Bu Rieny Yth,
Sudah dua tahun saya berhubungan dengan pria A (33) yang berbeda 8 tahun usianya dengan saya. Dia baik, penuh perhatian dan pekerjaannya juga sudah mapan. Walau dari sisi pendapatan, saya lebih baik karena saya di swasta dan sementara dia pegawai negeri.
Sejak awal, kedua orang tua saya sudah curiga bahwa ia sudah menikah, tetapi kalau saya tanya, ia selalu menyangkal. Kalau ia sering pulang pulang kota asalnya, alasannya karena ayahnya yang sudah tua sering sakit-sakitan. Saya pernah diajaknya ke kampungnya. Malah diperkenalkan pada teman dan saudara-saudaranya. Tapi anehnya, saya tak pernah diajak ke orang tuanya. Kalau saya desak, ia katakan belum saatnya saya bertemu mereka.
Pada bulan Juni yang lalu, saya hamil Bu. Tetapi dengan tenang ia meminta saya menggugurkan kandungan saya karena hanya inilah syarat ia mau mengawini saya. Katanya, ia tak yakin bahwa itu adalah anaknya. Padahal, ketika ia menggauli saya pertama kali, ia tahu benar bahwa saya masih perawan dan tak pernah berhubungan dengan laki-laki lain.
Karena merasa sudah terlajur, saya turuti kemauannya, sampai kemudian kami melakukan dan melakukannya lagi. Kali ini, kami sudah lebih berhati-hati mencegah kehamilan. Ia tampak makin menikmati hubungan intim, setelah yakin bahwa saya tak akan hamil. Jujur, saya pun menikmati. Tetapi, lama-lama saya sadar bahwa perbuatan saya itu hanya menumpuk dosa. Sementara, ia tak ada tanda-tanda akan mengawini saya.
Akhirnya, saya memberi ultimatum. Akhir tahun 2005 saya harus diberi kepastian. Dan seperti petir di siang hari bolong ketika ia mengaku bahwa sebenarnya ia sudah punya 3 anak. Memang ia tak cocok dengan istrinya dan sedang mengurus perceraian. Kasus ini jadi berbelit lantaran ada masalah pengasuhan anak yang masih diperebutkan.
Aduh Bu, saya sudah berkorban banyak sekali untuknya. Bahkan rumah yang ia tempati dan motor yang dipakainya, saya yang membayar cicilannya dari tabungan saya. Belum lagi pengorbanan saya yang tak bisa ditukar dengan uang, yakni keperawanan saya sudah hilang.
Ia berjanji akan mengawini saya tetapi tak bisa memberi kepastian kapan, karena itu tergantung keputusan Pengadilan Agama. Tetapi, kalau saya desak tentang berkas perkaranya sebagai bukti memang sedang diurus, ia malah marah besar.
Bagaimana Bu, apakah saya harus memutuskan hubungan ini, padahal saya sudah terlanjur jauh dengannya? Coba saya menuruti nasihat orang tua yang sebenarnya melarang saya berhubungan dengannya. Mungkin saya tak terjerumus dalam masalah yang rumit begini.
Putus dengannya, lalu siapa lagi yang mau mengawnini saya? Tetapi kalau saya teruskan, saya akan digantung hingga kapan? Bahkan kini saya sadari latar belakang keluarganyapun sampai kini tak saya ketahui, orang tuanya juga tak saya kenal.Temannya yang saya kenal adalah karena memang sudah saya kenal sebelum saya kenal dengan dia.
Bu, apakah saya korban penipuan seorang laki-laki? Tetapi kok sampai sekarang ia masih penuh perhatian dan kasih sayang, ya? Rasanya, saya tak bisa membayangkan bagaimana omongan orang bila kami putus karena seluruh kerabat saya, teman sekantor dan lingkungan tempat tinggal saya, sudah tahu bahwa saya adalah pacarnya. Apa yang harus saya perbuat Bu? Terima kasih.
Dara - Lampung
Dara sayang,
Ada orang yang saya ketahui amat baik hati, tulus, dan sukses dalam karirnya, tetapi memiliki sisi memedihkan dalam hidup pribadinya. Selama 18 tahun, bayangkan Dara, 18 tahun menjalin hubungan dengan seorang pria beristri. Hubungan itu baru berhenti, ketika si lelaki meninggal dunia mendadak karena serangan jantung. Ironisnya, ia tak bisa melihat saat-saat terakhir kekasihnya itu setelah meninggal, karena ia juga baru tahu setelah membaca iklan duka citanya di koran!
Orang ini adalah atasan pertamanya saat ia baru bekerja setamatnya dari Akademi Sekretaris. Seperti punya dua dunia, ia rapi memisahkan kebersamaannya ini dari keluarganya. Ketika adik-adiknya satu persatu menikah, ia tetap bergeming menunggu akan dikawini pacarnya. Kedua orangtuanya yang semula menentang hubungannya akhirnya menyerah, walau tetap menolak berhubungan dengan pria tersebut.
Yang saya heran, ia sabar sekali menjalani hidup tanpa kepastian ini. Pacarnya tak pernah bermalam di rumahnya, datangnya juga tanpa jadwal yang pasti dan yang lebih hebat lagi, ia juga membiayai hidupnya sendiri.
Menurutnya, di 5 tahun pertama hubungan mereka, ia percaya bahwa pacarnya memang masih berkutat dengan perkara perceraiannya. Tetapi, ketika di tahun ke 6 ternyata kekasihnya punya anak lagi, ia tahu bahwa ia tak bisa mengharap status sebagai satu-satunya istri, karena nyatanya hubungan dengan istrinya toh berlangsung terus. Ia memasuki tahap berikutnya dimana ia berharap akan ada laki-laki lain yang bisa "mengangkatnya" dari lingkaran ketidakpastian ini.
