Sebaiknya suami-istri jangan emosional, apalagi sampai tercetus kata cerai. Bukankah sebenarnya masih bisa dibicarakan?
"Aduh, Ibu, rasanya saya sudah tak tahan lagi dengan perkawinan kami. Lebih baik kami bercerai saja," keluh Ny. Retna pada seorang konselor perkawinan. Padahal, usia perkawinan Ny. Retna belum lagi genap 10 tahun.
Memang, usia bukan patokan untuk menentukan bercerai-tidaknya suami-istri. Namun yang sering terjadi, perceraian dipandang sebagai alternatif terbaik bila perkawinan tengah dilanda kemelut. Tak peduli berapapun usia perkawinan tersebut. Itulah mengapa semakin banyak pasangan muda yang akhirnya memilih bercerai. Sebenarnya, apa saja, sih, faktor-faktor yang dapat mengancam keutuhan perkawinan dan bagaimana cara mengatasinya?
ANEKA PENYEBAB
Hilangnya trust atau kepercayaan dan respek pada pasangan, baik yang berkaitan dengan psikoseksual maupun nonpsikoseksual, menurut Sawitri Supardi, biasanya yang kerap menjadi penyebab perkawinan terancam bubar. "Yang psikoseksual biasanya berkaitan dengan perselingkuhan atau hadirnya pihak ketiga. Perselingkuhan kerap terjadi karena respek yang kurang. Sedangkan yang nonpsikoseksual, misalnya, suka ingkar janji," tutur Dekan pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, Bandung ini.
Ketidaksesuaian dalam psikoseksual seperti perbedaan informasi mengenai perilaku seksual, juga bisa mengancam perkawinan, lo. Misalnya, istri sudah canggih dalam bercinta. Suami tentu akan bertanya-tanya, "Kok, istriku sudah canggih begini? Dari mana keahliannya ini?" Kalau sudah begitu, prasangkanya pun berjalan, "Jangan-jangan istriku pernah ini-itu, dan sebagainya." Akibatnya, lama-lama perilaku si suami pun berubah.
Begitu juga bila ada masalah disfungsi seksual seperti hilangnya dorongan seksual dan impotensi; maupun masalah deviasi seksual, yakni cara memperlakukan objek seksual yang tak normal. Misalnya, berhubungan seks dengan cara sadis atau menyertakan orang lain dalam hubungan seks dengan pasangan. "Lama-lama, kan, istri berontak kalau ia terus dipaksa melayani orang lain juga," tukas Sawitri.
\
Faktor lain ialah masalah control power atau siapa yang memegang kekuasaan di rumah. Misalnya, suaminya otoriter atau sebaliknya. "Seharusnya, kan, ada kesepakatan dalam perimbangan power kontrol ini demi kelancaran rumah tangga. Tapi kalau sampai yang satu kehilangan posisi sama sekali dan segala macam yang mengatur si suami atau istri, bisa mengancam rumah tangga, kan?" "Ketidakterbukaan dalam pembelanjaan income keluarga juga kerap jadi masalah," lanjut Sawitri.
Misalnya, suami diam-diam memberi kepada keluarganya atau sebaliknya. Atau, suami menguasai income keluarga dan istri hanya diberi jatah per hari untuk belanja. "Sampai batas tertentu, istri mungkin bisa menerima, tapi begitu harga dirinya berkembang, ia bisa berontak." Terlebih lagi pada pasangan yang keduanya bekerja, biasanya ada kecenderungan si pria mengabaikan tanggung jawabnya sebagai orang yang harus mengayomi keluarga. "Dipikirnya, toh, istrinya juga pegang duit, sehingga ia dengan seenaknya memperkecil uang belanja yang diberikan pada istrinya, kadang malah tidak memberi uang sama sekali. Lama-lama istrinya, kan, merasa kesal, kok, jadi percuma saya punya suami." Malah, hal ini pun kerap jadi peluang suami untuk membelanjakan uangnya di tempat lain.
Masih ada lagi faktor lainnya, yaitu perbedaan pola asuh. Misalnya, yang satu otoriter sementara satunya lagi enggak tegaan. "Bila perbedaan ini tak berani disampaikan, sehingga hanya dipendam terus, akhirnya, kan, bisa meledak," kata Sawitri. Belum lagi pengaruh lingkungan semisal hubungan dengan mertua dan ipar yang tak harmonis, juga bisa mempengaruhi keharmonisan suami-istri. Yang juga berpengaruh ialah perbedaan agama, karena masalah agama adalah masalah mendasar.
