Bu Rieny Yth,
Saya (30), punya 2 anak dan suami seorang perwira TNI. Kami menikah tahun 2002. Hubungan dengan kakak ipar kurang bagus dan kerap terjadi masalah. Pada awalnya perkawinan saya dan suami bahagia, sampai suatu hari sepulang kerja kakak ipar saya menyodori print out telepon rumahnya. Dari sana saya menemukan nomor yang agak sering dihubungi.
Saya jadi teringat suami pernah punya pacar sewaktu kuliah, tinggalnya di kota B. Tapi suami tidak mengaku kalau dia menghubungi mantan pacarnya tersebut. Keesokan harinya saya coba telepon nomor tersebut, dan ternyata benar itu nomor telepon bekas pacar suami saya. Menurut sang mantan, suami saya pernah telepon ke rumahnya tapi tidak bicara dengannya, melainkan dengan ibunya, dengan dalih menawarkan tanah dan silaturahmi.
Suatu hari saya mendengar pembicaraan kakak ipar dengan saudaranya. Dia bilang, suami saya masuk TNI dibiayai bekas pacarnya itu. Bahkan dikatakan, si mantan pacarnya itu pernah hamil lalu digugurkan. Serasa tersambar petir, Bu, saya pada waktu itu. Apa ya, maksud ipar saya bercerita seperti itu? Toh saya kenal suami saat dia sudah jadi Letda. Saya tidak tahu menahu dia masuk TNI karena biaya dari bekas pacarnya itu.
Saya jadi penasaran, Bu. Saya ingin tahu segalanya tentang masa lalu suami saya. Saya telepon bekas pacarnya itu, saya buat janji dan akhirnya bertemu dengannya. Saya tanya dia dari A - Z. Menurutnya, memang benar dia dulu membantu biaya suami masuk tentara. Tapi soal pernah hamil lalu digugurkan, itu tidak benar! Katanya, dia juga seorang isteri perwira TNI yang pemeriksaan virginitasnya ketat.
Meskipun begitu, kenyataan bahwa dia membantu biaya sekolah suami membuat saya merasa terbebani. Rasanya, kok, seperti bersenang - senang di atas bantuan orang lain, Bu. Bagaimana menurut Ibu? Salam.
Someone di kota B
Bu Someone yth,
Untung mantan pacar suami tidak "norak" ya? Artinya, ia bisa berdialog secara santun dan dewasa dengan Anda. Coba kalau perilaku dan tutur katanya seperti ipar-ipar Anda (maaf ya) bisa-bisa malah bersitegang leher jadinya.
Saya agak prihatin karena kok Anda justru 'sibuk' dengan isu yang sudah basi. Ya, karena menurut saya, kalau saya sudah memutuskan untuk menikah maka apa yang suami ceritakan tentang masa lalunya, akan saya dengarkan dan jadikan acuan untuk dasar tindakan meladeni dan membuatnya nyaman berinteraksi dengan saya. Selebihnya, kalau ia tidak cerita, tak akan saya tanyakan.
Ingat Bu, dengan ikatan batin yang kita bentuk atas dasar saling menghormati dan saling percaya itu, mustinya kedua belah pihak punya alasan yang baik, ketika ia memutuskan untuk tidak menceritakan apa yang tak ingin ia ceritakan kepada pasangan hidupnya. Pada kasus Anda, suami mungkin menyadari bahwa kalau Anda tahu ia pernah dibiayai, maka Anda akan mengorek-ngorek lebih dalam lagi tentang mantannya, dan ia tak suka itu.
Lagipula, yang lebih penting, Anda sebenarnya tidak ikut bertanggung jawab atas perasaan sang mantan (ikhlas atau tidak) ketika membantu suami dahulu karena peristiwanya terjadi di jaman dahulu, sebelum Anda muncul dalam kehidupan suami. Apalagi, sekarang ia juga sudah bersuami. Pastilah suaminya juga akan merasa tak nyaman kalau ia sampai mendengar bahwa istrinya pernah berkorban seperti itu untuk mantan pacarnya
Memang benar, karena perkawinan memang ikatan emosional, maka perasaan yang mewarnai apa yang kita dengar dan kita (baru) tahu tak bisa hilang, bukan? Jadi, kalau Anda merasa tak nyaman atas informasi ini, artinya Anda normal sekali sebagai individu. Yang tidak normal adalah ipar yang "jahil" karena menyampaikan berita dengan tujuan membuat Anda tidak nyaman. Normalnya, kan, sebagai ipar mustinya punya kewajiban moral untuk menjaga stabilitas emosi dari istri kakak laki-lakinya.
Ketika Anda memutuskan untuk bertatap muka dengan sang mantan, saya sebut sebagai cari masalah saja. Karena prinsipnya, yang terjadi di masa lalu, biar jadi cerita sajalah, Bu, jangan dijadikan sebab dari timbulnya perasaan-perasaan yang tidak nyaman terhadap suami.
