Baru enam bulan menikah, Novi (28) justru merasa uring-uringan jika bertemu Tito (29), suaminya. Meski sudah menikah, tiap Sabtu-Minggu Tito malah pergi main bowling bareng teman-temannya. Belum lagi ibu mertua yang selalu ikut campur dalam kehidupan rumah tangga mereka. Maklum, Novi masih numpang di rumah mertua, alias orang tua Tito.
Anda yang sudah siap-siap menuju pelaminan tentu tak ingin mengalami hal yang dialami Novi, bukan? Menurut Johanes Papu, Msi, psikolog, idealnya pasangan suami-istri menentukan komitmen atau kesepakatan-kesepakatan sebelum mereka menikah. Beberapa komitmen yang perlu dibicarakan antara lain.
1. Siapa bendaharanya?
Dalam menentukan siapa yang berwenang memegang kendali keuangan, yang penting adalah transparansi antara Anda dan pasangan. Kedua belah pihak sama-sama tahu pengahasilan masing-masing dan yang terpenting bagaimana memaksimalkan dan mengatur uang tersebut.
"Masalah siapa yang memegang uang, bukan hal utama. Walaupun teknisnya mungkin yang punya banyak kesempatan untuk akses ke bank misalnya, yang pegang uang. Flesibel saja. Apalagi sekarang ada joint account atau tabungan bersama dimana suami-istri bisa sama-sama memantau," ujar Johanes.
Lantas, jika keuangan dipegang istri, apakah suami harus menyerahkan semua gajinya? Menurut Johanes, konsep ini tidak selalu tepat. Karena seringkali ada istri yang tak bisa me-manage uang.
Selain itu, jika Anda tinggal di kota besar seperti Jakarta, konsep suami menyerahkan 100% gaji pada istri juga "merepotkan". Sebab, bagaimana pun juga suami yang mobile atau bekerja, akan membutuhkan uang, semisal untuk beli bensin. Jika semua diserahkan ke istri dan tiap hari minta ke istri, repot.
Sebelum menyerahkan gaji ke istri, suami sebaiknya menentukan berapa anggaran per bulan, misalnya kebutuhan bensin dan hiburan (seperti beli buku untuk dirinya sendiri). Yang perlu diserahkan adalah yang menyangkut kebutuhan bersama.
Jadi, harus pintar-pintar mengatur supaya satu sama lain tidak begitu tergantung. Sangat perlu bikin anggaran keuangan bulanan yang jelas, mulai dari biaya listrik, telepon, air, makan, pendidikan anak, kesehatan, rekreasi, tabungan, dan hal lain yang tak terduga. Besar pasak daripada tiang, mungkin terjadi. Yang penting, bagaimana Anda me-manage pendapatan supaya bisa cukup.
2. Tinggal dimana?
Tak jarang, lantaran belum punya tempat tinggal sendiri, pasangan suami-istri masih tinggal di rumah orangtua atau mertua. Selain itu, dalam kultur masyarakat Indonesia, kadang orangtua tak ingin anaknya meninggalkan rumah. Jadi, lebih enak tinggal di rumah sendiri atau mertua?
Menurut Johanes, idealnya dalam satu rumah ada satu keluarga dengan satu kepala keluarga. Jika satu rumah ada lebih dari satu kepala keluarga, sudah tidak sehat. Jika tinggal di rumah sendiri, Anda dan pasangan punya kemandirian untuk mengatur rumah tangga, mulai dari mengatur keuangan, tata letak rumah, hingga kondisi rumah. Anda juga memiliki kebebasan secara individual.
Sebaliknya, berikut hal-hal yang mungkin terjadi jika tinggal dengan mertua :
- Tidak memiliki keleluasaan untuk melakukan "eksperimen sendiri, seperti mengatur rumah karena harus tergantung pada si empunya rumah, yaitu mertua.
- Perlu penyesuaian. Jika belum begitu lama mengenal mertua, proses penyesuaian mungkin akan terbentur ke sana kemari dan bisa jadi akan menimbulkan gesekan antara Anda dengan pasangan atau Anda dengan mertua.
- Perlu membatasi dan menguasai diri untuk bisa cocok dengan mertua.
- Dalam segi keuangan, biasanya jika anak masih bekerja sedangkan orangtua tidak, anak lebih banyak mendukung orang tua. Begitu juga sebaliknya. Jika orangtuanya sangat mapan dan anaknya belum, orangtua yang lebih men-support anak.
Untuk keuangan, suami-istri bisa bersepakat untuk berbagi untuk orangtua atau mertua. Semisal disepakati masalah kebutuhan dapur ditangani orangtua sementara Anda dan pasangan khusus menangani listrik dan telepon.
"Jadi, perlu ada garis jelas mana yang boleh dan mana yang tidak. Mana yang harus ditangani anak dan mana orangtua. Jangan sampai berkesan, anak menguasai orangtua dan sebaliknya. Yang pasti sebaiknya jangan sampai terjadi dalam satu rumah, orangtua dan anak masak sendiri-sendiri. Menurut saya hal ini kurang cocok," jelas Johanes.
(Bersambung)
Triwik Kurniasari
KOMENTAR