"Persoalan agama tidaklah mudah, karena agama adalah sesuatu yang diyakini sejak seseorang mulai mengenal kehidupan," jelas Sawitri. Bila yang satu pindah agama dan agama barunya itu merasuk ke sanubarinya, tentu tak masalah. Tapi kalau tidak, setelah beberapa tahun menikah pasti akan ada kesedihan-kesedihan yang dirasa. Nah, bila kesedihan-kesedihan tersebut tak bisa disampaikan lewat cara agamanya yang baru, ada kemungkinan ia akan kembali pada agamanya semula. Bukankah ini bisa menimbulkan konflik?
INGAT DASAR PERKAWINAN
Tentunya setiap kasus membutuhkan penyelesaikan berbeda. Maksudnya, setiap penyebab tak sama jalan penyelesaiannya. Misalnya, karena istri tak percaya pada suaminya. Nah, si suami harus bisa membuktikan bahwa ia memang bisa dipercaya, antara lain dengan tak mengulangi lagi hal-hal yang membuat istrinya tak percaya. Namun apa pun permasalahannya, menurut Sawitri, semuanya tergantung pada stabilitas emosi masing-masing. "Bila keduanya berpikir lebih baik menyelamatkan perkawinan daripada memulainya yang baru, maka kemungkinan besar perkawinan pun akan terselamatkan," tutur Sawitri, yang juga mengajar pada Fakultas Psikologi UNPAD, Bandung ini. Tapi bila salah satu tetap ngotot ingin bercerai, "ya, tak akan mungkin perkawinan mereka terselamatkan," lanjutnya.
Jadi, yang penting ialah membicarakan apa maunya masing-masing. Nah, bila ada kesepakatan untuk melanjutkan perkawinan, langkah pertama yang harus dilakukan ialah mencoba melupakan masa lalu. Tentunya, dengan kesadaran dari salah satu pihak, bahwa sesekali pasti ada keluhan yang mengungkapkan masa lalu tersebut. "Jadi, bila sesekali tercetus tentang masa lalu, maka ia harus berjiwa besar. Ini harus ditekankan sejak awal bahwa luka hati karena perbuatan itu tak mudah disembuhkan begitu saja." Dengan kata lain, berilah toleransi. Namun di sisi lain, pasangannya juga harus mencoba menahan untuk tak selalu mengungkit masa lalu tersebut.
Hal lain yang perlu dilakukan ialah melihat segi positif dari pasangan. "Jangan berangkat dari segi negatifnya saja. Bukankah kala kita pacaran ada hal-hal yang kita kagumi pada pasangan kita? Nah, coba lihat itu kembali, jangan melulu hal-hal jeleknya saja yang dilihat," anjur Sawitri. Tapi bila masalah tersebut tak bisa diatasi, Sawitri menyarankan untuk mencari pihak ketiga semisal konselor perkawinan. "Dengan melakukan konseling, minimal kita bisa mengungkapkan semua unek-unek sehingga sedikit-banyak hati kita bisa lega."
Bukankah setelah mengeluarkan unek-unek, tak jarang kita akan dapat jalan keluarnya sendiri, apa yang terbaik bagi diri kita? "Paling tidak, kita akan memberikan reaksi lain terhadap sikap pasangan." Sebaliknya, bila kita tak bicara sama orang lain, masalah itu akan membelit diri kita dan akhirnya menjadi beban mental. Umumnya, terang Sawitri, wanita lebih mau berkorban bila ia yang mengalami ketidakpercayaan. "Ia mau mempertahankan perkawinannya karena mempertimbangkan faktor anak-anak." Apalagi setelah bercerai dan menikah lagi, walaupun suami berjanji akan tetap mensuplai biaya anak-anak, namun biasanya biaya itu akan seret datangnya. "Jadi, demi masa depan anak-anak, ia memutuskan tak bercerai agar biaya anak-anak dan masa depannya lebih terjamin."
