Bu Rieny yang terhormat,
Saya punya problem yang sangat rumit, Bu. Dan di rubrik yang Ibu asuh ini, saya berharap Ibu dapat menolong memecahkan permasalahan saya. Saya ibu dari 2 orang anak lelaki berumur 10 dan 7 tahun. Si sulung sekarang ikut neneknya di M, sedangkan si kecil ikut saya dan suami di Jakarta. Suami adalah seorang wiraswasta (warga keturunan) dan saya adalah istri keduanya. Istri pertamanya tinggal di S.
Hubungan dengan keluarga dari istri pertama suami tidak ada masalah, Bu, termasuk dengan anak-anaknya yang semua sudah hampir seumur saya, 31 tahun. Suami sendiri kini berusia 50 tahun. Semula, keluarga kami baik-baik dan harmonis, Bu, namun sudah tiga tahun ini suami sakit dan tidak bisa lagi melakukan hubungan suami-istri. Setiap kali berhubungan, suami melakukannya dengan alat bantu. Ya, suami memang akhirnya sangat tergantung pada alat itu, Bu.
Usai berhubungan, saya selalu menangis. Sedih rasanya, Bu. Bahkan, saya menulis surat ini sambil menangis (suami sedang ke S selama sebulan). Kenapa secepat itu saya harus mengalami "nasib" seperti itu? Pernah saya bicarakan masalah ini ke bapak saya di M, dan bapak saya sampai menangis. Beliau menyuruh saya agar bersabar.
Tapi, Bu, terus-terang saya tidak tahan, dan akhirnya berselingkuh dengan seorang pria. Tapi itu saya lakukan hanya untuk kesenangan, itu pun saya lakukan siang hari sewaktu suami tidak ada di rumah. Saya tahu itu dosa, tapi saya masih butuh kehangatan, Bu.
Kini, saya punya pacar, sebut saja X. Saya kenal X setelah dikenalkan oleh seorang teman dekat saya. X adalah duda dengan anak 2 perempuan. Sudah enam bulan ini kami berhubungan (intim bahkan), dan saya juga sudah dikenalkan kepada keluarganya, termasuk ibu dan kedua anaknya. Bahkan, kami sering makan bersama (dengan anak saya juga).
Rasanya, saya ingin serius dengan X, karena dia jugalah yang sudah membimbing saya untuk salat 5 waktu. Keluarganya banyak pula yang sudah naik haji. Padahal, selama ini saya tak pernah berpikir mengenai salat, apalagi suami beda agama (Budha). Anakanak ikut agama saya.
Surat kawin yang saya miliki pun hanya dari KUA. Saya memakai wali hakim, padahal orang tua masih ada.
Pernikahan saya dan suami dulu dilakukan di S. Dari X, saya tahu bahwa yang saya lakukan dulu itu salah. X juga sudah punya rencana ke depan yang bagus, termasuk membangun rumah untuk kami tinggali. Sementara suami cuma bicara saja, tidak ada bukti. X juga menyayangi anak saya., dan sebaliknya, anak saya pun sayang pada X. Bahkan ketika si sulung mau pulang ke S, ke rumah kakeknya, ia menangis karena harus pisah dari X.
Yang ingin saya tanyakan, betulkah tindakan saya selama ini, Bu? Lalu, bagaimana dengan masalah dengan suami? Pasalnya, suami sekarang sudah mulai curiga. Saya sudah siap menerima seandainya harus berpisah dengan suami, meski ada perasaan kasihan pada suami.
X sendiri saat ini memang belum bisa menyenangkan saya, karena rumahnya saja belum laku dijual. Rencananya, rumah itu untuk modal usaha. Sekarang ia masih terikat kontrak kerja, dan tak ingin kalau nanti kami sudah menikah, ia jadi tidak punya waktu untuk keluarga. Benarkah tindakannya itu? Saya juga masih bimbang, karena X sebetulnya belum punya banyak uang, sebaliknya dengan suami yang bisa mencukupi semua keinginan saya. Tapi, di lain pihak, X banyak membimbing saya ke jalan Tuhan. Mana yang harus saya pilih?