Setelah tahun ke 10, ketika semua adik-adiknya sudah punya keluarga lengkap dengan anak yang lucu-lucu, ia mengaku pasrah dan tidak berusaha lagi untuk mengharap yang lain dari apa yang ia sudah dapatkan. Ia jalani hidupnya sebagai pacar gelap, dan 'menghibur diri' dengan mengatakan, setidaknya toh baik dirinya maupun pacarnya tak pernah punya pacar yang lain. Jadi, memang benar-benar nasib saja yang tak bisa membuat mereka resmi sebagai suami-istri.
Setelah pria itu meninggal, ternyata ia tidak marah atau benci mengapa menerima saja perlakuan seperti itu. Ia cuma mengatakan, dalam keterbatasan waktu, peluang untuk tampil berdua, dan terbatas perasaan memiliki pacar secara penuh untuk dirinya, ia katakan pacar itu amat sayang padanya, penuh perhatian dan mampu membuatnya merasa beruntung mendapat cintanya.
Anda lihat ya Dara, ada tahapan yang ia lalui sampai ia tiba pada sebuah kondisi dimana ia tak melihat ada titik balik yang bisa ia jadikan awal dari kehidupan barunya, hidup tanpa pacarnya. Ia sudah amat terbiasa dengan itu!
Nah, besar harapan saya , Anda tetap memiliki keinginan untuk mengubah keadaan yang kini amat tak menguntungkan ini, dengan tidak memupus kesediaan Anda untuk berikhtiar memulai hidup baru tanpa pacar Anda.
Saya sebenarnya khawatir Anda mencampuradukkan ekspresi kasih sayang (dan kepuasan hubungan intim ) yang Anda nikmati dalam pacaran ini dengan ada atau tidaknya peluang untuk mengakhiri hubungan ini dengan sebuah perkawinan. Ketika Anda berhubungan serius dengan seorang pria, bukankah Anda berharap ini akan berakhir dengan perkawinan?
Penuh perhatian, kasih sayang, dan lihai pula di tempat tidur, bisa saja memenuhi apa yang Anda harapkan dari sebuah hubungan dengan lawan jenis Anda. Tetapi, semua yang terasa indah di kala pacaran ini tidaklah cukup untuk sampai kesebuah keputusan untuk menikah. Anda butuh laki-laki yang status perkawinannya jelas, seiman dengan Anda, dan sederet kriteria lainnya.
Ketika pada awal hubungan itu Anda inginkan untuk menjadi serius lalu terasa banyak ganjalan, seyogyanya jangan menipu diri dengan mengatakan ini bisa dibereskan sambil berjalan, sayangku. Karena, yang terjadi biasanya kita terbenam makin dalam, sehingga lama-lama terasa lebih nyaman bila kita tetap mengaburkan saja keadaan obyektif pacar dan peluangnya yang amat kecil itu untuk bisa memperisiri kita.
Bukankah kalau Anda tak yakin bahwa ia 'serius' Anda tak akan mengambil keputusan untuk melakukan hubungan intim di luar perkawinan? Belum lagi perintahnya untuk menggugurkan kandungan, dan kemudian diteruskan lagi kebiasaan yang jelas-jelas sudah melanggar aturan Tuhan. Maaf ya Dar, semua ini kan benar-benar sebuah kesia-siaan?
Orang yang tidak mengalami hal ini mungkin dengan mudah akan mengatakan 'bodoh benar sih, selidiki dulu dong statusnya, baru lebih serius lagi berhubungan' tetapi, kalau sempat menemui pria sejenis ini dan kemudian 'dididik' pula olehnya, akan terasa benar betapa pandainya ia menciptakan jerat-jerat cinta untuk perempuan yang jadi mangsanya.
Pria seperti ini, mulutnya biasanya amat fasih dalam mengeluarkan kata-kata yang paling ingin didengar perempuan, rayuannya selangit, biasanya ini dilengkapi dengan perhatian dan perlindungan yang membuat perempuan merasa sedang berlabuh di teluk yang pemandangannya indah dan ombaknya tenang. Belum lagi kalau dilengkapi dengan cerita tentang hidupnya yang begitu 'gersang' karena istri yang tak bisa memenuhi harapannya.
Sebagai perempuan, Dara, kita harus membiasakan diri untuk hidup dalam realita, sepahit apapun kenyataan itu. Lari dari kenyataan serupa dengan lari jarak jauh, melelahkan Dara , apalagi kalau itu tak memberi manfaat apa-apa bagi hidup kita.
Mempertimbangkan kelihaiannya meruntuhkan hati Anda, saya sarankan agar ada masa, paling sedikit 3 bulan, Anda putus hubungan secara total dengannya. Jangan lihat mukanya, apalagi mendengarkan pembicaraannya, termasuk teman-temannya yang Anda duga akan menjadi penghubungnya.
Masa ini pasti berat sekali bagi Anda, tetapi tak terasa menyiksa bila Anda berani menghadirkan khayalan, bagaimana kondisi Anda 3 atau 5 tahun mendatang kalau tetap bertahan dengan pola hubungan seperti sekarang.
Nah kuatkan hati dan bulatkan tekad ya. Hanya itu yang bisa membuat Anda tegar dalam membuat keputusan terpenting dalam hidup Anda. Jadikanlah pengalaman ini sebagai titik tolak untuk tidak lagi terjerumus kedalam hubungan yang seperti ini. Jangan terpaku pada ketidakperawanan Anda dulu, bila ke depan Anda bisa mempertahankan diri untuk hidup dengan keimanan yang lebih terjaga, pastilah Tuhan akan memberi Anda imbalan kebaikan juga. Semoga tekad Anda makin mantap sekarang ini. Salam sayang.
KOMENTAR