Anak batita harusnya sudah tak main ludah lagi. Jadi, kalau bukan lantaran ada kelainan di rongga mulut, perilakunya ini harus dihentikan. Hati-hati, ia bisa dijauhi teman.
Anak batita, terang Evi Sukmaningrum, SPsi., seharusnya sudah tak main-main ludah. "Perilaku ini hanya bisa ditolerir bila anak masih bayi hingga usia sekitar 14 bulan." Tepatnya, saat si kecil belum bisa mengucapkan satu kata secara utuh semisal p-a-p-a. "Ia masih melatih alat-alat vokalnya yang belum sepenuhnya matang. Ia baru belajar menyuarakan bunyi vokal tertentu seperti a-u-o; atau mengeluarkan bunyi-bunyi spesifik seperti ba-ba-ba, ma-ma-ma dan seterusnya."
Nah, saat bunyi-bunyian tadi keluar, ludah pun ikut tersembur keluar. Sementara bunyi-bunyian yang keluar tadi dirasa lucu hingga ia pun menemukan keasyikan tersendiri. Akibatnya, ia cenderung untuk ngomong sambil menyembur-nyemburkan ludah. Namun saat mulai bisa bicara, ia tentu mengeluarkan suara secara jelas karena alat-alat suara yang berfungsi sudah mampu menjalin kerja sama dengan otot lidah maupun lidah itu sendiri. Dengan demikian, setelah ia mampu mengucapkan kata pertamanya secara benar, ludahnya tak ikut keluar saat ngomong.
Selain itu, sampai usia sekitar 15 bulan, anak masih dalam tahap eksplorasi di area mulut (fase oral). Itu sebab, bayi hingga anak seusia ini senang melakukan kegiatan apa saja yang berhubungan dengan mulut mereka. Misal, ngempeng dot atau ibu jari, bahkan memasukkan apa saja ke mulutnya. Melalui berbagai aktivitas seputar mulut ini, ia merasakan kenikmatan tersendiri, baik secara fisik maupun psikis. Namun pada batita, main ludah bukan lagi pemenuhan rasa ingin tahu, karena anak usia ini harusnya sudah bereksplorasi ke berbagai hal. "Malah seharusnya mulai usia 2 tahun, sasaran eksplorasi anak bukan lagi berkutat pada diri sendiri, melainkan sudah melebar ke lingkungan."
PENYEBAB
Jadi, bila selepas usia 1,5 tahun si kecil masih juga main ludah, "Harus dicari penyebabnya," bilang Evi. Salah satunya, perasaan cemas. "Dengan main ludah, ia mengekspresikan rasa cemasnya sekaligus mendapat ketenangan atau rasa nyamannya." Dalam bahasa lain, semacam pengurangan ketegangan.
Untuk mengatasinya, tentu kita harus membantu si kecil agar dapat mengekspresikan kecemasannya secara benar, bukan dengan mencari kenikmatan pada oralnya. Selain, kita pun harus menggali penyebab kecemasannya. "Mungkin akan lebih baik bila ditanya langsung, apa yang ia rasakan dan alami," ujar staf pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini.
Pada sebagian kecil anak usia ini, lanjut Evi, memang ada yang belum sepenuhnya lepas dari fase oral. Hingga, selain merupakan manifestasi dari rasa cemas yang tak bisa tersalurkan, bukan tak mungkin si kecil melakukannya sebagai suatu kesenangan. Ini bisa diatasi dengan memberi stimulasi atau rangsangan sekitar mulut juga, semisal mengajaknya ngobrol atau menyanyi, hingga ia menemukan keasyikan baru dan lupa pada aktivitasnya main ludah.
Faktor lain, anak melakukannya untuk meledek adik/kakak/teman. "Besar kemungkinan semata-mata lantaran modelling alias meniru." Tanpa model, menurut Evi, rasanya tak mungkin si kecil terpancing menunjukkan tingkah laku tertentu yang cenderung negatif. Adapun sosok peniruannya bisa dari kita atau orang dewasa lain maupun teman sebaya dan tontonan dari TV.
