MANA LEBIH BERISIKO?
Masalahnya ternyata tidak sesederhana itu. Malah, kondisi bayi yang dilahirkan secara normal justru jauh lebih bagus dibanding bayi yang dilahirkan sesar. Soalnya, baik si bayi maupun ibunya memang sama sekali tidak bermasalah. Berbeda dari persalinan sesar yang dilakukan karena suatu indikasi medis. Dengan kata lain, tindakan sesar terpaksa ditempuh bila ada risiko pada bayi maupun ibu yang menyangkut masalah keselamatan.
Antara lain, karena kondisi ibu sendiri yang menjadi penghalang baginya untuk menjalani proses persalinan normal, seperti panggul terlalu sempit atau tidak proporsional dengan tubuh bayi, ataupun karena lemahnya kontraksi yang berfungsi mendorong bayi keluar dari jalan lahir. Jika menyangkut faktor janin, biasanya karena bobot bayi melebihi 4.000 gram, letaknya sungsang, atau adanya kegawatan akibat terlilit tali pusat. Tak heran jika para bayi sesar inilah yang sebetulnya lebih rentan terkena dampak kurang menguntungkan dalam hal pertumbuhan dan perkembangan.
Perlu diketahui, ada 2 hal mendasar yang dialami bayi saat dilahirkan sesar, yakni:
* Mengalami perubahan tekanan pada kepala secara tiba-tiba.
Padahal secara fisiologis dalam persalinan normal, tekanan pada bagian kepala bayi tidak terjadi secara mendadak atau tiba-tiba. Melainkan secara perlahan dan bertahap dari pembukaan 1 sampai 10 hingga bayi benar-benar siap lahir. Sedangkan pada sesar, si bayi akan dikeluarkan dari perut ibunya secara langsung dan dalam waktu singkat.
* Organ paru belum sempat terkompresi.
Beberapa saat sebelum lahir normal, organ paru bayi akan terkompresi/tertekan kemudian membuka, sehingga begitu bayi lahir ia akan langsung menangis. Sementara pada bayi lahir sesar, organ parunya belum sempat mengalami kompresi sehingga begitu diangkat ada sedikit jeda waktu sampai ia menangis.
* Terkena pengaruh obat bius.
Sebetulnya, kekhawatiran ini tergantung pada jenis pemberian anestesinya. Dalam operasi sesar dengan anestesi umum atau istilahnya bius total, maka dokter harus bekerja lebih cepat mengeluarkan si bayi. Jika tidak, dikhawatirkan bayi bisa terkena pengaruh obat bius yang bisa membuatnya "teler" dan kekurangan oksigen. Akan tetapi sebetulnya kemungkinan ini tak perlu kelewat dikhawatirkan. Toh dokter lebih sering menggunakan anestesi spinal atau yang dikenal dengan epidural. Yang "diistirahatkan" hanya perut bagian bawah sementara ibu maupun janinnya tetap dalam kondisi sadar. Anestesi jenis ini diyakini cukup aman bagi bayi.
AMAN TERLINDUNG
Bertolak dari sederet risiko yang tidak ringan tersebut, patahlah anggapan bahwa bayi yang dilahirkan sesar pasti lebih cerdas dibanding sesama bayi yang dilahirkan normal. Terlebih bila tindakan sesar itu terpaksa ditempuh karena adanya gangguan kegawatan janin. Gangguan ini tentu saja bisa berdampak langsung pada kondisi bayi meski banyak juga bayi sesar tak "bermasalah" yang menampakkan potensi kecerdasannya.
Secara fisiologis, di usia kehamilan 37 minggu biasanya kepala janin sudah akan masuk ke jalan lahir. Bahkan memasuki minggu-minggu terakhir kehamilan (usia kehamilan 38-40 ming-gu), tubuh ibu sudah betul-betul siap melahirkan bayi. Jalan lahir menjadi lunak dengan sendirinya. Perlunakan ini membuat kepala bayi mustahil terbentur tulang panggul ibu yang keras ketika meluncur di jalan lahir.
Adanya kontraksi yang semakin kuat dan semakin sering sangat membantu bayi mendorong kepalanya sedikit demi sedikit melewati jalan lahir.
Gerakan ini bukan sekadar meluncur dengan mendorong-dorong kepalanya, tapi mendorong sambil memutar saat mencari jalan keluar. Gerakan membentuk ulir ini menjamin kepala bayi maupun isi kepalanya sama sekali tidak terganggu. Apalagi otak juga cukup terlindung dengan aman oleh tulang-tulang tengkorak yang kuat. Kalaupun ada trauma jalan lahir yang dialami biasanya tidak sampai menimbulkan gangguan yang berarti. Yang paling sering terjadi hanyalah perdarahan di kulit kepala terluar. Jarang sampai terjadi gangguan di bagian dalam kepala.
LEBIH BAIK DIBANDING VAKUM?
Hingga kini, apa pun yang terjadi saat seorang ibu melahirkan boleh dibilang merupakan misteri Sang Pencipta. Artinya, banyak hal di luar rencana manusia bisa muncul di momen-momen genting seperti ini. Contohnya, fase pembukaan sudah lengkap dan kepala janin sudah melewati pintu atas panggul, namun ia tak kunjung keluar. Dalam kondisi seperti itu biasanya dibutuhkan alat bantu seperti vakum atau forseps. Sesuai namanya, alat bantu ini akan membantu menarik janin keluar.
Sayangnya, penggunaan vakum tidak menihilkan risiko pada bayi. Terutama jika tarikannya tergolong kuat karena dapat meningkatkan tekanan pada kepala. Jaringan kepala bagian dalam dan luar bisa saja ikut tertarik mengingat ubun-ubun bayi biasanya masih dalam kondisi terbuka. Tindakan vakum dikhawatirkan dapat memengaruhi/mengganggu sistem persarafan di bagian kepala.
Bukan cuma bagian kepala yang bisa terkena pengaruhnya, tapi juga bagian tubuh lain. Contohnya, jika bayi terpaksa divakum gara-gara berat tubuhnya lebih dari 4.000 gram. Menarik tubuh bayi begitu saja agar keluar bukan tidak mungkin membuat jaringan persarafan/fleksus bahu ada yang ikut tertarik. Akibatnya, bayi mengalami lumpuh pada bagian lengan yang persarafannya ikut tertarik tadi. Kesimpulannya, dibanding lahir dengan tindakan vakum, persalinan sesar lebih memungkinkan bayi mengalami risiko seminimal mungkin.
Jika proses kelahiran bayi sampai menimbulkan gangguan pada proses tumbuh kembangnya, tidak menutup kemungkinan hal ini berdampak pada kecer-dasannya. Nah, tinggal bagaimana orangtua mendeteksi gangguan tersebut sesegera mungkin. Caranya? Dengan mengamati bagaimana perkembangan motorik kasar si bayi di usia-usia awal. Adanya gangguan atau keterlambatan biasanya akan tampak di usia 4 bulan ke atas. Dokter yang menangani bayi-bayi
dengan gangguan perkembangan biasanya juga akan bertanya mengenai proses kelahirannya. Kalau memang gangguan perkembangan tersebut diduga akibat proses kelahiran, maka si bayi harus sesegera mungkin ditangani oleh ahlinya. Ini agar proses tumbuh-kembangnya dapat optimal. Tentu saja selain perlu distimulasi secara teratur dan terus-menerus.
Dedeh Kurniasih
KOMENTAR