Banyak, lo, istri yang enggak tahu gaji suaminya. Sampai-sampai uang belanja pun dijatah oleh suami.
Kisah seorang istri berikut ini adalah sebuah contoh nyata. Linda, sebut saja begitu, sudah 3 tahun menikah. Namun sejak menikah hingga sekarang, ia tak pernah tahu berapa besar gaji suaminya setiap bulan. "Saya cuma dikasih uang belanja setiap minggu 150 ribu. Sebelum krismon, saya dikasih 100 ribu. Pinter-pinternya saya, deh, gimana ngaturnya," tutur wanita 32 tahun ini.
Sebenarnya, Linda yang sejak menikah tak bekerja lagi, ingin sekali tahu penghasilan suaminya setiap bulan, namun ia tak berani menanyakannya. "Pernah sekali saya tanya, tapi dia malah marah. Katanya, saya nggak perlu tahu. Toh, segala kebutuhan saya sudah dia penuhi.
Memang, sih, meski dijatah setiap minggu, tapi kalau saya kekurangan, dia pasti ngasih meskipun ditanya dulu untuk apa," lanjutnya. Pendeknya, kendati ada ganjalan di dada, namun Linda tak terlalu mempersoalkan berapa besar gaji suaminya. Apalagi sang suami, akunya, tak pelit-pelit amat. "Kalau saya perlu uang, dia selalu memberi asalkan alasannya tepat," tambah ibu seorang putri berusia 1 tahun 8 bulan ini.
Boleh jadi, Linda masih beruntung ketimbang istri-istri lain yang selain dijatah suaminya -bahkan, tak sedikit istri yang dijatah harian- masih harus pontang-panting untuk menutupi kekurangan belanja harian lantaran suaminya tak mau tahu lagi. Perilaku suami yang demikian, ternyata banyak, lo, dijumpai. Soalnya, kata psikolog Widyarto Adi Ps., setiap lelaki memang punya kecenderungan untuk menggunakan uang seenaknya sendiri. Nah, lo!
ISTRI "MENTERI KEUANGAN"
Tapi sebenarnya, persoalan uang belanja yang dijatah ini, menurut Widyarto, lebih disebabkan tak adanya kedudukan yang setara antara suami-istri. "Suami tak percaya kalau istrinya mampu mengelola keuangan keluarga, sehingga ia berpikir istrinya tak perlu tahu berapa besar gajinya dan untuk keperluan sehari-hari keluarga, si istri dijatah, yang besarnya uang sudah ditentukan oleh suami," tuturnya.
Itulah mengapa, Widyarto menekankan, kesetaraan antara suami-istri sangat mutlak diperlukan agar pengelolaan keuangan di dalam keluarga menjadi lebih mudah. "Biasanya istri yang akan ditunjuk sebagai 'menteri keuangan' keluarga yang bertanggung jawab dalam mengelola gaji suami. Tentu dilakukannya secara terbuka dan transparan oleh suami maupun istri pada saat mengelolanya," paparnya. Dengan demikian, istri harus tahu berapa besar gaji maupun hasil sampingan suaminya.
"Kalau suaminya sering diundang jadi pembicara atau moderator, misalnya, sudah sewajarnya istri juga tahu berapa 'pasaran' suaminya di dunia seminar." Hal serupa juga harus dilakukan istri. "Bila istri punya sampingan, misalnya, bersama kawan berbisnis pakaian, suami pun harus tahu berapa gaji maupun hasil sampingan suaminya. "Kalau suaminya sering diundang jadi pembicara atau moderator, misalnya, sudah sewajarnya istri juga tahu berapa "pasaran" suaminya di dunia seminar." Hal serupa juga harus dilakukan istri.
"Bila istri punya sampingan, misalnya, bersama kawan berbisnis pakaian, suami pun harus tahu berapa pendapatannya." Soalnya, ketidakterbukaan dan ketidaksetaraan merupakan penyebab utama saling curiga di antara suami-istri. Kadang ada, kan suami ataupun istri yang mengeluarkan uang diluar kebutuhan anak-istri atau suaminya. Misalnya, harus membantu adik-adiknya yang masih sekolah karena ayahnya sudah lama pensiun atau membantu biaya hidup ibunya.
"Nah, itu semua harus sepengetahuan pasangan masing-masing. "Kalau tidak, akan menyebabkan mereka tak merasa enak jika dikemudian hari pasangan hidupnya mengetahui dan menganggapnya 'berselingkuh' uang". Hal ini dapat menjadi pemicu timbulnya pertengkaran di antara suami istri.
JADI KONSUMTIF
Kendati istri adalah "menteri keuangan", namun dalam pengelolaannya, menurut Widyarto, seyogyanya suami juga dilibatkan. "Tapi tentu tak terlibat dalam semua hal," tukasnya. Misalnya, suami dapat dilibatkan dalam menentukan ke mana sofa di ruang tamu akan direparasi karena kebetulan si suami lebih mengetahui tempat reparasi sofa yang lebih murah. "Kalaupun suami enggak mau dilibatkan atau melibatkan diri, ya, enggak apa-apa. Yang penting, istri selalu terbuka terhadap keterlibatan suami," lanjut Widyarto.