Namun tak tertutup kemungkinan penyebabnya kelainan/gangguan fisiologis di rongga mulut. Soalnya, ada sebagian kecil anak yang mengeluarkan kelenjar ludah lebih banyak dibanding anak lain. Hingga, tanpa sadar ia akan terus-menerus mengeluarkan ludah alias ngences. "Bukan tak mungkin fungsi-fungsi otot di lidahnya terganggu, hingga ia tak bisa menahan ludahnya. Semisal anak yang mengalami keterbelakangan mental." Tentu kelainan ini harus dikonsultasikan dengan dokter anak, ya, Bu-Pak.
AJARKAN SOPAN SANTUN
Nah, bila penyebabnya bukan lantaran kelainan fisiologis, si kecil harus diarahkan. Caranya, ajak bicara dari hati ke hati. Meski ia belum bisa sepenuhnya mengekspresikan apa yang diinginkannya, tapi di usia ini ia sudah sampai pada tahap pemahaman. Jadi, ia bisa mengerti apa yang kita omongkan. Hingga, nasihat yang kita berikan bisa ia tangkap. "Namun dalam berbicara dengan si batita harus praktis, ya," pesan Evi. Misal, "Adek enggak boleh main ludah karena jorok." Atau, "Kalau ludah Adek sudah banyak di mulut harus dibuang, bukan dimain-mainkan, ya, Nak."
Jika ia main ludah untuk meledek teman, "bantu ia mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata. Misal, ia tak suka pada temannya. Nah, pancing bagaimana perasaannya dan minta ia mengutarakannya langsung." Selain, ia pun harus mulai dikenalkan berempati. "Semakin besar, biasanya perkembangan empatinya makin baik." Caranya, tempatkan ia pada posisi temannya yang dijadikan sasaran ledekan, lalu tanya, "Kalau Adek yang diludahin sama teman, gimana, ya, rasanya?"
Cara ini, menurut Evi, sangat tepat untuk menumbuhkan kesadaran tak main ludah pada anak usia sekitar usia 3 tahun. "Setidaknya, anak akan belajar menangkap bahwa meludah mengandung arti menghina atau sesuatu yang jorok, tak sopan dan reaksi kemarahan." Bukankah secara umum, meludah merupakan bentuk komunikasi verbal yang menunjukkan arti negatif?
Dengan demikian, kita pun perlu menanamkan sikap sopan santun sedari dini, sesuai tahap perkembangan anak dan pemahaman normanya. Maksudnya, sampai sejauh mana anak tahu dan sebatas mana yang menurutnya baik atau buruk. Soalnya, pemahaman kognitif anak usia ini terhadap norma/nilai-nilai di lingkungannya juga masih sederhana.
Anak usia 3 tahun, bilang Evi, umumnya sudah tahu bila diajarkan untuk tak meludah, karena perilaku ini nyata/konkrit, bukan sesuatu yang abstrak atau sulit dipahami. Namun mengingat anak usia ini sangat tinggi negativistiknya, "lebih baik kita tak memberi perintah langsung, 'Jangan buang ludah!', tapi gunakan metode pendekatan sebaliknya sebagai alternatif." Misal, menyuruhnya membuang ludahnya terus. "Biasanya dia akan 'gengsi' untuk mengikuti perintah karena ia tengah gencar mengakukan atau memegahkan dirinya." Negativistik biasanya menghilang di usia 4 tahun, saat anak lebih bisa bersosialisasi dengan hal-hal lain.
Hati-hati, lo, Bu-Pak, bila si kecil dibiarkan saja dengan perilakunya main-main ludah, ia bisa terganggu perkembangan sosialisasinya; ia akan dijauhi teman-temannya. Jangan lupa, dari segi etika sopan-santun, main-main ludah sangat tak sopan karena jorok.
Julie/Th. Puspayanti/nakita
KOMENTAR