X sendiri mengaku akan sangat senang seandainya saya mau menerima ia apa adanya sekarang, sekalipun saya keluar rumah hanya membawa baju di badan. Tapi, saya masih belum siap untuk itu, dan dia tahu itu, Bu. Anak saya kini juga rajin ke mesjid setelah melihat mamanya belajar salat. X juga merencanakan mengajak saya pergi haji kelak kalau saya sudah jadi istrinya. Tolong bantu saya, Bu, apa yang harus saya lakukan? Terima kasih.
TW di X
Bu TW yang terhormat,
Seandainya sang duda mengatakan pada Anda bahwa ia juga akan membuatkan Anda kolam renang, lapangan tenis, dan kebun binatang kecil di rumah yang kelak akan dibangunnya untuk Anda, apa yang akan Anda katakan? Besar perkiraan saya, Anda akan bilang, "Ah, Bu Rieny, ya enggak mungkin dong, kan dia bukan konglomerat atau orang kaya?" Padahal, kemungkinan sebenarnya sama saja kecilnya atau besarnya dengan apa-apa yang telah pernah ia katakan kepada Anda, bukan? Yang beli rumah-lah, berhaji-lah, semua toh masih dalam tahap berandai-andai? Kenapa "andai"nya tidak dibuat lebih tinggi lagi supaya lebih nyaman dan indah untuk dilamunkan?
Saya, kok khawatir Anda ini sedang mabuk kepayang, karena saat ini memperoleh apa yang tak bisa diberikan suami sebagai nafkah batin, yang rupanya masih menjadi kebutuhan utama Anda. Karena itulah, hubungan dengan sang duda terasa memberikan banyak sekali bunga-bunga harapan. Sekali lagi, cuma harapan, lho, Bu. Kenapa? Karena secara kenyataan, dia belum punya cukup keleluasaan untuk menjadikan Anda sebagai istrinya, terutama dari segi materi, bukan?
Saya yakin, ini juga yang menjadi faktor yang hingga kini masih menghambat Anda meninggalkan suami, karena Anda masih melihat bahwa dari sisi ini, suami lebih mampu memenuhi apa saja yang Anda mau. Saya sangat sedih membaca surat Anda, dan juga banyak teman pembaca lainnya, yang karena sedang jatuh cinta lalu menghilangkan (karena saya tak mau memakai istilah "kehilangan", yang nadanya seakan-akan kita tak sadari prosesnya) akal sehat dan logika berpikir untuk menganalisa masalah.
Apakah Anda merasa bahwa ia seorang yang soleh? Maaf ya, Bu, kalau jawabannya YA, Anda kurang tepat melakukan penilaian menyeluruh. Karena seorang pria yang soleh tak akan mau mengganggu istri orang lain, apalagi sampai bergaul demikian jauh dan intimnya! Kalau ia mengingatkan Anda untuk salat dan mengajarkan cara beragama yang benar, maka yang pertama harus ia lakukan adalah justru menjauh dari
Anda, sambil mengatakan bahwa kalau Anda sudah menyelesaikan seluruh ikatan dengan suami, dalam arti bercerai, barulah ia siap menunggu dan menikahi Anda.
Untuk pernikahan secara Islam, pejabat KUA sudah berfungsi sebagai pencatat perkawinan, Bu, sehingga Anda memang tak perlu ke Kantor Catatan Sipil lagi. Sementara kalau Anda menikah di tempat yang jauh dari tempat tinggal wali Anda, setahu saya (yang ilmunya masih sangat sedikit dalam masalah perkawinan Islam), maka wali hakim memang diizinkan.
Baiklah, kalau apa yang telah Anda lakukan selama ini Anda terima sebagai perkawinan yang cacat hukum, apakah ini lalu memberi Anda IZIN untuk berselingkuh? Tidak, bukan? Bagaimana pula dengan penjelasan ketika Anda pernah punya pacar beberapa jenak yang tampaknya Anda pacari untuk berhubungan intim? Apakah ini lalu dapat dibenarkan, karena suami sudah tak bisa menjalankan fungsinya lagi?
