Bukan cuma si prasekolah, lo, yang suka omong kasar. Si batita pun demikian. Tapi jangan dimarahi atau diancam, ya, Bu-Pak, karena ia belum mengerti makna kata-kata yang kasar dan halus.
Anak usia ini lagi gencar-gencarnya belajar berbicara. Ia pun lagi giat-giatnya meniru. Apa pun yang ia dengar dan lihat akan ditirunya, termasuk kata-kata dan tingkah laku kasar. Psikolog Wieka Dyah Partasari S.Psi. malah menandaskan, proses meniru atau modelling inilah akar dari kebiasaan omong/berperilaku kasar. "Sebagai proses, biasanya anak akan mendengar lalu menyerapnya sebelum menirukannya. Semakin sering kata-kata tertentu didengarnya, semakin cepat ia bisa menirukannya," terang pengajar pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini.
Nah, jika Bapak-Ibu tak pernah melontarkan kata-kata kasar, coba amati kebiasaan orang lain yang tinggal di rumah; entah pembantu, adik, ipar, atau siapa pun yang berinteraksi dengan si kecil. Jika mereka "bersih", penyebabnya harus dicari di luar rumah, yakni saat anak bermain atau bergaul. Tak ada yang bisa menjamin bukan kalau teman-temannya juga terbiasa bertutur kata halus dalam keluarganya?
JANGAN MAIN ANCAM
Konyolnya, tak sedikit orang tua yang justru tertawa karena menganggap omongan kasar sebagai sesuatu yang menggelikan dan memang perlu ditertawakan. Padahal, sikap orang tua yang demikian akan semakin mendorong anak meneruskan omongan kasarnya, bukan menghentikannya. "Anak akan menganggapnya sebagai reward," ujar Wieka. Jadi, Bu-Pak, jangan pernah terpancing untuk mengomentari atau merespon omongan kasar si kecil dengan sesuatu yang akan dianggap positif atau menguntungkan olehnya.
Tak berarti si kecil harus dimarahi, lo. Nggak ada gunanya, kok, karena ia belum mengerti mana kata-kata yang kasar dan halus. "Bagi anak usia ini, tiap kata masih bermakna abstrak. Ia hanya menirukan saja tanpa menyadari apa yang dikatakannya boleh atau tidak. Terlebih bila yang omong kasar adalah tokoh idolanya," tutur Wieka. Disamping, cara berpikirnya masih sangat sederhana; kalau orang lain boleh, berarti ia pun boleh berkata sama.
Main ancam, semisal, "Nanti Mama kurung di kamar mandi, ya!" ataupun mengancam akan memasukkan cabai ke mulutnya, juga tak memberi manfaat. Karena hukuman, pada dasarnya baru efektif bila konsekuensinya sebanding atau relevan dengan apa yang ia lakukan. Jadi, kalau ia sendiri tak mengerti kenapa ia tak boleh ngomong kasar, buat apa memasukkan cabe atau mengurungnya? "Apa, sih, relevansi hukuman semacam ini dengan ketakmengertiannya?" tukas Wieka.
Lagi pula, hukuman bukanlah cara efektif dalam mendidik. Jikapun harus menghukum, saran Wieka, "pertimbangkan lagi apakah hukuman itu betul-betul merupakan konsekuensi dari perbuatan anak." Kalau ya, maka anak pun akan menyadari bahwa ia dihukum karena melakukan kesalahan yang tak bisa ditolerir, bukan lantaran hal lain atau karena orang tua tak sayang padanya. "Orang tua pun harus ingat untuk tak pernah melampiaskan kemarahan pada anak." Apalagi bila pencetusnya hanya karena orang tua sedang stres di kantor atau tengah bermasalah dengan pasangan.
Sedapat mungkin hindari sikap dan cara kasar dalam menegur anak yang omong kasar. Misal, saking jengkelnya, Bapak-Ibu lantas main tampar atau pukul. Lupa, ya, kalau pukulan dan tamparan merupakan contoh-contoh perilaku kasar? Nah, secara tak langsung, kan, malah Bapak-Ibu mengajarkan anak beperilaku kasar, karena model yang signifikan, yaitu Bapak-Ibu sebagai orang tuanya, tak menampilkan perilaku yang ia inginkan. Buat anak malah membingungkan dan sama sekali tak masuk akal, "Ibu ngajarin kita enggak boleh mukul, tapi, kok, Ibu sendiri mukul. Gimana, sih?" Penyelesaian semacam ini hanya akan memunculkan sikap membangkang dalam diri anak.
INGATKAN DAN INGATKAN LAGI
Lantas, bagaimana, dong, sebaiknya? "Cobalah beri pengertian sekaligus tunjukkan bagaimana caranya bicara halus dan sopan," anjur Wieka. Toh, anak pun sebetulnya sudah bisa diajarkan kendati usianya masih batita. Lagi pula, anak memang harus belajar, kok. Jadi, jangan ragu untuk menegur si kecil, ya, Bu-Pak. Tapi dengan lembut, lo, dan ia pun harus dijelaskan kenapa omongan semacam itu tak boleh ditiru. Misalnya, "Enggak boleh, Sayang, itu kata-kata kasar."
Menurut Wieka, cara tersebut jauh lebih efektif ketimbang hukuman. Jikapun anak sudah terlanjur omong kasar, ingatkan dan ingatkan lagi, "Eh... Ade, Mama, kan, sudah ngajarin, omong yang halus bagaimana?" Selanjutnya, bila anak sudah bisa bicara sopan, kita harus memujinya untuk menguatkan perilakunya. Begitu seterusnya secara berulang-ulang. Tak bisa hanya dengan sekali diberi tahu, anak langsung mengerti. Harus sabar, ya, Bu-Pak.
KOMENTAR