Melihat dampaknya yang bisa sampai jauh ke masa depan, maka Triatri minta agar orang tua tak membentuk anak favorit dan mengabaikan anak yang lain. "Ingatlah, setiap anak, dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing, berhak mendapatkan kasih sayang yang utuh dari ayah dan ibu, bukan dari salah satu.
Bila kasih sayang yang diterima anak-anak timpang bisa berakibat pada kehidupannya setelah dewasa kelak," terangnya. Meskipun di mata orang tua, si anak termasuk anak yang sulit ataupun banyak ulah, dan perilaku negatif lainnya, lanjut Triarti, ia tetap berhak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sama dari ayah dan ibu. "Justru orang tua harus peka dan mencari tahu, mengapa anaknya menjadi anak sulit dan mengganggu orang tua, bukan malah menjauhi si anak." Untuk itu, anjur Triarti, ajaklah anak berdialog.
"Mulai usia 3 tahun anak sudah bisa, kok, diajak bicara. Bahkan, dia juga mulai bisa menggugat, tak hanya menerima perlakuan tapi juga mempertanyakan." Lewat dialog, anak bisa mengemukakan mengapa ia sampai melakukan tindakan yang destruktif, misalnya. "Komunikasi yang baik bisa menumbuhkan kedekatan yang baik dan menghindari kesalahpahaman. Jadi anak tak akan ada lagi persepsi, oh, ibu-bapak enggak sayang sama aku."
PERLAKUAN SETARA
Jikapun orang tua memiliki kedekatan dengan salah satu anak, sarannya, "janganlah sampai terlalu ekstrem hingga mengistimewakan si anak dan membelanya mati-matian meskipun si anak jelas-jelas bersalah." Jangan pula anak yang lain sampai dikesampingkan. Ingat, lo, kebutuhan setiap anak terhadap kasih sayang dari kedua orang tuanya adalah sama. Dengan demikian tak akan menimbulkan kesan atau persepsi pada anak yang lain bahwa ada anak yang di"emas"kan. Akan lebih baik jika kedekatan tersebut digunakan untuk hal-hal yang positif. Misalnya, saat anak favorit ayah tengah ada masalah. Nah, Ibu bisa bilang kepada Bapak,
"Anak itu kelihatannya lagi punya masalah. Coba, deh, Bapak dekati, ada apa." Begitupun sebaliknya. Kemudian, dalam melihat permasalahan yang dihadapi anak-anak, ayah dan ibu hendaknya bersikap obyektif dan positif. Sebaliknya, jika ayah dan ibu tak ada kesepakatan dalam menilai tindakan masing-masing, lebih baik dirundingkan dulu. Jangan malah bertengkar di depan anak.
Triarti juga menyarankan agar ayah dan ibu mempunyai kesepakatan bahwa perlakuan mereka harus setara kepada semua anak. Kalau ayah atau ibu pulang dari luar kota, misalnya, jangan hanya memberikan oleh-oleh kepada anak favoritnya tapi juga semua anak. Dengan demikian akan mengurangi kecemburuan di antara anak-anak. Akhirnya, sebelum anak-anak sampai pada persepsi diri bahwa ia tak disayang oleh ayah/ibu atau kedua-duanya,
Triarti minta agar orang tua berhati-hati memperlakukan anak. "Jangan sampai kesan pilih kasih atau mengistimewakan anak yang menjadi kesenangannya muncul dalam sikap keseharian ayah dan ibu." Anak kecil itu sangat peka, lo. Kendati ia tak ngomong, namun ia bisa merasakan, "Kok, aku, dimarahin Ayah terus, sih?" atau, "Kok, kayaknya cuma Bunda yang sayang sama aku." Jadi, Bu-Pak, sebaiknya memang tak perlulah ada anak favorit, apalagi sampai saling membekingi.
GALI POTENSI ANAK
Bila ayah menyukai seorang anak karena prestasi akademiknya, sementara ibu lebih simpati pada adik atau kakak yang kurang pintar namun terampil bergaul, saran Triarti, sebaiknya hal ini tak mendorong ayah dan ibu untuk mengesahkan pilihannya pada anak yang menjadi favoritnya. "Yang harus diberikan gambaran pada anak-anak, justru ayah dan ibu bangga pada setiap keterampilan yang dimiliki oleh anak-anaknya."
Lebih baik, sambung Triarti, ayah dan ibu berusaha menggali potensi anak, apa, sih, kelebihannya yang bisa dikembangkan. Dengan begitu, masing-masing anak tak perlu bersaing untuk menunjukkan kebolehannya, yang ujung-ujungnya kebolehannya itu untuk menarik perhatian orang tua. Bukan berarti Bapak-Ibu enggak boleh bangga pada anak yang lebih terampil atau pintar, lo. Yang tak boleh adalah "meminggirkan si bodoh". Siapa tahu dia punya bakat tertentu yang potensial untuk dikembangkan? Itulah perlunya Bapak-Ibu menggali potensi anak.
Santi Hartono
KOMENTAR