Bu Rieny yang terhormat,
Saya ibu dari 2 anak berumur 8 dan 5 tahun (ganteng-ganteng dan Anda juga cantik, RH). Mestinya saya senang dan bangga, ya, Bu, apalagi si Sulung selalu menjadi juara kelas dan kini sudah kelas 3 SD. Adiknya pandai menyanyi dan kalau ada lomba antar-TK, selalu terpilih mewakili sekolahnya, dan menang. Tetapi, makin lama saya merasa diri ini tak berharga dan emosi makin tak terkendali. Rasanya, saya makhluk paling gagal di dunia ini. Jadi istri tak berguna, jadi ibu pun tak dicintai anak-anak.
Saya akui, saya sering melampiaskan kejengkelan pada suami dengan mencubiti anak-anak dan marah-marah setiap kali mereka membuat saya kesal. Rumah tangga tak pernah saya jalani dengan damai.
Suami ringan tangan, Bu. Tak ada hari tanpa bentakan dan pukulan. Paling tidak, dorongan di bahu yang menyebabkan saya terhoyong-hoyong. Ini karena kalau menginginkan sesuatu, suami mau saya lari, tidak sekedar berjalan. Minta minumlah, makan, atau membangunkan di tengah malam, sekedar menemaninya mencuci mobil. Jam 2 malam, lo, Bu, sementara esoknya saya tetap harus bangun pagi, menyiapkan anak-anak ke sekolah. Suami melarang saya punya pembantu, karena ia anggap tidak adil kalau ia bekerja keras di kantor, sementara saya santai di rumah kalau ada pembantu yang mengerjakan semua urusan rumah tangga.
Jangan menyarankan saya untuk minta ayah atau ibu saya dan mertua menasihatinya, karena perkawinan kami sebenarnya tidak disetujui kedua belah pihak. Agama kami berbeda, saya juga lebih tua 4 tahun, sehingga keluarga meragukan kecocokan saya. Kalau dipikir-pikir, ketika saya mengiyakan ajakan suami untuk menikah, itu lebih karena saya sudah lelah hidup sebagai anak dari orang tua saya yang tak henti-hentinya ribut.
Ayah hampir tak pernah tak punya simpanan, Bu, sehingga walaupun secara materi kami berlebihan, Ibu amat menderita.
Bahkan, ada 2 adik tiri yang usianya hampir 15 tahun di bawah adik bungsu saya harus dirawat oleh Ibu, hasil hubungan gelap Ayah dengan salah satu perempuan. Saya kesal sekali pada Ibu, kenapa, kok, pasrah sekali, menerima saja apa yang dilakukan Ayah, padahal itu, kan, menginjak-injak harga diri Ibu? Saya tidak bisa berbaik-baik dengan adik tiri ini, tapi kalau Ayah tahu saya tidak ramah, Ibu lagi yang kena getahnya.
Kondisi ini tak henti-hentinya terjadi dan membuat saya benar-benar merasa ada dewa penolong waktu diajak menikah. Meski saya sebenarnya sadar bahwa keputusan saya ini berisiko tinggi. Apalagi 'bayaran'nya, karena saya juga harus berhenti bekerja, padahal karier saya sedang bagus-bagusnya. Saat itu, saya sudah menjadi wakil kepala cabang sebuah bank swasta di kota kami.
Saya tahan-tahankan penderitaan ini, Bu, bahkan kadang dengan getir saya tertawa pahit pada diri sendiri, dulu 'sok' benar mengata-ngatai Ibu yang pasrah dan sabar, sekarang nasib saya toh kurang lebih sama. Bedanya, saya dibatasi kemana-mana, dipukuli, dihardik, sementara Ibu selalu saja diselingkuhi.
Yang mendorong saya menulisi Ibu adalah percakapan di suatu malam dengan si Bungsu. Bayangkan, Bu, anak usia 5 tahun itu bertanya pada saya: "Mama sayang enggak sama Ade?" Saya katakan, Mama sayang sekali sama Abang dan Ade. Katanya kemudian: "Mama bohong, buktinya Mama selalu marah sama Ade dan Abang. Ade selalu dibilang anak nakal, anak jahat, padahal di sekolah Bu Guru bilang Ade anak baik, anak pintar. Tadi pagi Ade tanya kenapa Ade dibilang baik, tapi Mama bilang Ade jahat. Kata Bu Guru, Mama salah omong. Kata Ade, Bu Guru yang salah omong."
Melengkapi kekagetan saya, si Abang menimpali adiknya dengan mengatakan: "Mama memang tak sayang sama kita, De, buktinya kalau Abang dimarahi padahal enggak salah, Mama nggak pernah minta maaf. Kalau Abang salah, disuruh minta maaf. Abang, kan, benci sekali sama Mama, enggak ada buktinya Mama sayang sama kita, De. Mana pernah kita dicium atau didongengi kalau tidur? Padahal, teman-teman Abang kalau tidur pasti didongengi ibunya."
