Menurut Dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp. A (K), MMPed., pola pemakaian obat yang rasional (rational use of medicine/RUM) intinya adalah pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinis mereka. Selain itu, pemberian obat juga disesuaikan dengan dosis yang dibutuhkan dan dalam periode waktu tertentu, pasien memperoleh informasi yang akurat, serta biaya yang termurah.
RUM adalah pemakaian obat yang aman dan efektif, dengan tujuan terapi atau penanganan yang lebih baik, mengurangi efek samping, menghemat uang (pasien, rumah sakit, negara), serta sesuai dengan etika dan persamaan hak. Ada banyak alasan atau penyebab terjadinya pengobatan yang tidak rasional, dari mulai membanjirnya obat dalam jumlah yang sangat besar, aspek penegakan hukum, proses pengambilan keputusan oleh para dokter sampai ke aspek budaya setempat.
Ketika terjadi pola pengobatan yang tidak rasional, maka semua orang akan merugi, khususnya mereka yang sangat rentan terhadap efek samping obat, yaitu mereka yang sangat muda (bayi dan balita) dan mereka yang sudah lanjut usia. Celakanya, kedua kelompok inilah yang sehari-hari terpapar pada polifarmasi yang tidak rasional, khususnya bayi dan balita.
"Balita memang sering sakit, tetapi sakitnya balita adalah sakit ringan yang tidak membutuhkan beragam obat. Bahkan, sakitnya ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk mem-"boost" sistem imunnya. Kelak di usia sekitar 7 tahunan, anak sudah mulai jarang sakit karena sistem imunnya sudah lebih kuat," jelas Wati, panggilan dokter yang menulis buku Bayiku Anakku; Panduan Praktis Kesehatan Anak.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pola pengobatan yang tidak rasional bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan, di antaranya kualitas terapi menurun, yang akan menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian meningkat, meningkatnya risiko efek samping, biaya meningkat, dan sebagainya. Lantas, apa yang harus dilakukan orangtua agar anaknya terhindar dari RUM? "Be a smart patient, jadilah pasien yang cerdas," ujar Wati tegas. Caranya:
1 Prioritas: Menyadari bahwa yang paling berkepentingan akan kesehatan dan kesejahteraan diri kita dan keluarga kita adalah kita sendiri.
2 Cari Informasi: Jangan serahkan semua urusan kesehatan ke tenaga kesehatan dan ke pemerintah. Pasien harus proaktif mempelajari kesehatan, sehingga bisa melakukan upaya preventif yang tepat. Dan ketika jatuh sakit sekalipun bisa tetap rasional, karena selalu mencari informasi perihal gangguan kesehatan dan menanganinya sesuai panduan ilmiah terkini.
3 Konsultasi: Jangan artikan kunjungan ke dokter sebagai upaya minta obat, yang harus cespleng dan segera sembuh. Kunjungan ke dokter adalah upaya konsultasi, upaya diskusi mencari kejelasan penyebab dan upaya meminta diagnosis. Jadi, pasien sebaiknya menguasai kapan harus ke dokter, sehingga terhindar dari kondisi "tamasya" mondar-mandir ke dokter atau RS/klinik.
4 Bertanya: Yang tak kalah penting adalah bertanya. Ketika kita berkonsultasi dengan dokter, sedikitnya ada 3 pertanyaan "wajib" yang harus diajukan, yakni:
- Kenapa (apa penyebab gangguan kesehatan yang saya alami?) Pertanyaan ini akan membimbing kita ke arah diagnosis.
- Apa yang harus saya lakukan (sebaiknya menggunakan konsep tatalaksana dan bukan konsep pengobatan, karena tidak semua gangguan kesehatan tatalaksananya harus mencakup obat).
- Kapan saya harus cemas? (konsep RUM melindungi pasien dari overtreatment, mistreatment dan juga undertreatment. Smart patient jangan diartikan sebagai antiobat, antiantibiotik, atau antidokter. Justru pasien cerdas dan pintar akan bijak, sehingga bisa membuat keputusan yang tepat.
5 Informasi obat: Ketika konsultasi berakhir dengan penulisan secarik resep, ada dua hal inti yang harus dilakukan. Pertama, merencanakan untuk mencari informasi gangguan kesehatan dan tatalaksananya, dan kedua, merencanakan mencari informasi obat di web terpercaya.
Kapan Anak Butuh Antibiotik?
"Anak butuh antibiotik apabila ia mengalami infeksi kuman jahat (bakteri jahat) yang tidak bisa dibasmi oleh daya tahan tubuhnya," ujar Dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp. A (K), MMPed. Misalnya, ketika anak mengalami pneumonia (meski sebagian pneumonia pada anak juga disebabkan oleh virus), infeksi saluran kemih (ISK), infeksi telinga tengah akut (otitis media akut atau OMA), infeksi tenggorokan karena kuman streptokokus (biasanya mengenai anak berusia > 4 tahun dengan demam tinggi, tanpa batuk pilek, disertai pembesaran kelenjar getah bening di bawah rahang bawah dan ditemukan bercak putih nanah di tonsilnya), anak besar dengan tifus (demam lebih 5 hari tanpa batuk pilek yang semakin hari semakin tinggi, keadaan umum tampak sakit berat), atau diare dengan tinja berdarah.
Hasto Prianggoro / bersambung
KOMENTAR