Melakukan ritual perkawinan secara serampangan sehingga bisa menjadikan perkawinan itu tidak sah adalah sebuah masalah, Bu. Demikian pula dengan ketidakmampuan untuk memuaskan istri dalam kehidupan seks. Tetapi, sekali lagi, ini tidaklah memberi peluang atau izin bagi Anda untuk menghalalkan apa-apa yang kemudian Anda lakukan. Di mata Tuhan, Anda tetap berzinah, mengkhianati perkawinan, dan lebih parah lagi, melibatkan pula anak-anak Anda dalam affair ini.
Saya malah membayangkan bahwa suami mungkin sudah punya sebuah firasat di hatinya bahwa ia belum patut membelikan Anda rumah, karena kesetiaan Anda sebagai istri rupanya belum cukup meyakinkannya untuk membuat ia mau mengeluarkan uang untuk membeli rumah! Sungguh Bu DW, saya tak berniat mengatur dan menyuruh Anda melakukan sesuatu. Ini adalah hidup Anda, yang menjalaninya juga Anda sendiri. Demikian pula yang menanggung konsekuensi dari perbuatan Anda, adalah Anda sendiri.
Tetapi, saran saya, buatlah sebuah keputusan awal bahwa Anda ingin menjadi perempuan yang menghormati dirinya, suami dan anak-anaknya sehingga lalu menjadi perempuan terhormat.
Berhentilah berselingkuh dan pikir serta kaji ulang lagi, betulkah Anda rela meninggalkan semua kemudahan materi yang selama ini sudah Anda peroleh? Betulkan hanya karena tak terpuaskannya kebutuhan seks Anda, membuat Anda memutuskan untuk berpisah?
Sampai titik ini, jangan muluk-muluk dulu berkeyakinan bahwa si duda akan menerima Anda. Belum tentu, lho! Maka, jangan masukkan ia dalam perhitungan ketika Anda sedang mau memutuskan akan berpisah atau tidak. Setelah itu, perdalamlah agama yang Anda anut dengan baik dan benar. Bukan melalui pacar, tetapi hadiri majelis agama yang gurunya memang berkompeten. Anda akan tahu bahwa perempuan Islam dilarang menikah dengan suami yang tidak Islam, misalnya. Pula, aturan-aturan lainnya.
Ini tak harus berarti cerai, lho Bu. Kalau Anda cinta padanya, usahakan agar ia seiman dengan Anda. Kalau kita tahu dan paham akan agama, rasa takut akan meningkat, Bu, dan kemudian bila kita diberi hidayah, akan muncul pula rasa malu pada-NYA kalau kita melanggar perintah-NYA. Di titik ini, kalau harus bercerai, jangan takut miskin, Bu. Artinya, karena selama ini suami mencukupi semua kebutuhan yang Anda mau, lalu kalau berpisah, bagaimana? Darimana bisa mendapatkan kemewahan ini lagi?
Iman dan keinginan untuk hidup sesuai aturan agama yang kita anut mestinya menjadi prioritas utama, dan bukan hal-hal yang menyangkut HARTA atau materi! Kalau sudah rajin beribadah, perkuatlah dengan keyakinan bahwa semua ini Anda lakukan bukan demi sang duda, tetapi karena Ibu memang ingin menjadi hamba Allah yang lebih baik dan lebih baik lagi. Maka, penting sekali untuk mengakhiri hubungan dengan sang duda di periode ini. Uji diri lagi, masih cinta pada suami atau tidak? Bila tidak, segeralah mengurus perceraian. Namun bila Anda masih cinta, tingkatkan kesetiaan sebagai istri disertai pengertian dan pemahaman bahwa suami juga pasti menderita karena ketidakjantanannya. Siapa tahu, toleransi Anda akan menyembuhkannya.
Mudah-mudahan Anda mau memikirkan saran saya ini dan lebih tebal lagi keyakinan dan keinginan Anda untuk menjadi lebih beriman, takut pada Allah dan berpikir panjang sebelum bertindak. Salam sayang.
KOMENTAR