"Aku malu banget, deh, sama suamiku. Kemarin waktu lagi iseng-iseng buka dompetnya, eh, ketahuan. Jangan-jangan dikiranya aku sering menggeratak barang-barang pribadinya. Padahal, baru kali itu aku melakukannya. Sungguh! Enggak tahu, deh, kenapa aku sampai iseng begitu," cerita Sinta kepada sahabatnya, Ina.
Bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Sinta memang tak dapat dibenarkan karena dianggap melanggar daerah privasi pasangannya. Di sisi lain, banyak pula yang beranggapan, tak apa-apa menggeratak barang-barang pribadi pasangan. Bukankah kalau orang sudah menikah berarti sudah menjadi satu kesatuan? Jadi, milik suami, ya, milik istri juga. Begitu pula sebaliknya.
Dengan kata lain, seperti dituturkan Dra. Suhati Kurniawan dari Lembaga Psikologi Terapan UI, anggapan menggeratak atau tidak, tergantung bagaimana pola yang diterapkan keluarga yang bersangkutan. "Kalau memang keterbukaan dalam segala hal yang diterapkan, sehingga tak ada privasi lagi, maka hal seperti itu tak akan dianggap menggeratak." Jadi, sah-sah saja bila si istri membuka dompet, melihat isi pesanhand phone, pager, atau membuka-buka agenda milik suaminya.
Apalagi bila suami-istri tersebut sama-sama sibuk sehingga untuk mencari tahu di mana pasangannya berada, bisa saja ia membuka organizer pasangannya. "Bahkan, kadang dengan tahu agenda acaranya itu, si istri jadi bisa mengingatkan kalau ternyata suaminya lupa akan janjinya pada seseorang."
TAK PUNYA RASA AMAN
Lain halnya jika keluarga tersebut menerapkan bahwa privasi harus dihargai. Nah, barulah bisa dikatakan si istri menggeratak barang-barang milik pribadi suaminya. "Tapi sebenarnya yang dimaksud menggeratak adalah jika memang sudah dalam taraf mengganggu. Baik mengganggu si pasangan maupun diri sendiri atau si pelakunya," tutur Suhati. Misalnya saja, istri belum merasa puas jika belum membuka-buka agenda atau melihat isi pesan telepon tangan atau radiopanggil suaminya. "Seakan-akan ada dorongan untuk terus melakukan hal itu. Nah, itu, kan, nggak sehat. Jadi, ia pun sebenarnya sudah terganggu."
Biasanya, lanjut Suhati, yang sering melakukan perbuatan menggeratak adalah para istri. Hal ini disebabkan adanya anggapan di masyarakat yang memberikan posisi lebih pada lelaki, "Sehingga lelakilah yang punya power dan istri berada di bawah. Nah, dengan adanya perasaan itu, memungkinkan si istri jadi ingin tahu perihal suaminya. Seperti ada hak prerogatif suami yang tak dimiliki oleh istri." Apalagi, tambahnya, jika si istri juga tak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya dengan cara yang baik. Alhasil, "Dipakailah cara menggeratak itu."
Kendati demikian, ujar Suhati, perilaku menggeratak atau mencari tahu isi barang pribadi pasangan, umumnya didapat pada orang yang tidak memiliki rasa aman secara psikologis. "Ia tak merasa aman dengan dirinya sendiri, juga tak punya cukup keberanian untuk menanyakannya langsung kepada pasangannya."
Rasa tak aman ini bisa jadi dibentuk sejak masa kecilnya. "Mungkin dulu dalam hubungan keluarganya, orang tuanya tak pernah menaruh kepercayaan penuh padanya. Ia selalu dicurigai, sehingga pada dirinya terpola, dalam hidup ini harus ada yang dirahasiakan dan dengan demikian pasti ada yang harus dicari tahu."
Nah, ketika sudah menikah, ia selalu ingin tahu urusan pasangannya. "Namun caranya bukan dengan bertanya secara sehat kepada pasangannya, melainkan mencari tahu sendiri dengan menyelidikinya atau menggeratak tadi."
Namun tak tertutup kemungkinan juga perilaku menggeratak ini bukan dimulai sejak kecil, tapi karena ada suatu peristiwa traumatik sehingga membuatnya kehilangan kepercayaan. Misalnya, sang suami menyembunyikan dirinya punya WIL dan akhirnya ketahuan oleh istri. "Tapi jika tak ada apa-apa dan ia tetap punya kebiasaan menggeratak, maka bisa dipastikan karena di latar belakangnya ada perasaan tak aman tersebut."
KOMENTAR