"Itu, kan enggak fair," lanjutnya. Jadi, sekalipun kita adalah kakak sulung tapi kalau kehidupan keluarga kita sendiri pas-pasan, ya, tak usahlah kita memaksakan diri membantu adik-adik sampai mengorbankan keluarga kita sendiri. Toh, kita bisa memberi bantuan dengan cara lain. Misalnya, membantu per segmen. Saran Sukiat, buatlah perjanjian dengan sang adik atau ipar, "Oke, untuk kebutuhan kuliah, Kakak bantu. Tapi, untuk kebutuhan sehari-hari, usahakan sendiri atau minta pada kakak yang lain." Pada prinsipnya, kasihlah bantuan sesuai kemampuan. Nah, Bu-Pak, sudah jelas, kan, solusinya? Jadi, jangan ribut lagi, ya, gara-gara harus menanggung ipar.
JANGAN "PERANG" TERBUKA, SI KECIL BISA IKUT TERTEKAN
Bila ipar tak tinggal serumah, biasanya konflik dengan ipar lebih banyak bersifat kasak-kusuk dan tertutup. Dengan demikian, si kecil yang masih berusia balita tak begitu merasakan adanya konflik tersebut sehingga pengaruhnya pun tak ada. Lain hal bila ipar tinggal serumah lalu timbul cekcok antar ipar, "anak dapat terpengaruh melihat 'perang mulut' yang terjadi," ujar Sukiat. Terlebih lagi jika dalam konflik tersebut, ayah dan ibu bersama-sama melawan ipar atau ayah dan adiknya melawan ibu. "Konflik yang terus timbul bisa menjadi patologis, sehingga anak pun lama-lama ikut jadi tertekan," lanjutnya. Itulah mengapa, \
Sukiat menyarankan, konflik dengan ipar sebaiknya diselesaikan dengan cara yang dewasa. "Jangan 'perang' terbuka, apalagi sampai memberi cap buruk hanya gara-gara Anda merasa dirugikan." Misalnya, mengatakan si Tante jahat, pemalas, atau si Om parasit. "Meracuni anak-anak dengan memberi cap-cap yang negatif pada paman dan bibinya, bukanlah bentuk pendidikan yang baik. Bagaimanapun, hubungan yang harmonis dengan keluarga besar sangat baik pengaruhnya untuk anak-anak." Paman dan bibi juga bisa menjadi pelindung mereka, lo.
Santi Hartono
KOMENTAR