Bila terlalu sering minum obat, bisa jadi ada komplikasi di organ tubuh si kecil. Karena itu, Bu-Pak, jangan sembarangan memberi obat pada anak.
Memang saat si kecil sakit, ia harus minum obat. Tapi, tentu tak perlu khawatir memikirkan efek samping obatnya dulu, Bu-Pak. Toh, saat meresepkan obat, dokter sudah menghitung untung ruginya bagi si kecil. Sehingga selama obat itu diresepkan dokter dan diberikan sesuai indikasi penyakitnya, ya, tak masalah. Apalagi dokter sudah menghitung dosis yang paling tepat bagi si pasien dan lama penggunaan obat tersebut. "Misalnya, untuk menghilangkan infeksi, pasien diberi obat antibiotik untuk batas waktu tertentu dan harus dihabiskan. Bisa juga dokter hanya memberikan obat batuk pilek saja tanpa antibiotik karena dianggap tak ada suatu infeksi," jelas Dr. Kishore R.J, SpA, dari RS Hermina Podomoro, Jakarta.
Yang repot, kalau kemudian orang tua tak tertib memberikan obat pada anak. Karena, anak belum bisa mandiri dalam soal minum obat, kan? Misalnya, tukas Kishore, lantaran menganggap sudah sembuh antibiotiknya distop. Akibatnya bukan jadi sembuh, lo, Bu-Pak, tegas Kishore, malah bisa tak efektif untuk penyembuhan. "Kumannya akan jadi resisten."
ASAL-ASALAN
Sebaliknya ada juga orang tua yang gampang memberikan obat pada anak. Misalnya, setiap kali badan anak panas sedikit saja, langsung diberi obat penurun panas. Tanpa disadari orang tua, hal ini bisa saja jadi sering dilakukannya; saat panas lagi minum kembali obat yang sama, begitu seterusnya. Nah, hal ini justru bisa menjadi berisiko bagi si anak. Karena obat-obat bebas seperti parasetamol untuk penurun panas, hanya bisa diberikan untuk sementara. Nah, pemberian tanpa kontrol tentu akan merugikan di kemudian hari. "Jadi, orang tua harus rasional memberikannya, misalnya, cukup 3-5 hari. Selanjutnya berkonsultasi ke dokter."
Atau bisa juga orang tua malah bertindak ekstrem. Karena, misalnya, kita tahu efek parasetamol bisa mengakibatkan kerusakan fungsi hati, jadi sama sekali tidak mau memberikan obat tersebut kendati anak sedang panas. "Tentu ini malah merugikan anak, karena bisa terjadi kejang. Bukan tidak mungkin orang tua malah mengeluarkan biaya lebih mahal bila sakit berlanjut menjadi parah."
Jadi, langkah terbaik adalah orang tua harus tetap membawa anak ke dokter untuk diperiksa penyakitnya dan diberi obat yang tepat.
SELALU RAJIN MEMONITOR
Jadi, Bu-Pak dalam memberikan obat pada anak tak bisa sembarangan obat begitu saja, baik dari jenis obat, jumlah obat, berapa kali pemberian, sampai cara pemberian. Karena itu, lanjut Kishore, bila timbul gejala sakit pada anak segeralah ke dokter. "Nah, obat yang diberikan harus sesuai petunjuk dokter."
Satu atau dua hari sebelum obat habis, orang tua sebaiknya membawa anak kembali (bila ia belum sembuh) untuk dievaluasi. Sehingga dokter akan memeriksa kembali penyakitnya, lalu menilai perlu tidaknya obat diganti, diteruskan atau dihentikan. Juga dievaluasi ada tidaknya efek samping dari penggunaan obat yang sudah diberikan.
Nah, seandainya dokter memberikan obat dan kemudian timbul suatu reaksi. Semisal setiap kali diberikan obat bayinya jadi gelisah, rewel, nangis atau reaksi lain yang tak seperti biasanya maka harus dikonsultasikan kembali pada dokter tanpa harus menunggu obat tersebut habis. Semisal, anak yang didiagnosis terkena TBC, kemudian diresepkan obat tertentu. Bila kemudian timbul kuning seusai diberi obat tersebut, segera konsultasikan ke dokter. "Jangan tetap memberikan atau mengulang-ulang kembali obatnya tanpa sepengetahuan dokter. Bisa jadi yang ada malah anak meninggal karena terjadi kerusakan hati yang parah," terang Kishore.
Jadi, menurut Kishore perlu ada kesadaran dan pengetahuan dari orang tua dalam pemberian obat pada anak. Apalagi pada pemberian obat-obatan dalam jangka lama. Tentu saja sangat berkaitan dengan pertumbuhan anak. "Hal ini sangat tergantung dari luas kerusakan yang terjadi, cepat tidak penyakitnya terdeteksi dan cepat tidaknya mengatasi efek samping obatnya." Artinya, dalam pemberian obat, kontrol dokter tetap diperlukan, ya, Bu-Pak.
KOMENTAR