Saya benar-benar syok, Bu, tetapi yang membuat saya makin menyesal, waktu mendengar ini, saya, kok, ya masih bisa marah, lo, Bu? Saya bentak si Abang dan saya katakan jangan memengaruhi adiknya. Ia cuma diam, tapi matanya memelototi saya. Aduh, Bu, saya makin terhempas lagi rasanya, sudah suami tak menghargai saya, sekarang kedua anak saya berkata seperti itu. Sementara, keduanya amat sayang pada ayahnya, dan sebaliknya. Kok, saya yang mendapat 'getah'nya, ya? Kalau anak-anak nakal, kan, saya yang menanggulangi, sementara dengan suami, hubungan bisa manis terus karena mereka memang meluangkan waktu bersama untuk kegiatan rekreasi, atau sesudah belajar dan membuat PR yang selalu harus saya lalui dengan 'tegangan tinggi.'
Bahkan, baru saja saya dengar dari ibu saya bahwa si Ade pernah beberapa kali meminta ibu saya agar mengganti ibunya (maksudnya saya) dengan ibu lain yang lebih manis dan tidak pemarah. "Nenek, kan, bisa pilihkan saya Mama yang baik," katanya.
Bu Rieny, apa yang salah di diri saya? Kok, hari-hari yang saya jalani rasanya hanya menggarisbawahi kegagalan saya? Sebagai anak, sebagai istri, dan sekarang sebagai ibu. Tolong saya, ya, Bu? Terima kasih atas saran Ibu.
Devita di X
Devita sayang,
Seorang yang tak nyaman dengan dirinya sendiri pasti akan mengalami kesukaran untuk memberi kenyamanan pada orang lain, sehingga akar permasalahan Anda sebenarnya adalah karena Anda tak pernah bisa menuntaskan rasa marah, benci, dan kekesalan Anda yang bertumpuk-tumpuk. Bukan saja terhadap pernikahan dan suami, yang membuat kehidupan pribadi dan karier Anda terhenti karena perkawinan, tetapi hemat saya sejak Anda mendapati bahwa Anda dibesarkan dalam keluarga yang juga tak memberi ketenangan dan rasa aman secara psikologis.
Akibatnya, Anda tumbuh dan berkembang dalam situasi dimana Anda 'belajar' bahwa untuk tetap bisa survive dan bertahan dalam hidup ini, kita perlu mengembangkan perilaku agresif. Marah, berteriak, dan secara tak sadar barangkali juga membuat orang lain di sekitar Anda marah, agar Anda punya alasan untuk melampiaskan kejengkelan dan rasa marah yang tak pernah tuntas terselesaikan. Bahkan lebih jauh lagi, ketika bertemu (calon) suami, secara tak sadar sebenarnya Anda sedang meneruskan 'tradisi' rumah tangga Ibunda, yang Anda benci mati-matian, karena memang Anda belajar dari melihat bagaimana yang namanya rumah tangga, ya dari 'drama' perkawinan ayah dan ibu Anda.
Masalah anak-anak, menurut saya adalah rentetan berikutnya dari ketidakmampuan Anda menuntaskan masalah dengan suami, sehingga merekalah yang Anda jadikan sasaran
pelampiasan kekesalan dan kemarahan. Kalau mertua dan orang tua tak dapat dijadikan mediator, yang tersisa kini hanya Anda dan suami, bukan? Tak jelas benar untuk saya, apa yang menyebabkan ia menjadi begitu diktatornya pada Anda. Biasanya, para suami seperti ini adalah mereka yang merasa minder pada istrinya, karena ia tahu istrinya lebih pandai, lebih kaya, atau punya kelebihan lain yang membuat mereka terus-menerus berusaha membuktikan bahwa merekalah yang berkuasa di perkawinan ini. Bisa juga mereka lahir dari keluarga yang juga terbiasa berkomunikasi dengan agresivitas tinggi. Tetapi yang hampir selalu terjadi, si istri memang tak pernah 'belajar' untuk mempertahankan HAK-nya sebagai istri, sehingga terjadilah kekerasan rumah tangga yang berkepanjangan.
Selesaikanlah masalah kekerasan suami ini, berkomunikasi secara baik-baik, dan kalau tak ada pengaruhnya, mulai lebih tegas lagi. Pada langkah selanjutnya, bisa saja Anda berpikir untuk memanfaatkan Undang Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk memecahkan masalah Anda. Tentunya, ini bisa berarti mengakhiri perkawinan, ya?
Tanya pada diri, apa yang membuat suami cepat naik darah, lalu upayakan agar ini bisa Anda kontrol dengan baik. Bila ia tak punya alasan untuk memicu marahnya, tetapi tetap marah, Anda sudah harus makin serius memikirkan apakah Anda akan terus-menerus berada di dalam situasi seperti ini.
