Selain itu, kebanggaannya juga cuma sebatas pada objeknya. Maksudnya, ia tak melihat atau tak peduli mobil ayahnya merek apa, misal, keluaran tahun berapa, dan berapa harganya. "Yang ia lihat hanya bendanya bahwa ayahnya punya mobil, misal, dan itu membuat dirinya bangga."
Begitu pula pekerjaan orang tuanya, entah guru, wartawan, direktur, polisi, atau tukang sapu jalanan sekalipun. Ia takkan bilang, misal, "Ayahku sekolahnya cuma SD. Itu pun enggak tamat. Makanya ayahku kerjanya cuma jadi tukang sapu jalanan." Namun ia akan bilang, "Ayahkulah yang membuat kota ini jadi bersih."
BERI PENGERTIAN
Tentu saja, perilaku ini bisa terbawa sampai besar. Coba saja perhatikan, orang dewasa pun banyak yang berbuat seperti itu, kan? Entah secara sadar atau tidak. "Hanya saja, caranya membanding-bandingkan tak lagi sebatas pada bentuk kongkretnya, tapi sudah pada tingkatan yang lebih tinggi seperti mutu, kualitas, dan kuantitas, serta kegunaan barang tersebut," tutur Nuki.
Yang perlu dijaga, jangan sampai kala besar nanti ia terkesan sombong atau angkuh saat melontarkan kebanggaannya. Apalagi di sepanjang usianya, ia akan ketemu banyak orang dengan latar belakang berbeda, baik pendidikan maupun sosial ekonomi dan budaya. Hingga kala ia berhadapan dengan teman yang kondisi ekonominya tak semampu keluarganya, misal, ia tak akan membangga-banggakan kekayaan orang tuanya.
Coba bayangkan, apa jadinya bila si kecil mengatakan, misal, "Mobil ayahku hebat, bisa bawa banyak orang. Jadi, kalau mau pergi jalan-jalan bisa ramai-ramai dengan Kakak, Om, Tante, Kakek, Nenek. Pokoknya muat banyak, deh.", sementara ayah si teman bisa jadi sepeda saja enggak punya. Bisa-bisa akhirnya ia malah dijauhi teman-temannya, kan?
Nah, jika hal ini yang terjadi, kita harus segera memberinya pengertian. Misal, "Nak, kita patut bersyukur dan berterimakasih bisa punya mobil. Temanmu itu belum punya mobil mungkin saja karena orang tuanya belum punya cukup uang untuk membelinya. Jadi, kamu enggak boleh bersikap seperti itu sama dia. Lebih baik kamu ajak dia jalan-jalan dengan kita di hari Minggu besok."
Dengan begitu, selain anak belajar mengerem mulutnya, ia pun belajar untuk selalu bersyukur terhadap apa-apa yang dimilikinya, sekaligus belajar untuk lebih menghargai orang lain.
TAMBAH WAWASANNYA
Namun dalam memberi pengertian pada anak hendaknya jangan hanya sebatas bentuk fisiknya, melainkan juga dari segi yang lebih tinggi lagi. Ini penting untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan anak tentang sesuatu hal yang dibeli atau dimiliki orang tuanya.
Misal, "Nak, Ibu membeli sabun cuci ini bukan karena lebih bagus dari kepunyaan temanmu. Ibu pilih sabun ini karena sabun ini tidak membuat tangan Ibu jadi gatal dan harganya pun murah. Lagi pula sabun ini juga membuat baju-baju kita jadi bersih." Atau, "Memang mobil yang kita punya ini tidak sebagus mobil kepunyaan ayah teman kamu, tapi mobil kita bisa muat banyak orang. Coba kalau kita punya mobil yang sama dengan mobil ayah temanmu, tentunya kalau kita jalan-jalan enggak bisa mengajak Kakak, Om, Tante, Kakek, atau Nenek."
Jadi, anak diajak memahami alasan orang tua membeli atau memilih sesuatu, "Oh, Ibu membeli sabun cuci ini karena Ibu enggak bisa pakai sabun lain karena tangannya bisa gatal. Sabun cuci ini juga dapat membuat baju-baju bersih dan harganya pun murah. Jadi, sabun cuci kepunyaan Ibu enggak kalah bagus dari sabun cuci yang mahal." Atau, "Oh, Ayah membeli mobil itu karena harganya murah tapi bisa memuat banyak orang. Jadi, aku bisa mengajak Kakek-Nenek dan Om-Tante kalau jalan-jalan."
KOMENTAR