawab pada dirinya," bilang Mitha. Namun bila ia tak mengerti bagaimana cara mengerjakannya, tentu kita tak bisa berharap ia akan bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Dalam hal toilet training, misal, "jika si anak tak tahu apa yang harus ia lakukan kalau mau BAK atau BAB, maka yang dilakukannya hanyalah berteriak minta tolong atau dia asal mengerjakan. BAK-nya di sembarang tempat dan enggak disiram, ceboknya juga asal. Itu, kan, menandakan anak tak bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Padahal kebersihan, kan, ditujukan untuk dirinya sendiri."
Selain bertanggung jawab, anak juga akan bangga pada dirinya, lo, "Ternyata, aku mampu, kok, melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain."
Kebanggaan ini, terang Mitha, nantinya akan berkembang pada kegiatan-kegiatan lain semisal menyanyi, menggambar, menghitung, dan sebagainya. Kalau sudah begitu, kepercayaan dirinya pun makin besar.
Hal sebaliknya akan terjadi bila si kecil terbiasa ditolong dalam segala hal. "Hidupnya akan terus bergantung pada orang lain, entah orang tuanya, pengasuhnya, atau orang lain yang ada di lingkungannya." Karena baginya, ketergantungan tersebut lebih nyaman ketimbang harus melakukan sendiri. Bukankah untuk bisa melakukan sendiri, ia harus berusaha? Terlebih jika ia kerap dimarahi kala gagal atau salah. Nah, karena ia tak punya pengalaman untuk menolong diri sendiri atau pengalaman yang diperolehnya tak menyenangkan karena dimarahi melulu, maka ia pun tak merasakan adanya kebanggaan atas kemampuannya.
Jadi, jangan sampai luput mengajarkan/melatih si kecil, ya, Bu-Pak.
Indah/Achmad Suhendi/nakita
KOMENTAR