Ibu Rieny yang baik,
Saya mulai baca rubrik Ibu sejak tamat SD, dan kini dalam usia 21 tahun, tamat D-3 dan sudah bekerja, saya tetap mencintai tulisan Ibu (terima kasih - RH).
Saya pengantin baru, Bu, tapi baru genap 35 hari menikah, sudah tak tahan rasanya. Saya menikah di usia 21 tahun karena desakan orang tua. Kata ibu saya, saya dan suami sudah siap. Padahal, kami masih senang pacaran, apalagi dua kakak di atas saya belum menikah, yaitu Mas T dan Mbak K. Dengan Mas T saya tak sungkan, karena dia ikhlas, beda dengan Mbak K. Dia adalah anak kebanggaan orang tua. Kata Ayah, Mbak K kelak bisa jadi walikota, karena karirnya di Pemda memang bagus.
Saya sendiri bekerja di perusahaan swasta yang cukup bonafid di kota saya, sambil kuliah. Orang tua saya otoriter dan segala kehendak mereka harus selalu dipatuhi, apalagi ibu saya. Kata-katanya adalah fatwa bagi suami dan anak-anaknya.
Tampaknya, Mbak K terpukul, Bu, karena saya mendahuluinya menikah. Tapi, ia tak bisa marah secara langsung pada saya, karena tahu ibu yang ngotot agar saya kawin. Menjelang malam midodareni, Mbak K bawa teman dan tak pulang-pulang, padahal kami mau siap-siap terima tamu. Ketika ditegur Mas T, ia malah teriak-teriak, padahal saat itu ada saudara suami yang sedang bertandang. Saya sangat malu, orang tua saya dan kakak tertua saya membela Mbak K, karena tidak pernah salah. Mas T sendiri akhirnya tidak hadir saat pesta pernikahan, Bu. Saat resepsi pun kami hanya pura-pura bahagia di depan tamu undangan, padahal ayah, ibu, dan Mbak K mendiamkan saya. Bayangkan bagaimana hancurnya hati dan perasaaan saya, Bu.
Ayah akhirnya tidak mendampingi saya di pelaminan karena darah tingginya kumat dan lagi-lagi saya dan Mas T yang disalahkan. Hingga detik ini, Mas T tidak pernah datang lagi ke rumah, karena orang tua masih benci. Entah dia tinggal di mana, karena setiap kali saya berusaha mencarinya, Ayah langsung kumat darah tingginya dan Ibu mulai berteriak-teriak. Apa yang harus saya lakukan untuk mengembalikan Mas T ke rumah lagi, Bu? Sampai sekarang Mas T tidak pernah menyapa saya.
Kami masih tinggal di rumah orang tua saya, karena belum punya uang untuk mengontrak rumah. Kami cuma numpang tidur karena waktu seharian kami habiskan di luar rumah, bekerja dan kadang-kadang refreshing membuang kejenuhan.
KOMENTAR