Belum lagi ibu-ibu bekerja yang tingkat kekhawatirannya begitu tinggi lantaran tak melihat langsung apa dan bagaimana anaknya sehari-hari sepeninggalnya. "Akhirnya, si ibu, kan, jadi kelewat melindungi anaknya," lanjut Rieny. Atau, karena ibu merasa bersalah telah meninggalkan anaknya untuk bekerja lantas berusaha "membayar"nya dengan berbagai bentuk kemanjaan. "Bila demikian, kan, sama sekali enggak membantu." Jadi, sama aja boong, ya, Bu.
Tak demikian halnya dengan ibu rumah tangga sejati, "justru peluangnya besar sekali untuk menciptakan keluarga mandiri yang tak perlu dipusingkan oleh ulah pembantu." Bukankah dengan membiasakan anak membantu ibu bekerja, maka anak pun akan terlatih bersikap mandiri? Menurut Rieny, semakin mandiri suatu rumah tangga, semakin besar peluangnya untuk bahagia. Pasalnya, setiap anggota keluarga sudah saling bisa mengerti dan memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga ketergantungan mereka pada "orang luar" semakin kecil. Nah, satu lagi kelebihan menjalani sebagai ibu rumah tangga sejati, ya, Bu.
TAK USAH PUSING SOAL KESETARAAN
"Kenapa, sih, harus dipermasalahkan?" tanya Rieny. Menurutnya, kalau suami sudah mengatakan, "Aku saja yang bekerja karena tugasmu di rumah ngurus anak dan rumah tak tergantikan oleh babysitter maupun pembantu,", berarti sebagai istri, kita mendapat reward dari suami. "Mestinya nggak perlu merasa minder, dong, hanya karena statusnya cuma ikut suami."
Sebenarnya, tutur Rieny, bukan soal istri bekerja atau tidak tapi bagaimana suami menganggap kedudukan istri, apakah sebagai mitra sejajar atau lebih inferior buat dia. Malah ada, lo, suami yang menganggap istrinya sebagai investasi lantaran bisa mendatangkan uang. "Istri dianggapnya sebagai objek untuk membantu meringankan beban dan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah." Nggak sedikit, lo, suami model begini. Berbeda dengan suami yang menganggap istrinya sebagai mitra, "bekerja atau tidak, si istri pasti dihargai dan dilibatkan dalam membuat keputusan."
Nah, bagaimana dengan suami Anda, Bu? Tapi tentunya untuk memiliki suami yang memandang istri sebagai mitra tak bisa dilepaskan pada konsensus awal. Jadi, harus dibicarakan sejak jauh-jauh hari, ya, Bu.
IBU TAK BEKERJA TAPI MEMBLE
Memang, aku Rieny, dengan ibu tak bekerja bukan jaminan si anak akan memperoleh yang terbaik. Ambil contoh ibu-ibu yang lantaran situasi memaksanya tak bekerja, hingga enerjinya lebih banyak terbuang hanya untuk berandai-andai dan menyesali diri, "Duh, mestinya, kan, aku bisa ketemu banyak orang dan bukan terkurung di rumah." Ibu-ibu seperti ini, "lebih banyak menghabiskan waktunya di depan TV menyaksikan telenovela atau jalan-jalan ke mal." Padahal, "ongkos" sosialisasi mereka biasanya justru lebih tinggi karena sulit mengerem kebiasaan dan keinginan berbelanja ini-itu yang bukan merupakan kebutuhan primer atau keperluan mendesak. "Biasanya ibu-ibu model ini justru bingung bagaimana caranya menghabiskan uang suami!"
Tak sedikit pula istri yang mematuhi larangan suami untuk tak bekerja hanya karena tak terbiasa protes atau dengan pertimbangan ingin membahagiakan suami. Bila demikian, "secara psikologi, perkawinan semacam ini sudah enggak sehat." Soalnya, istri model ini biasanya akan menyalurkan ambisinya lewat anak. "Anak dituntut harus selalu jadi nomor satu di sekolah, harus les ini-itu, dan ikut kegiatan segala macam yang akhirnya malah menjadi beban buat si anak."
Jadi, Bu, kalau memang tak bekerja sudah merupakan pilihan, terlepas apapun alasannya, kita memang harus menjalaninya tanpa beban. Kasihan si kecil, kan, kalau ia harus jadi "korban". Padahal, ia enggak salah apa-apa, lo.
KOMENTAR