Tak perlu terpancing untuk marah, cukup terangkan apa adanya sesuai bahasa anak. Bila ia tetap ngotot, alihkan pada aktivitas lain yang menarik daripada ikut-ikutan tak mau kalah.
Satu lagi "ulah" si kecil di usia ini yang kerap bikin kita jengkel. Betapa tidak, ia tahu baju yang dipakainya warna merah, misal, tapi dibilangnya putih. Ketika diberi tahu, "Bukan putih, Nak, tapi merah.", eh, ia malah ngotot, "Putih, Ma!" Coba, siapa yang enggak jengkel? Sudah gitu, ia pakai senyum-senyum segala seolah ngeledek. Tambah bikin dongkol, kan? Hingga tak jarang kita terpancing memarahi sikapnya yang nyeleneh itu.
Padahal, menyalah-nyalahkan yang benar dan membenar-benarkan yang salah semacam ini, terang Indri Savitri, merupakan hal wajar alias normal dalam dunia batita. Soalnya, pada anak usia 2-4 tahun, pola perilaku yang mengarah negativisme seperti itu masih amat menonjol, bahkan merupakan bagian dari proses perkembangannya. "Waktu bayi, ia, kan, sama sekali tak berdaya. Ia sangat tergantung pada pengasuh maupun ibunya karena segala hal masih harus diladeni dan dibantu. Seiring pertambahan usia, ia pun makin berkembang dan selalu mencoba cari tahu dengan mengeksplorasi apa saja yang ada di sekitarnya. Nah, dalam rangka bereksplorasi inilah, ia menggunakan caranya sendiri yang antara lain lewat negativisme," paparnya.
Pantas saja, ya, Bu-Pak, si kecil jadi berperilaku demikian. Bukan cuma itu, lo. Masih dalam rangka bereksplorasi, menurut Indri, si kecil di usia ini juga cenderung "ngerjain" atau memancing kemarahan orang lain, terutama orang tua dan saudara kandungnya. Ia ingin tahu bagaimana kalau ibunya marah, misal. "Meski tak semua memperlihatkan kecenderungan ini, namun pada dasarnya batita senang melihat hal-hal yang berbeda atau merasakan pengalaman yang lain," terang psikolog dari LPT UI ini.
TINGGALKAN BAHASA BAYI
Sebenarnya, perilaku ini bisa diminimalisir, kok. Maksudnya, kita bisa mencegah agar si kecil tak kelewat terpancing untuk menyalah-nyalahkan yang benar dan membenar-benarkan yang salah. Caranya, jangan ajari si kecil berbicara dengan menggunakan bahasa bayi semisal "cucu" untuk "susu", "wawo" untuk "baso", "emen" untuk "permen", dan sebagainya.
Logikanya, tutur Indri, "anak tak akan pernah berusaha belajar dan menerapkan yang benar jika dibiasakan pada yang salah."
Nah, bila Ibu-Bapak kerap menggunakan bahasa bayi saat berbicara dengan si kecil, mulai saat ini harus diubah, ya. Tentu "kesalahan" si kecil juga harus diperbaiki namun tanpa dibarengi emosi dan nada tinggi, lo. Lama-lama ia pun akan paham, kok. Tapi kita pun harus pula melihat perkembangan dan kematangannya. Maksudnya, bila si kecil usia 1,5 tahun, masih bisa diterima jika belum jelas melafalkan kata-kata tertentu yang belum akrab dengan kebutuhan fungsionalnya. Namun kita tetap mengarahkannya untuk mengucapkan kata-kata itu secara benar.
Bila usianya 3 tahun dan masih menggunakan bahasa bayi, kita harus mencermati sekaligus mencarikan ahli dan jalan keluarnya. Pasalnya, di usia ini ia seyogyanya sudah punya sekian banyak perbendaharaan kata dan mampu menyusun kalimat sederhana, serta mengucapkannya dengan lafal yang benar. Kecuali anak cadel bawaan seumur hidup karena lidahnya pendek, misal.
JANGAN TERPANCING
Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah ini? Saran Indri, terangkan saja apa adanya sesuai bahasa anak dengan pengucapan yang benar. Misal, "Ini baju merah, Nak." Gunakan pula alat bantu semisal pensil warna, crayon, atau spidol untuk membantu si kecil memahami warna secara benar. Kita bisa pula memanfaatkan benda-benda berwarna di sekitarnya agar ia makin mendalami pemahaman warna. Dengan cara ini, kita pun bisa sekaligus mendeteksi apakah ia buta warna atau tidak.
Bila ia tetap ngotot kendati sudah dijelaskan, "enggak perlulah orang tua ikut ngotot sampai main perintah hanya karena tak mau kalah." Cara begini, tutur Indri, justru bikin si kecil merasa "dijajah". Bukankah berarti ia harus selalu mengikuti pendapat kita sekalipun pendapat kita memang benar? Hati-hati, lo, dalam diri si kecil bisa terpupuk niat memberontak bila kita kerap bersikap layaknya seorang komandan yang selalu main perintah. Soalnya, makin dipaksa, makin ia menentang otoritas kita; ia makin tertantang membuktikan, "Aku juga bisa, kok, seperti Bunda." Buatnya, melakukan sesuatu yang baru semacam ini malah jadi kebanggaan tersendiri, lo.
KOMENTAR