Malah ada positifnya, lo, kalau Bapak enggak mau terlibat. Istri jadi dituntut untuk bertanggung jawab dalam pengelolaannya. "Ia dapat secara bebas memutuskan dan merencanakan karena sadar betul berapa besar gaji suaminya, sehingga kehati-hatiannya akan tinggi dalam mengelola uang." Tapi lihat-lihat juga tipe sang istri, ya, Pak. Kalau ia tak dapat mengendalikan diri, ia akan 'mentang-mentang' dan terdorong untuk menggunakan uang tersebut untuk hal-hal yang tak perlu, menjadi komsutif.Bukankah wanita, katanya, 'lapar mata', kalau melihat barang bagus inginnya membeli meskipun kurang membutuhkan.
Ada lo, wanita yang meja riasnya sampai tiga buah. Nah, menghadapi istri yang demikian, Bapak wajib mengingatkannya. "Bukankah komitmen dalam mengelola keuangan keluarga adalah melaksanakan pendistribusiannya secara benar dan lurus?" ujar Widyarto. Jadi, kalau istri sebagai "menteri keuangan"nya melakukan penyimpangan atau bersikap konsumtif, berarti, kan, mengganggu keuangan keluarga. Makanya, ia perlu diingatkan.
Jika Bapak sudah mengingatkan namun ia tak juga berubah, saran Widyarto, Bapak harus mengambil alih pengelolaan atau memberi uang harian yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan itu sendiri. "Kalau tidak, tentu taruhannya adalah kesengsaraan," tukas pria yang biasa melakukan pelatihan bidang pengembangan diri dan pengembangan organisasi ini.
SISTEM SATU PUNDI
Adapun mengenai sistem pengelolaan keuangan dalam keluarga, menurut Widyarto, bisa dipilih sistem satu pundi atau dua pundi. Tentu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Pada sistem satu pundi, terang Widyarto, penghasilan istri dan suami dijadikan satu. Dengan demikian, pengeluaran jadi lebih terkontrol karena suami dan istri sama-sama mengetahui sehingga dapat saling mengingatkan. Namun kelemahannya, "dapat menimbulkan kecurigaan berlebihan dari salah satu pihak."
Misalnya, istri telah membelanjakan uang untuk seperangkat alat make up seharga Rp. 250 ribu yang oleh suaminya diprotes karena dianggap berlebihan. "Nah, ini, kan, bisa menimbulkan konflik di antara suami-istri." Menurut Widyarto, sistem satu pundi lebih tepat digunakan oleh suami-istri yang penghasilannya relatif masih sedikit atau si istri tak bekerja. Dengan begitu, pengelolaan keuangannya dapat diserahkan kepada istri atau bisa juga suami yang langsung mengelola dan istri pun tahu penggunaan uang tersebut.
"Tapi sebaiknya, sih, pengelolaan uang diserahkan kepada istri saja kalau istrinya tak bekerja. Soalnya, para suami umumnya jarang sekali mau memikirkan hal-hal sepele dalam masalah pengeluaran keluarga," tuturnya. Selanjutnya, bila telah mengalami peningkatan penghasilan yang cukup signifikan, barulah digunakan sistem dua pundi.
Pada suami-istri yang sama-sama bekerja dan telah mengalami peningkatan penghasilan, dengan sistem dua pundi berarti masing-masing memiliki pundi sendiri. Sedangkan pada suami yang istrinya tak bekerja namun penghasilannya telah meningkat, maka pundi yang kedua merupakan tabungan yang diambil dari sisa uang pada pundi pertama.
IDEALNYA DUA PUNDI
Bagi suami-istri yang sama-sama bekerja dengan penghasilan relatif mencukupi, Widyarto tak menganjurkan sistem satu pundi, walaupun pengelolaannya terkontrol. "Soalnya, si istri nanti jadi super woman; disamping sibuk urusan kantor, dia juga disibukkan urusan pengelolaan keuangan keluarga."
Bukan berarti istri lantas tak boleh jadi "menteri keuangan"nya, lo. "Kalau memang si istri bisa melakukannya, ya, enggak apa-apa. Toh, sebenarnya wanita juga lebih tabah dibanding laki-laki." Namun begitu, Widyarto melihat, akan lebih ideal bila digunakan sistem dua pundi karena masing-masing pihak akan lebih leluasa untuk mengelola sendiri uang pendapatannya. Bukankah masing-masing punya pundi sendiri?
"Tapi tentu dengan tak meninggalkan kesetaraan, ya," pesan Widyarto seraya melanjutkan, "karena kesetaraan adalah manifestasi gejala penghargaan dari masing-masing pihak kepada pasangannya." Yang perlu diingat, pada sistem dua pundi, siapapun yang lebih besar penghasilannya -tanpa terkecuali- akan menanggung keuangan keluarga lebih besar dari pasangannya.
