Mulai usia 8 bulan, bayi bisa, lo, diajarkan membaca. Maksudnya, dikenalkan dengan huruf yang merupakan dasar untuk bisa membaca.
Tapi, sebelumnya ada satu langkah yang harus dilalui bayi agar bisa belajar membaca, yaitu mengenal bentuk dan warna. "Kemampuan ini biasanya didapat bayi ketika usia 6 bulan," ujar psikolog Lidia L. Hidajat, MPH. Namun rata-rata bayi baru bisa mengenal bentuk dan warna ketika usianya menginjak 8 bulan.
Nah, bila si kecil sudah mengenal bentuk, baru kita bisa perlahan-lahan masuk pada pengenalan huruf. Itu pun biasanya tak langsung, karena buat bayi, melihat huruf yang lurus-lurus saja, belum mengandung makna. Apalagi bila harus diajarkan membaca. Bukankah untuk bisa membaca butuh kemampuan menggabungkan makna?
Itulah mengapa, Lidia berpendapat, "yang lebih efektif sebenarnya bukan mengajari bayi membaca tapi menumbuhkan minat baca pada bayi." Caranya, kenalkan ia dengan buku. Misal, membacakan cerita atau dongeng. "Bila anak sejak kecil sudah dikenalkan dengan buku, orang tuanya senang membaca, dan di rumahnya banyak buku, biasanya akan menumbuhkan minat baca lebih besar ketimbang anak lain yang di rumahnya tak ada buku sama sekali."
METODE HOLISTIK
Kendati demikian, tak ada salahnya jika Bapak-Ibu ingin mencoba mengajarkan membaca pada si kecil yang masih imut-imut ini. Toh, tak sedikit orang tua yang berhasil, meski yang gagal juga tak kalah banyak. Namun dalam mengajarkan membaca harus disesuaikan metodenya dengan sifat anak.
Para ahli perkembangan punya pandangan berbeda tentang metode belajar membaca, namun pada intinya ada 3 metode yang bisa dipilih. Pertama, teknik kata global atau metode holistik. Misal, ada gambar sebuah apel dan di bawahnya ada tulisan "apel". Kedua, metode ABC, yaitu mengenalkan huruf per huruf, "Seperti ini, lo, Nak, yang namanya huruf 'b' dan yang ini huruf 'a'. Bila digabung menjadi 'ba'." Ketiga, metode fonetik atau sistem suku kata. Misal, "b-a" sama dengan "ba", "b-u" sama dengan "bu"; bila digabung jadi "babu".
Metode mana yang paling efektif tergantung dari sifat masing-masing bayi. Bila ia selalu mengerjakan sesuatu secara perlahan, berarti ia memiliki pola kepribadian cenderung slow, hingga dalam belajar membaca pun ia menyukai yang pelan-pelan seperti metode ABC. Sebaliknya, bila ia biasa menyerap segala sesuatu dengan cepat, metode holistik akan berguna.
Kendati begitu, tutur Lidia, buat kebanyakan bayi, metode holistiklah yang paling cocok, namun dengan menggunakan alat bantu kartu. Misal, gambar apel di kartu. "Dari gambarnya, ia tahu bahwa itu apel, lalu ia akan melihat ada tulisan di bawahnya. Walaupun ia belum bisa membaca, tapi secara tak langsung ada memori dari bentuk huruf itu yang menempel di otaknya."
AKRAB DI TELINGA
Bersamaan dengan kemampuan bayi menghubungkan huruf, ia juga harus bisa menghubungkan sesuatu. Misal, bila dibawa ke kamar mandi, ia harus tahu kaitan kamar mandi dengan sabun, handuk, sampo, dan lainnya. Oleh sebab itu, pada awalnya, kata yang dikenalkan harus akrab dengannya. Misal, "susu". Itu, kan, sering sekali terdengar di telinganya. Nah, pilih kartu bergambar botol susu dan di bawahnya ada atau diberi tulisan "susu". Atau, bila ia sangat suka kala diajak ke Kebun Binatang, ia akan lebih mudah mengenal kata "gajah", "jerapah", atau nama binatang lain kesukaannya, karena ia memiliki memori bentuk binatang itu.
Tak demikian halnya bila ia dikenalkan pada kata-kata yang asing baginya. Misal, ia diajarkan kata "demokrasi", pasti akan lebih sulit mencerna. "Buat anak usia batita atau balita saja masih sulit, apalagi bayi," bilang Lidia. Jikapun ia bisa membaca dalam arti tahu huruf per huruf, "Oh, ini huruf 'd', ini huruf 'e', dan seterusnya, bahkan juga tahu bunyinya demokrasi, namun ia belum mengerti maknanya. Itulah mengapa, buku anak selalu mengangkat sekitar kehidupan anak. Inilah yang membuat anak belajar lebih cepat.
Jadi, misal, kata "susu" tadi; setiap kali mendengar kata tersebut, ia melihat ada huruf kayak cacing dengan huruf yang seperti bentuk gelas. Nah, kita tinggal mengenalkan, "Ini, lo, yang namanya huruf 's' dan ini huruf 'u'." Lama kelamaan, bila waktunya tiba, ia akan menyerap semua itu tadi.
