Istri wajib mengenal karakter suaminya. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Bukan begitu, Bu?
* DOMINAN
Suami cenderung mengarahkan dan mengatur-atur orang lain, terutama istrinya. Segala keputusan berada di tangannya. "Tentu saja hal ini akan menyebabkan ketimpangan-ketimpangan dalam keluarga karena suami-istri seharusnya merupakan koeksistensi atau berada dalam level yang sama," jelas Drajat S. Soemitro, Kepala Bagian Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Mungkin saja istri menurut, tapi pasti dengan keterpaksaan atau perasaan ingin memberontak. Perasaan-perasaan serba tidak enak yang dipendam dalam diri istri akan menyebabkan muncul ketegangan-ketegangan dalam dirinya. Akibatnya hubungan suami istri pun akan terganggu. Karakter ini sebetulnya merupakan cerminan dari kekurangan suami.
Dominasi dimunculkan karena keinginan untuk memegang superioritas atau untuk menunjukkan kekuasaan. Baginya, ujar Drajat, "kalau saya tidak keras dan pegang kuasa, jangan-jangan saya dianggap lemah. Wah saya nggak mau dong!" Karakter ini tidak menimbulkan friksi atau masalah hanya jika istri memiliki "kebutuhan" untuk dieksploitasi, dijajah dan dijadikan korban. Suami yang dominan malah akan klop bila beristri perempuan masokis.
Suami dominan biasanya punya model ayah yang juga dominan. Di matanya, dominasi ayah terhadap ibunya terlihat begitu hebat dan heroik, menunjukkan superioritasnya sebagai lelaki jantan. "Kalau dominasi ini diramu dengan rasa marah dan benci, maka yang muncul adalah sifat sadis dan destruktif.
Kendati begitu, model ayah yang dominan bisa pula memunculkan pria penyayang yang amat melindungi wanita. Boleh jadi pria tadi "belajar" dari ketidaknyamanan yang dirasakannya sebagai anak dari orang tua yang dominan, lalu memilih tidak meneladani model tersebut."
* MINDER ATAU TAKUT ISTRI
Sebetulnya suami seperti ini "lahir" dari ibu yang kelewat dominan. Ia dibuat tergantung sedemikian rupa oleh ibunya. Namun dalam dinamika perkembangannya, si "anak" justru tumbuh menjadi pria yang dikuasai ketidakberdayaan. "Tak mengherankan kalau ia kemudian tampil sebagai suami lembut, penurut, submisif atau tidak berani melawan," tukas Drajat.
Tapi, tentu saja semua terpulang pada sosok wanita yang menjadi istrinya. "Kalau istrinya tidak dominan, boleh jadi ia pun tidak tergolong suami yang takut istri." Rasa takut dan minder biasanya disebabkan faktor ekonomi maupun psikis, yang membuat ia memang tergantung pada istrinya. Pengalaman semasa kanak-kanak seolah terulang lagi. Tidak jarang tipe suami begini manis di rumah, namun "liar" di luar dengan berlaku keras atau menekan bawahannya. Perilakunya di luar merupakan kompensasi dari ketidakberdayaan dan ketakutannya.
* CURIGA
"Bersumber dari insekuritas atau rasa tidak aman yang memunculkan sikap kelewat khawatir, cemas dan takut ditertawakan. Sebetulnya karena kurang capable atau ketidakmampuan membina hubungan sosial alias ketimpangan interpersonal." Ia selalu merasa was-was akan terjadi sesuatu yang merugikan atau mencelakakan dirinya. Itu sebabnya ia selalu curiga dan menganggap orang lain, termasuk istrinya, sebagai ancaman. Untuk mengatasinya, tak ada cara lain kecuali meningkatkan kematangan dan kepercayaan dirinya. Dalam kehidupan seseorang, jelas Drajat, manusia antara lain butuh rasa aman dan kepastian bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Seorang anak yang sedari kecil tidak pernah merasakan kehangatan pelukan ibunya atau tidak pernah merasakan rasa aman digandeng ayahnya ketika menyeberang jalan, memiliki peluang besar untuk tumbuh menjadi pribadi pencuriga. "Rasa tidak aman ini akan 'terekam' dalam diri anak sejak bayi." Ia tidak memiliki kebanggaan pada sosok ayah atau ibu yang seharusnya melindunginya sehingga ia akan menilai bahwa hidup ini tidak cukup aman untuknya. Begitu juga aturan-aturan yang tidak jelas dan tidak pasti, semakin mengundang kecurigaan. Ia tidak tahu mana yang boleh dan mana yang tidak. Karena tidak memperoleh rasa aman tadi, kepribadiannya tidak berkembang, hingga serba takut dan bingung. Yang ada "Jangan-jangan nanti aku jadi bahan tertawaan. Jangan-jangan aku tidak lulus, dan pola jangan-jangan lainnya." Di sini, lagi-lagi orang tua yang terlalu keras dan kelewat mengatur akan melahirkan anak yang berkarakter curiga. Ia begitu mudah bereaksi "menyerang" bila orang lain terasa mengancam hidupnya.
KOMENTAR