Tentu saja, saat menikah, Anda pasti punya sebuah gambaran mental mengenai peran yang akan dijalankan sebagai istri dan bagaimana pula pacar Anda jadi suami nantinya. Pelan tapi pasti, yang tersisa cuma gantengnya ya, Bu X? Anda tak bisa berbagi peran dalam menafkahi keluarga kecil Anda, sehingga makin lama beban Anda malah makin berat, karena keluarga suami juga jadi pos pembiayaan Anda juga. Saya menduga, ini masih bisa Anda jalani, karena Anda TETAP punya kontrol terhadap diri. Artinya, berapa banyak yang akan Anda keluarkan dan untuk apa, sepenuhnya Anda yang tentukan. Masalah jadi berbeda sekali saat Anda terkena kewajiban melunasi utang ke bank.
Saya tak tahu bagaimana proses pengambilan keputusannya, tetapi hemat saya mustahil Anda tak tahu, karena dibutuhkan persetujuan istri untuk berutang, bukan? Mulailah Anda merasa, kok sekarang Anda tak punya kendali penuh atas penghasilan yang notabene adalah hasil jerih payah Anda? Lebih buruk lagi, manfaatnya makin terasa minim ketika ternyata rumah yang dibeli bermasalah, dan di dalam diri juga tumbuh rasa bersalah, karena Anda belum sempat membeli rumah untuk orang tua sendiri.
Bila seorang istri mengharap suaminya mendukung secara moral bila istrinya sedang dilanda stres, rupanya dukungan juga tak Anda peroleh darinya. Hhheh! Sempurna sudahlah, sementara suami tetap bergaya "Deritamu!!" Mulailah pikiran Anda bekerja, sebenarnya untuk mepertahankan stabilitas diri, yaitu dengan cara mengkhayal. Benar Bu X, ketika kenyataan demi kenyataan mendera kita, tanpa terlihat ada solusi yang instan, maka mekanisme pertahanan diri yang paling mudah dilakukan adalah melarikan diri saja dari kenyataan yang ada.
Melakukan penyangkalan, "Ah, enggak ada masalah, kok?" mencoba melupakan dan menganggap tak ada, tetapi ada pula yang lalu menghadirkan sebuah gambaran yang berbeda sekali dengan kenyataan yang ada. Begitu kuat keinginan untuk mewujudkan khayalan, maka ini pelan tapi pasti lalu terasa jadi sebuah kebutuhan. Apakah itu? Menjadi full time Mom, di rumah, mengasuh anak dan membesarkannya sendiri. Lalu, bekerja menjadi sesuatu yang nilainya tidak positif lagi. Berangkat kantor adalah bagian dari penderitaan, sehingga tiba di sana, rasanya semangat dan tenaga sudah terkuras habis.
Nah, di titik ini saya tak boleh mengatakan pada Anda, "Ayo, kerja lagi, banyak orang tergantung pada Anda!"... karena ini akan membuat Anda makin lunglai. Justru saya harus meyakinkan Anda bahwa Anda perlu membangkitkan kembali perasaan bahwa Anda ada di dunia ini, Anda eksis dan karenanya berhak untuk mendapat kebahagiaan. Bagaimana caranya agar bahagia? Ubahlah gambaran mental yang kini mengganggu Anda bahwa Anda adalah sapi perah bagi banyak orang. Bangkitkan kenangan ketika Anda merasa happy melihat orang tua, adik-adik berterima kasih, merasa senang dan bangga pada Anda. Bukan untuk jadi sombong, tapi untuk memberi rasa nyaman sembari meyakikan diri bahwa sejak dulu sampai kini, sebenarnya, Anda sangat berarti bagi orang-orang yang Anda cintai ini.
Lebih sering berinteraksi dengan anak Anda, tatap matanya, nikmati ketika kulitnya menyentuh kulit Anda saat Anda menggendong dan memeluknya. Emosi itu menular dengan sendirinya dan satu-satunya makhluk yang tak pernah berhenti mencintai Anda, Bu X, pastilah anak Anda! Ketika Anda bersentuhan dengan anak, saat itu Anda akan merasakan betapa besarnya sebenarnya kasih sayang dan ketergantungannya kepada Anda, dan bukan pada pengasuhnya.
Dengan suami, ajak duduk dan bicara sebagai orang dewasa. Jangan terpancing bila ia jadi emosional dan marah, teguhlah mengatakan pada suami bahwa perkawinan Anda ada dalam masalah besar bila ia tidak hendak berkomunikasi dengan istrinya. Ceritakan perasaan Anda, tanpa menghakimi dia. Lebih tegas memintanya untuk ikut berpeluh-peluh mencari uang untuk membayar hutang pembeli rumah orang tuanya. Beri tenggat waktu dan bila ia bergeming, bawa masalah ini ke keluarganya! Orang tuanya harus tahu, siapa sebenarnya tulang punggung keluarga. Mudah-mudahan Anda dapat support dari mertua.
Sementara itu, jangan lupa menghitung keberhasilan yang dicapai adik-adik berkat dukungan Anda. Nah, keberhasilan Anda dalam membuat diri Anda bermanfaat bagi begitu banyak orang inilah sebenarnya sumber kebahagiaan sejati yang mungkin saja selama ini tidak sempat Anda yakini. Benar Bu X, hanya dengan membuat kehadiran kita di dunia ini bermanfaat bagi orang lainlah, kita akan menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karena Anda punya keleleluasaan untuk meminjam uang pada bos, dan sudah terbukti selama ini bahwa Anda jugalah pembayar tunggal dari hutang ke bank, mengapa tak mencoba pinjam pada bos uang untuk melunasinya? Dengan demikian, Anda bisa mendapat skema pengembalian hutang yang tak terlalu mencekik leher. Tak ada salahnya untuk dicoba kan, Ibu X ? Saat melakukan ini, jangan pikirkan "enak benar suamiku," karena sesungguhnya yang sedang Anda usahakan adalah kemudahan bagi Anda agar beban keuangan tidak seberat saat ini.
Untuk cerai, saya serahkan sepenuhnya pada pilihan yang mau Anda ambil, karena ada banyak orang yang menikah setelah pertemuan kilat, dan toh bisa bahagia. Bila Anda sudah menyelesaikan masalah dalam diri terkait dengan kebahagiaan yang sejati, garaplah hubungan dengan suami. Ajak dia untuk lebih memahami satu dengan lainnya, biasakan membuat keputusan bersama, bukan untuk pencitraan tetapi benar-benar untuk membangun kehidupan yang bahagia bersama, bukan sendiri-sendiri.
Pesan saya untuk Anda, pikirlah masak-masak bila Anda hendak bercerai, ya? Karena, punya pekerjaan, dengan dua anak, dan yang satu juga masih bayi, tidak berarti Anda akan mulus-mulus saja menjalani peran sebagai janda. Berat lho, Bu X, maka mencoba memperbaiki hubungan dengan suami menurut hemat saya, masih sangat layak untuk dicoba. Oke? Salam sayang.
KOMENTAR