POSISI MERTUA
Di tempat purik, biasanya rumah orang tua, bukannya tak mungkin si istri mendapat masukan dari ayah-ibunya atau kakak-kakaknya. "Ini juga bukan jaminan selesainya masalah. Sebab, yang sering terjadi masukan atau nasehat itu tak didengar."
Dalam hal ini, jelas Sukiat, akan lebih bijaksana jika orang tua atau pihak keluarga tidak mencampuri urusan anak-menantunya. "Jangan memihak!" Orang tua sebaiknya bertanya, "What is your problem?" dan "What is the real problem". Dengan demikian, permasalahan yang sebenarnya, akan diketahui. Selanjutnya, hubungi menantu dan tanyakan hal yang sama. Dari situ akan diketahui ketidakberesannya. Setelah itu, dipecahkan bersama. "Tentunya yang utama harus meredam emosi dulu."
Yang harus diingat oleh orang tua, kata Sukiat, anak yang purik itu, sudah mentas, sudah berkeluarga. Sehingga pihak orang tua sebaiknya hanya mencari jalan keluar. "Jangan malah ikut campur. Yang harus menyelesaikan adalah pihak yang bersangkutan, yaitu suami-istri tersebut."
Jadi, jangan purik lagi, ya, Bu. Hadapilah setiap masalah dan selesaikan berdua. Percayalah, purik tak akan menyelesaikan masalah.
Suami Tetap Wajib Memberi Nafkah
Dari sisi hukum, menurut Kanthi Lestari, SH, istri yang purik tetap berhak mendapatkan nafkah dari suami. "Karena ia kabur dari rumah, pasti ada juga andil dari suaminya, kan. Pertengkaran yang terjadi pasti ada andil dari pihak lain. Tidak mungkin ada akibat tanpa ada sebab, kan?" tutur sarjana hukum di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Indonesia untuk Wanita dan Keluarga ini.
Bahkan, jika si istri akhirnya meminta cerai, ia juga berhak mendapatkan harta gono-gini. Sebaliknya, pihak yang ditinggalkan juga bisa menggugat pihak yang kabur. "Karena jika salah satu pihak melalaikan kewajibannya, ia bisa mengajukan gugatan ke pengadilan untuk segera menunaikan kewajibannya." Tapi biasanya ini menyangkut masalah keuangan atau kewajiban finansial. Misalnya, suami pergi dari rumah dan menelantarkan istri dan anak-anaknya. Nah, si istri yang ditinggalkan berhak meminta pengadilan untuk menyita sebagian harta si suami demi memenuhi kewajibannya itu.
Menurut hukum, terang Kanthi, istri purik bisa dikatakan nusuz (istri yang tak taat) tapi bisa juga tidak. "Bila kaburnya dengan alasan yang bisa diterima maka tak bisa dianggap sebagai nusuz." Misalnya, karena ia mendapat penganiayaan, baik fisik maupun mental. "Pertengkaran pun yang kalau sudah sampai mengucapkan kata-kata kasar hingga isi kebun binatang keluar semua, sudah dianggap penganiayaan secara mental."
Lain halnya jika kaburnya istri dengan alasan hura-hura karena ingin lari atau senang-senang dengan kekasihnya. "Ini akan dikatakan nusuz, karena ia melalaikan kewajiban sebagai istri, tak mengurus anak dan suami, dan sebagainya. Ditambah lagi ia kabur karena punya pria lain."
Nah, kalau istri tak tahan karena tekanan-tekanan dari suami seperti yang sudah disebutkan di atas, maka saat ia menggugat cerai, ia pun tak akan dianggap sebagai nusuz. Namun tentunya bila hendak mengajukan gugatan cerai haruslah menyiapkan bukti-bukti dan saksi-saksinya. "Memang agak sulit mencari saksi dalam pertengkaran keluarga, karena seringkali suami-istri bertengkar hanya di dalam kamar."
Itulah mengapa Kanthi menganjurkan, sebaiknya istri bisa mengadu kepada orang tua atau keluarganya. Sehingga keluarga yang menerima pengaduannya itu bisa diajukan sebagai saksi, "Ya, saya memang tak pernah menyaksikan mereka bertengkar tapi saya selalu menerima keluhan anak saya." Nah, dengan adanya kesaksian ini saja, biasanya akan diterima oleh majelis hakim untuk nantinya mengabulkan permohonan cerai dari si istri.
KOMENTAR