HARUS DIMINUM HABIS
Tentu menyesuaikan jenis antibiotika dengan penyakitnya saja tidak menjamin sepenuhnya kesembuhan pasien. Karena dosis atau ukuran yang dikonsumsi pasien juga perlu diperhatikan. Untuk orang dewasa misalnya, tentu tak akan efektif bila diberi dosis ukuran anak kecil. "Sebaliknya anak kecil pun akan berdampak buruk bila diberi dosis untuk orang dewasa."
Umumnya untuk penyakit yang sedang-sedang daja beratnya, dokter memberi antibiotila untuk 5 hari. Tiap hari 3 butir. Berbeda dengan obat di luar antibiotika, obat yang diberikan dokter harus habis seluruhnya, meski gejala penyakitnya sudah hilang.
Tentu dokter akan tetap menyarankan mengkonsumsi makanan bergizi, buah, vitamin dan istirahat yang cukup. Pokoknya tandas Pinarti, penyakit tidak akan datang kalau kita bisa menjaga kondisi tubuh.
Entah karena tidak paham tentang cara kerja antibiotika di dalam tubuh, atau enggan minum obat, biasanya pasien yang sudah merasa sembuh berhenti minum sekalipun obat yang diberikan belum habis. Akibatnya tentu saja jadi fatal. Karena antibiotika dikonsumsi untuk membunuh semua bakteri yang bersarang dalam tubuh.
"Bila yang dikonsumsi baru separuh resepnya, ya, belum seluruh bakteri musnah. Akibatnya, bakteri yang belum tuntas mati tetap tinggal di tubuh kuta meskipun tidak memberi gejala penyakit pada kita. Karena antibiotik yang belum musnah tadi sudah 'mengenal' antibiotika, sakit mereka akan kebal. Nah, kalau sakit lagi, bakteri tadi tak mempan oleh serangan antibiotika. Jadi dosisnya harus ditinggikan," tutur Pinarti.
Sementara menyantap antbiotik pun ada efek negatifnya, terutama bia dosisnya terlalu tingggi. "Salah satu dampak negatifnya adalah menggangggu metabolisme tubuh. Paling tidak karena diberikan dalam bentuk kapsul, akan mengganggu flora (tumbuh-tumbuhan) di dalam usus. Tumbuh-tumbuhan itu, kan, sebenarnya membantu pencernaan. Nah, kalau kita sering atau makan antibiotika ketinggian, tumbuh-tumbuhan itu akan dirusaj sehingga pencernaan bisa terganggu."
Harap diingat pula, tukas Pinarti, ada beberapa antibiotika yang berpengaruh pada pasien yang memang sudah menderita penyakit tertentu. "Ada, lo, obat tertentu yang bisa mengganggu fungsi ginjal. Makanya saya tadi, dokter harus rajin bertanya sebelum menulis resep," saran Pinarti.
Misalnya, tambah Pinarti, pasien sakit lever, tidak boleh diberi antibiotika golongan tetrasiklin. "Pemberian tetrasiklin pada penderita lever cuma meracuni lever sang pasien."
Padahal, lanjut Pinarti semua antibiotika yang berdedar sudah melalui tes dan izin dari Depkes. Jadi, kalau ada dampak bubruk pada pasien, biasanya lebih karena salah pemberian atau, "Karena dokternya kurang bertanya pada pasiennya," tandas Pinarti.
TES RESISTENSI
Pinarti juga menganjurkan para pasien yang kebetulan mengkonsumsi antibiotika tidak meminum obatnya bersama susu. "Jangan pula sehabis makan lemak atau santan karena lemak melemahkan fungsi antibiotika hingga tidak aktif bekerja. Sebaiknya pasien juga bila diberi obat, menanyakan pada dokternya, apakah tiap obat boleh diminum sekaligus. Karena ada pula obat tertentu yang melemahkan daya kerja antibiotika."
Perlu juga diperhatikan bibla anak sudah sejak kecil diberikan antibiotika, sampai dewasa, kata Pinarti, yang bersangkutan harus menjaga betul makanannya. Jika perlu, saranya, "Dilakukan tes resistensi bila memang keseringan makan antibiotika. Dengan apa saja yang masih cocok untuk memastikan kuman dalam tubuhnya."
Memang diakui Pinarti, umumnya orang malas memeriksakan diri atau anaknya. Karena selain membutuhkan biaya dan waktu, juga karen atidak p aham tentang antibiotika.Melihat dampak negatif antibiotika sebetulnya paling tepat adalah melakukan pencegahan.
Caranya, menyantap makanan bergizi dan hidup di lingkungan yang bersih. Memang, kata Pinarti, alam di Indonesia yang penuh polusi, membuat kita sering terserang penyakit infeksi, tetapi di rumah pun, kesehatan lingkungan sering tidak diperhatikan. "Contohnya saja, seorang ayah yang dengan tenangnya merokok di samping anaknya," tandas Pinarti.
Dok. NOVA
KOMENTAR