Pertama, saya ingin mengajak Anda untuk berpikir jernih dan lebih mendalam, apa sebabnya kakak ipar menunjukkan print out telepon? Minta Anda untuk membayari pulsa interlokal suami? Kalau ini, oke saja menurut saya, apalagi kalau kondisi ekonominya memang terbatas. Tetapi kalau maksudnya mau membuat Anda tidak nyaman karena suami ternyata masih berteleponan dengan ibu si mantan? Atau, lebih dalam lagi, ia memang secara sengaja ingin membuat Anda ribut dengan suami?
Ya, pada kenyataannya memang banyak ipar yang ingin membuat rumah tangga kita terganggu. Apalagi kalau ia tak suka pada kita, lancar saja ia bercerita pada kita kelebihan-kelebihan mantan kekasih suami kita. Begitu pula jika mertua tak suka pada kita. Bahkan, ketika ada perilaku anaknya yang ia tak berkenan, mudah sekali ia mengatakan bahwa anaknya dipengaruhi, bahkan diguna-guna, oleh istrinya.
Tetapi, Bu, kalau kita melibatkan diri dalam isu "murahan" seperti ini, ya berarti kualitas kita sebagai individu juga cuma serendah kualitas mertua dong? Rugi benar kalau kita dan suami bisa dipengaruhi oleh hal-hal seperti ini. Bisa saja mereka berlaku seperti itu karena suami lalu tak bisa memperhatikan dan memberi waktu sebanyak seperti waktu bujangan dulu. Atau kalau suami adalah donatur tetapnya, mungkin setelah berkeluarga jatah kepada keluarga jadi berkurang.
Nah, ini yang perlu Anda waspadai, karena bila Anda terlalu reaktif penuh emosi, Anda akan terus dijadikannya sasaran tembak. Habis ini akan ada lagi data lain, mantan pacar yang dulu waktu SMP selalu dibonceng sepedanya, dan seterusnya. Apakah Anda akan mencarinya juga dan meminta maaf karena suami dulu sering membonceng sepedanya?
Maksud saya Bu Someone, bereaksi secara dewasa akan membuat ipar-ipar merasa bahwa Anda bukanlah sasaran empuk untuk dijadikan bulan-bulanan, apalagi kalau Anda bisa memelihara kekompakan dengan suami. Artinya, sepengetahuan suamilah reaksi yang Anda tampilkan pada ipar sehingga ia tak punya juga peluang untuk menggosok-gosok suami ketika mendapati bahwa ternyata Anda susah dikerjai.
Hal yang sama berlaku untuk cerita tentang kehamilan sang mantan. Kalaupun benar, kenapa? Perasaan jengkel tentu muncul, tetapi lebih bermanfaat, untuk kepentingan jangka panjang hubungan dengan suami, kalau kita tak berekasi terlalu cepat. Senyum dan diam saja. Jadikan info ini untuk lebih waspada, karena kalau benar, berarti perempuan adalah titik rawan suami, maka kita harus ekstra hati-hati menjaga agar suami tak kena masalah terkait dengan titik rawannya ini.
Hal lain yang perlu Anda tangani dengan cermat adalah kenyatan bahwa suami masih menelepon rumah sang mantan. Yang ini, kalau waktunya sedang nyaman, ulaslah dengan ringan. Bisa dalam bentuk pertanyaan, "Mas, bolehkah menelepon mamanya Embak X dilakukan di depan saya? Toh saya percaya Mas tak punya maksud buruk. Apalagi kalau saya lalu diperkenalkan, biar hanya lewat telepon tidak apa-apa, lain kali bisa jumpa.Tak enak kalau pulsanya mbak Y jadi bengkak karena teleponnya Mas pakai"
Bagaimana kalau ia marah? Ya berhenti saja sambil meminta maaf. Tetapi dalam kesempatan lain ungkapkan bahwa perasaan Anda tak nyaman bila ia masih menjalin hubungan dengan ibu sang mantan, karena kalau urusannya silaturahmi, mari lakukan bersama-sama. Boleh kok Bu, meminta perhatian suami pada kebutuhan kita akan rasa nyaman.
Saran terakhir saya, apapun info yang kelak datang lagi pada Anda, jangan jadikan ini sebagai pemicu ketegangan dengan suami. Pelihara terus kelacaraan dan keterbukaan komunikasi dengan suami, sehingga suami tak merasa perlu menyembunyikan apa-apa yang ingin ia lakukan karena istrinya terlihat galak, pencemburu dan banyak aturan.
Kalau boleh tambah satu lagi sarannya, tak usah lagi deh berhubungan dengan sang mantan. Biarkan ia dengan kehidupannya kini, dan Anda dengan kehidupan Anda bersama suami. Yang sudah terjadi, biar menjadi sejarah saja. Tetapi, Anda dan suami, buatlah sejarah yang manis untuk dikenang dan selalu dijadikan teladan oleh anak-anak Anda untuk sebuah perkawinan yang bahagia. Salam sayang.
KOMENTAR