Bu Rieny Yth,
Sekarang saya semakin percaya bahwa kaum perempuan selalu dirugikan bila ia menjadi istri simpanan maupun istri kedua.
Mengapa ya, Bu, untuk kasus seperti kami ini yang terkena imbasnya pasti pihak perempuan. Sedangkan laki-laki tak pernah kena risiko apa-apa, ya, Bu? Paling banyak cuma omongan, "Salah sendiri, kenapa kemana-mana kok tebar pesona!" Sementara, apapun alasannya, perempuan selalu dikatakan perusak rumah tangga orang, bahkan tega-teganya dicap sebagai pelacur, atau kata-kata kotor tentang binatang.
Aduh Bu, saya mengalami semua itu. Didatangi istri pertama, dimaki-maki di depan rumah dengan kata-kata kotor seperti itu, sampai semua tetangga tahu bahwa saya ini sebenarnya istri simpanan. Malu sekali Bu, padahal saya terpaksa sekali menjalani semua ini, karena justru suami sayalah yang 'numpang hidup' kepada saya!
Saat bertemu dengan suami (X), saya sedang dikejar-kejar banyak pria karena kata orang, saya cantik, dan selalu mencapai target dalam pekerjaan. Entah mengapa, X tak menggebu-gebu, tetapi justru paling penuh perhatian, selalu mendengarkan keluhan saya kalau terlalu lelah atau sedang marah karena dikurangajari calon pembeli.
Singkat kata, saya nyaman berada bersamanya, dan di sini salah saya Bu. Pada suatu hari saya berbuat terlalu jauh dan akhirnya hamil. Setahu saya, saat itu ia sudah pisah ranjang dengan istrinya dan akan bercerai. Perkawinan saya yang terpaksa saya lakukan,karena saya tak mau menggugurkan kandungan. Keputusan ini membuat ayah saya shock dan harus dirawat di rumah sakit.
Tetapi Bu, ternyata ketika saya hamil 8 bulan, saya ketahui istrinya melahirkan anak ketiga mereka. Berarti selama ini saya dibohongi. Dan sejak itu, suami tak pernah lagi bersikap manis pada saya. Semula ia janjikan saya berhenti bekerja, nyatanya, seluruh gaji harus ia serahkan pada istri tua, dan ia yang lebih sering tinggal bersama saya, malah menggerogoti harta yang dengan susah payah saya kumpulkan sejak masih gadis.
Akhirnya, saya harus bekerja kembali Bu, anak dititipkan ke mertua. Kami cuma kos satu kamar, karena rumah yang susah payah saya beli, sudah harus saya lepas untuk membiayai hidup waktu saya tak bekerja. Suami pencemburu berat, sehingga 5 tahun kami kawin ini, saya sudah 4 kali pindah kerja karena setiap saya sudah mulai mapan dan mendapat klien yang bagus, ia mulai rajin memukuli saya, mengata-ngatai bahwa saya memperoleh semuanya karena kegenitan saya. Sampai saya tak tahan, dan memutuskan untuk keluar dan memulai lagi merintis pekerjaan. Jadi saya cuma punya pekerjaan Bu, tidak punya karier! Wong tiap setahun sekali pindah kantor.
Selama ini, saya mencoba bertahan untuk tetap kuat menjalani hidup dengan selalu mengatakan pada diri, ini hasil dari pilihan saya sendiri. Sampai suatu hari ada seorang lelaki pemilik show room mobil kaya yang ingin menjadikan saya istri keduanya. Untungnya, di saat saya bimbang, datang tawaran untuk membuka bisnis sendiri.
Dengan memiliki bisnis, kini saya jadi pemilik, bukan pekerja lagi. Kaki ini lebih mantap menginjak bumi, karena sekarang kerja keras saya kembali dalam bentuk uang untuk saya sendiri.
Anehnya, setelah berbisnis sendiri, justru teror suami yang sebenarnya makin menggebu, jadi tak terasa berat lagi. Saya hanya makin tidak respek pada dia, tidak peduli dan malah berharap dia bosan dan pergi dari saya. Bahkan, saya sudah punya rekening yang tidak ia ketahui jumlah uangnya. Sekarang saya tak hormat lagi pada X, dan tidak peduli dia mau apa.