SUASANA MENYENANGKAN
Dengan melihat rangsangan yang diberikan, sama juga mengirimkan kesan pada otaknya. Biasanya, 40 persen rangsangan tersebut akan menempel juga di otaknya, asalkan rangsangannya berkaitan dengan sesuatu yang dekat kehidupannya dan proses pemberiannya juga menyenangkan. Suatu hari nanti ia akan me-retrieve-nya (mengingat kembali).
Itulah mengapa, ingat Lidia, jangan lupa menciptakan suasana belajar yang menyenangkan ketika kita mengajarinya membaca. Misal, bayi sangat suka warna-warna terang dengan bentuk yang jelas. Nah, kita bisa membuat huruf dalam ukuran besar dan warnanya ngejreng. Atau, "karpet yang terdiri dari pecahan huruf 'a' sampai 'z' juga bisa membantu bayi mengenal huruf."
Selain itu, jangan gunakan paksaan tapi kenali bayi kita karena masing-masing bayi berbeda. Ada bayi yang betah duduk berjam-jam untuk mempelajari sesuatu, ada pula yang tidak. Jadi, Bu-Pak, ikuti saja pola si kecil; kalau ia kelihatan enggak tertarik, ya, tak perlu dipaksa.
Lagi pula, paksaan tak akan efektif. Justru si kecil jadi bosan. Yang lebih parah, ia menganggap, belajar merupakan sesuatu yang tak menyenangkan. "Bila ia sampai menganggap belajar sebagai sesuatu yang memuakkan, entah karena bikin capek, sebel, atau menangis, maka belajarnya tak akan berkelanjutan." Kalau sudah begitu, susah, lo, untuk menumbuhkan motivasinya lagi. Soalnya, di pikirannya sudah tertanam, "Ah, kalau belajar nanti Mama pasti melotot atau pasti nanti aku kena marah."
Ingat, lo, jangan sekali-sekali memaksa si kecil belajar membaca, ya, sekalipun usianya sudah di atas 8 bulan. Bukankah konsep belajar pada anak-anak haruslah sesuatu yang menyenangkan, hingga ia jadi terdorong untuk terus belajar?
INTEGENSI BERPENGARUH
Lidya pun mengingatkan agar kita tak perlu ngotot jika belajar membacanya ternyata enggak sukses. "Orang tua harus punya pandangan, kalau belajar membacanya sukses, ya, syukur; tapi kalau enggak sukses, ya, enggak apa-apa." Soalnya, sukses-tidaknya belajar membaca juga dipengaruhi oleh inteligensi. "Bila anak pada dasarnya punya kapasitas kecerdasan yang baik, proses belajarnya pun akan cepat." Seperti diketahui, ketika lahir, bayi sudah punya kapasitas kecerdasan yang berbeda-beda.
Kecerdasan, terang Lidia, ibarat sebuah gelas. "Bila gelas itu kualitasnya bagus, tak akan pecah diisi air apa saja, baik panas maupun dingin." Jadi, jika bayi memang sudah membawa "gelas" berkualitas bagus biasanya akan mempermudah dirinya belajar apa saja, termasuk membaca.
Selain intelegensi, rasa ingin tahu si kecil juga mempengaruhi kecepatannya belajar membaca. Ini tergantung dari sifat anak. Misal, "Ah, aku pingin tahu, apa, sih, yang dijejer-jejer itu? Bunyinya apa, ya?" Tapi ada juga, kan, anak yang cuek saja dalam arti tak tergugah sama sekali rasa ingin tahunya ketika melihat sesuatu yang menarik.
Nah, si kecil Anda termasuk yang mana, Bu-Pak? Coba, deh, amati sebelum Ibu-Bapak akhirnya merasa frustrasi atau malah ngotot memaksa si kecil belajar kala ia tak jua menunjukkan tanda-tanda kesuksesan.
TAK MENINGKATKAN KECERDASAN
Dengan membaca memang bisa memperluas wawasan, tapi bukan berarti belajar membaca akan meningkatkan kecerdasan. Jadi, bila si kecil belum bisa membaca pada masa bayi, tak berarti ia akan lebih bodoh dari teman-temannya. "Belum tentu anak yang sudah bisa membaca ketika masuk SD akan lebih pintar dari anak yang bisa membacanya belakangan," tutur Lidia.
Untuk melihat cerdas-tidaknya anak, perlu banyak faktor; antara lain kemampuan memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan pemahaman. "Jadi, membaca hanya sebagian kecil dari kecerdasan." Yang jelas, tandas Lidia, keuntungan dari belajar membaca sejak bayi, anak lebih cepat bisa membaca ketimbang anak lain yang tak belajar sejak dini. Nah, dengan ia bisa membaca lebih awal, ia jadi banyak membaca sejak dini hingga ia pun jadi tahu banyak. Dengan demikian, ia bisa lebih pandai. "Jadi kaitannya mungkin secara tak langsung."
Faras Handayani/nakita
KOMENTAR