"Jadi, kalau suami gajinya lebih besar, ia dapat menanggung biaya pengeluaran yang besar-besar, seperti rekening telepon, asuransi mobil, uang pangkal masuk sekolah anak-anak, perbaikan rumah, dan sebagainya. Sedangkan istri yang membayar iuran sekolah anak, belanja sehari-hari maupun gaji pembantu." Begitu pula sebaliknya kalau istri yang lebih besar penghasilannya.
Untuk memperlancar komunikasi, saran Widyarto, alat bantu seperti white board bisa digunakan sebagai media komunikasi antara suami-istri ataupun dengan anggota keluarga lain. Misalnya, untuk menyampaikan pesan kepada suami bahwa perlu dibelikan lagi satu tabung gas sebagai cadangan. Tentunya pesan tersebut dapat dibaca oleh semua anggota keluarga agar dapat saling mengingatkan.
PUNDI KETIGA DAN SETERUSNYA
Kalau sistem dua pundi sudah sukses, selanjutnya suami-istri bisa menciptakan pundi ketiga. "Pundi ketiga merupakan gabungan sisa uang pada pundi milik masing-masing. Jadi, sifatnya sama dengan tabungan, lebih banyak uang yang masuk," jelas Widyarto.
Dari pundi ketiga dapat pula direncanakan pengeluaran lain, misalnya, untuk berlibur sekeluarga ke Bali. Jika penghasilan suami dan istri, seiring dengan waktu terus bertambah, maka dapat diciptakan pundi keempat, kelima, dan seterusnya sebagai tempat menabung untuk pengeluaran yang cukup besar dan bersifat jangka panjang. Misalnya, ada rencana merenovasi rumah, ingin mengganti mobil, dan sebagainya yang perlu waktu relatif lama untuk mengumpulkan dananya. Ternyata enggak sulit-sulit amat, ya, Pak-Bu, mengelola keuangan keluarga. Asalkan kita mau saling terbuka mengenai gaji masing-masing dan percaya dalam pengelolaannya. Tentunya yang ditunjuk sebagai "menteri keuangan" juga harus bisa dipercaya, lo.
MENGANDALKAN ISTRI
Ada, lo, suami yang tak mau ikut berperan dalam keuangan keluarga lantaran istrinya sudah bekerja. Jadi, istrilah yang membiayai seluruh kebutuhan rumah tangga dengan gajinya, sementara si suami menggunakan seluruh gajinya untuk kebutuhannya sendiri. Si suami juga enggak mau peduli bila istrinya mengalami kekurangan uang, sehingga si istri harus berjuang sendiri untuk menutupi kekurangan tersebut dengan pinjam sana-sini. Suami model ini, menurut Widyarto, sewaktu kecil kurang mendapatkan pendidikan tentang berbagi dan bagaimana menghargai wanita. "Setelah menikah, walaupun sudah berpenghasilan, tanggung jawabnya cenderung kurang dalam menopang kebutuhan keluarganya dan lebih mengandalkan istrinya dalam membiayai kebutuhan keluarganya." Hal ini tentunya membuat hubungan suami-istri jadi tak harmonis. Komunikasi pun bisa enggak ada. Masalah anak-anak, misalnya, semuanya seolah-olah hanyalah urusan istri semata. Bila keadaan ini berlarut-larut, bukan tak mungkin si istri akhirnya mengajukan gugat cerai kepada sang suami. Nah, bila Anda yang menjadi istri tersebut, saran Widyarto, mintalah pertolongan kepada sanak keluarga untuk dapat menasihati suami. Misalnya, kepada mertua. Atau, bila perlu dapat juga meminta bantuan kepada ahli agama semisal ulama.
DEMI HARGA DIRI, PRIA PERLU "UANG LELAKI"
Sering, kan, mendengar istilah "uang lelaki"? Menurut Widyarto , para suami biasanya memang membutuhkan "uang lelaki" untuk kegiatannya di luar rumah. "Kadang, suami, kan, juga perlu mentraktir untuk membina network dengan teman-temannya atau untuk menjaga harga dirinya. Nah, ini, kan, tentunya membutuhkan biaya," tuturnya. Jadi, sepanjang jelas ketahuan digunakannya untuk apa saja, "uang lelaki" masih bisa ditolerir. "Asal jangan buat berselingkuh saja, ya!" tukas Widyarto.
Selain itu, "uang lelaki" sebaiknya juga tak berasal dari gaji atau penghasilan tetap lainnya, karena dikhawatirkan akan menganggu keuangan rumah tangga. "Bila suami tak punya penghasilan sampingan, diskusikan dengan istri untuk membahas masalah tersebut," anjurnya.
Julie/Rohedi Yulianto
KOMENTAR