Namun tak demikian halnya bila ketidakpercayaan itu menimpa pihak lelaki. "Biasanya ia langsung bercerai. Apalagi kalau ketidakpercayaan itu karena istrinya selingkuh." Nah, jika salah satu pihak memutuskan untuk berdedikasi demi anak, Sawitri minta agar membuat suasana bersama anak-anak selalu ceria. Dengan demikian, paling tidak anak-anak tak ikut merasakan kemurungan orang tuanya. seret datangnya. "Jadi, demi masa depan anak-anak, ia memutuskan tak bercerai agar biaya anak-anak dan masa depannya lebih terjamin." Namun tak demikian halnya bila ketidakpercayaan itu menimpa pihak lelaki. "Biasanya ia langsung bercerai. Apalagi kalau ketidakpercayaan itu karena istrinya selingkuh." Nah, jika salah satu pihak memutuskan untuk berdedikasi demi anak, Sawitri minta agar membuat suasana bersama anak-anak selalu ceria. Dengan demikian, paling tidak anak-anak tak ikut merasakan kemurungan orang tuanya.
HIDUPKAN ROMANTISME PERKAWINAN
Tentunya, mencegah lebih baik daripada mengobati, bukan? Nah, untuk mencegah berkurangnya respek dan kepercayaan dari pasangan, Sawitri menganjurkan agar kita selalu menghidupkan romantisme perkawinan. Karena bila romantisme perkawinan mulai memudar, biasanya akan diikuti dengan munculnya kemelut dalam perkawinan. Hal ini tentunya dapat mengancam keutuhan perkawinan.
"Dulu, romantisme perkawinan mulai memudar setelah 10 tahun kedua perkawinan. Jadi, antara 15-20 tahun perkawinan. Tapi sekarang, di usia 5-10 tahun pun romantisme perkawinan sudah mulai memudar," tutur psikolog yang juga buka praktek psikologi di rumahnya di kawasan Cimindi, Cimahi. Perubahan tersebut disebabkan suami-istri jaman sekarang banyak yang sama-sama bekerja. "Mereka sama-sama sibuk, sehingga perhatiannya lebih banyak tercurah pada pekerjaan, cari uang melulu. Akibatnya, lupa menjaga romantisme perkawinan."
Nah, bagaimana cara menjaga romantisme perkawinan? Ternyata, mudah saja, kok. Bisa dengan selalu memberi kejutan-kejutan manis atau memberi perhatian pada hari ulang tahun perkawinan, misalnya. "Biasanya kalau perkawinan sudah berjalan sekian lama, hal-hal seperti ulang tahun kerap terlupakan, terutama pada pihak suami. Nah, kalau ingin menjaga tetap romantis, ya, jangan dilupakan," kata Sawitri. Tapi yang diberi perhatian jangan cuma melihat harga atau hadiahnya, lo, tapi lihatlah perhatiannya. "Kalau kita hanya terpaku pada harga atau bendanya, nanti pasangan kita jadi bosan memberi sesuatu karena pemberiannya selalu enggak pas," ujar Sawitri.
Sebaliknya, yang memberi jangan lantas minta imbalan atau pamrih dari apa yang diberikan. Nanti akan sakit hati sendiri, lo, bila pasangannya ternyata tak balas memperhatikan atau memberi hadiah juga. Yang tak kalah penting, lanjut Sawitri, kita harus menjaga keyakinan bahwa suami/istri kitalah yang paling pas dengan diri kita. "Jangan melihat rumput tetangga lebih hijau dari rumput di rumah kita," pesannya. Selain itu, kita juga harus mau meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan pasangan guna memikirkan kembali, mau dibawa ke mana arah perkawinan ini. Dengan demikian, pijakan untuk melangkahnya perkawinan akan jadi jelas.
Jadi, jangan cuma sibuk kerja atau cari uang terus, ya, Pak-Bu. Sawitri wanti-wanti berpesan, agar suami-istri menyadari benar hal ini, karena perkawinan akan mudah goncang bila tak ada pijakannya. Apalagi, dampaknya juga tak baik buat anak-anak bila perkawinan yang tak sehat dibiarkan terus, karena suasananya pasti tak ceria dan tak bahagia. "Anak-anak yang tumbuh di lingkungan demikian pasti akan berpengaruh bagi perkembangan mentalnya. Paling tidak, anak akan mengalami hambatan perkembangan kepribadiannya; ia tak akan bisa menyesuaikan diri pada lingkungan dengan baik atau jadi minder." Kemudian bila ada masalah, lanjutnya, cobalah untuk mengingat kembali apa yang dikatakan orang jaman dulu, yakni agar tak gampang mengucapkan kata cerai. "Kita harus berpikir dua kali supaya tak cepat menjadi fatal."
Indah Mulatsih/nakita
KOMENTAR