Tetapi, bila ada, meskipun cuma sedikit pernyataannya yang memuji Anda, seperti: "Gitu dong, Ma, kan, Papa jadi enggak perlu marah?" pertahankan prestasi Anda dengan melakukan hal yang ia sukai ini. Banyak istri yang disakiti suami 'tak sudi' melakukan strategi ini, karena sudah telanjur amat sakit hati. Dan ia lupa, bahwa dengan terus-menerus marah dan benci, suaminya juga akan terus tersulut untuk marah-marah, bukan? Bukan mengalah, Bu, tapi berstrategi agar suami bisa 'adem' menghadapi Anda. Makin pandai menguasai situasi yang membuatnya tak marah, rasa percaya diri untuk memiliki sesuatu yang berharga di mata suami akan makin terpupuk dan tumbuh, sehingga Anda pun akan makin terpacu untuk melakukannya. Percaya, deh, Bu.
Bila ini sudah mulai tampak, dekati terus suami, pasti peluang bicara juga makin banyak. Saya, kok, percaya, selama suami masih pulang ke rumah, pasti rumahnya masih memiliki nilai positif baginya. Ini yang perlu terus kita cari dan kita upayakan perbesar, Bu. Mudah-mudahan, tercapai kesepakatan yang lebih 'sehat" dengan suami, sehingga
masing-masing akan belajar, bagaimana sebenarnya harapan masing-masing pada pasangannya.
Bagaimana kalau saat dimana si Abang dan Ade memproklamirkan perasaannya pada Anda, justru Anda jadikan momentum perbaikan diri? Jangan buang waktu untuk menyelidiki kebenaran ekspresi mereka. Kalau anak-anak bicara seperti itu, biasanya inilah ekspresi jujur yang terasa dalam dirinya. Tentu saja Anda ingin benar mengatakan "tidak benar itu" pada mereka. Tetapi, kalau itu Anda lakukan terus-menerus, mereka akan kehilangan minat untuk menyampaikan unek-unek perasaan mereka. Dan ini akan menjadi pangkal dari masalah yang lebih besar, lo, Bu? Karena anak yang tak percaya pada ibunya, akan juga kehilangan minat berkomunikasi secara intens dengan ibunya.
Nah, jika pada saat yang sama, ayah memberi pengalaman positif pada anak, pastilah mereka akan makin terlihat akrab dengan ayahnya. Tidak ada yang salah dengan ini, tentunya, tetapi bayangkan dampaknya bagi Anda. Makin terkucil rasanya, bukan? Maka, jangan sekali-sekali menginginkan anak-anak berpihak pada Anda, tetapi berikan pula HAK anak, hak mereka untuk disayang oleh ibunya, untuk dipuji kalau mereka melakukan hal-hal yang menyenangkan hati Anda. Jangan mahal mengucapkan 'maaf' bila memang Anda khilaf. Bukankah apa yang disampaikan anak-anak menyiratkan bahwa Anda terasa tidak fair pada mereka? Guru mengatakan mereka oke, sementara ibunya selalu menekankan sisi negatif mereka.
Ubahlah cara Anda berinteraksi dengan anak-anak. Buka peluang mereka untuk memeringati Anda bila Anda terasa sedang melampiaskan kekesalan yang tak beralasan pada anak-anak. Secara sederhana, katakan: "Kalau Mama sedang marah-marah tanpa alasan, atau sedang kelihatan enggak sayang sama Abang dan Ade, ingetin Mama, dong. Mama janji, deh, enggak marah".
Penuhi 'mimpi' mereka mengenai gambaran seorang ibu yang mereka dambakan. Apa, sih, susahnya mendongeng sebelum tidur? Peluk dan sentuh mereka, karena sentuhan fisik adalah cara paling jitu untuk mentransfer perasaan kasih sayang antara ibu dan anak. Peluk dan cium anak-anak, Bu, bahkan ketika mereka terasa nakal, peluk mereka erat-erat dan katakan, "Aduh, anak yang Mama sayang ini, kok, begini, ya, bikin PR-nya? Ayo kita ulang lagi ngitungnya".
Dengan cara ini, akan timbul rasa percaya bahwa sebenarnya ibunya menerima mereka apa adanya dan tetap sayang pada mereka. Ayo, Bu, jangan putus asa dan merasa tak berharga. Yang akan memberi Anda perasaan bermanfaat dan berharga adalah respons-respons dari suami dan anak-anak, bukan? Nah, berupayalah memenangkan hati dan cinta mereka, sehingga mereka juga menjawab uluran kasih sayang dan perhatian Anda dengan cara yang sama. Saya saja senang sekali melihat foto Anda dan anak-anak yang ganteng-ganteng itu, masak sih, Anda akan membuat mereka jadi anak yang kekurangan kasih sayang dari ibunya sendiri?
Anda pasti bisa mengubah pola pengasuhan selama ini dengan mengembangkan kontrol diri yang lebih positif serta kesediaan menyalurkan perasaan-perasaan tidak nyaman dengan berorientasi pada penyelesaian masalah, bukan pada pelampiasan rasa kesal pada anak-anak Anda. Salam sayang.
***
Rilis Inclusivision Project, Honda Beri Wadah Teman Color Blind Ekspresikan Diri
KOMENTAR