Kadang saya takut dosa, kok hati dan perasaan saya bisa membatu seperti ini pada suami. Saya sangat siap untuk bercerai Bu. Apakah , saya memang jahat? Matre (materialistis) sekali? Adakah peluang membuat diri saya tidak sejelek seperti yang sering dia omongkan, bahwa saya harus berterima kasih pada Allah karena dia membawa rezeki untuk saya. Sekarang saya suka berpikir, apakah saya ini gila atau bodoh, kok bisa-bisanya dahulu jatuh cinta pada laki-laki setolol itu. Jalan apa yang harus saya ambil? Terima kasih.
Datin-di X
Datin sayang,
Di seluruh pelosok bumi ini, dimana ada perempuan yang 100% rela dimadu? Melalui nilai-nilai dan norma yang mengatur kita hidup bermasyarakat, terbentuk opini untuk memberi label yang cenderung negatif pada perempuan yang secara sengaja memilih menjadi istri kedua, maupun yang sebenarnya merasa terpaksa menjadi istri kedua.
Makin negatif lagi penilaian masyarakat, kalau kelihatannya, ia juga punya motif-motif lain yang menyangkut harta dan kemapanan hidup waktu menerima status sebagai istri simpanan atau istri kedua dengan suka rela. Ia boleh saja berucap bahwa cinta tak memilih mana pria beristri atau tidak beristri, tetapi kalau suami (yang katanya tidak ia pilih, kecuali atas nama cinta) memberinya banyak "kepribadian"? Rumah pribadi yang mewah, mobil pribadi, kolam renang pribadi, dan banyak lagi pribadi-pribadi lainnya? Tidak bisa disalahkan bila lalu masyarakat punya opini, "Ya, tentu saja mau, enak sih."
Tekanan sosialnya, akan bertambah lagi kalau kemudian ia malah mengatakan, Ah, saya tak peduli apa kata orang. Ini kan hidup saya. Saya yang menjalani. Ia lupa, bahwa saat ia menjalani hidupnya, ada hati perempuan lain yang ia lukai, sedalam-dalamnya!
Bahkan, maaf ya Datin, surat Anda yang 6 lembar itu pun, tak satu kalimat pun yang menunjukan bahwa Anda pernah punya kepedulian untuk sebentar saja memikirkan, bagaimana ya perasaan istri tua X, ketika ia tahu bahwa suaminya menghamili pacarnya saat istrinya juga hamil?
Di sisi lain, ada banyak kasus yang juga saya ketahui, dimana istri muda juga menderita karena mau dimadu, juga tak kurang-kurang jumlahnya. Lebih sedih lagi kalau mendengar cerita anak yang terlahir dari istri muda yang sejenis ini. Bagaimana mereka dicemooh oleh keluarga ayahnya, sebagai anak perebut suami orang dan oleh keluarga ibunya sebagai anak dari perempuan genit, pengganggu rumah tangga orang. Bagaimana ia harus pindah sekolah karena tak tahan dicemooh kakak tirinya yang juga bersekolah di situ, atau rasa takutnya kalau ada orang berkerumun, karena teringat trauma masa kecil saat rumahnya digrebeg oleh istri tua ayahnya bersama seluruh keluarganya.Tapi, itulah hidup, Datin, apa saja yang kita lakukan, pasti akan kembali ke diri kita, lengkap dengan 'bonus'nya. Persis seperti kalau kita mendepositokan uang di bank.
Bicara salah dan benar, tidak selalu memberi solusi sayangku. Karena, apapun dalih yang Anda berikan, dengan satu pernyataan saja, Anda sudah amat mudah di knock out (KO). Waktu memulai hubungan, sudah tahu kan kalau dia pria beristri? Kok mau? Ini jelas tak memecahkan masalah Anda, bukan? Demikian pula, kalau Anda mencari jawaban, diri Anda jahat atau baik.
Dari sudut mana kita mau melihatnya? Adalah sah-sah saja kalau seseorang melindungi diri dengan meninggalkan orang lain yang selalu saja mempecundangi dirinya, merendahkannya, bahkan melakukan kekerasan fisik dan psikologis pada dirinya, bukan? Hanya saja, cara kita memroses perpisahan, tentunya juga harus cerdik, sehingga kerugian kita tak makin bertambah karenanya. Baik rugi perasaan maupun rugi material.
Kalau Anda merasa ada perubahan perasaan dan hilangnya rasa respek terhadap suami, sebenarnya ini adalah puncak atau akumulasi dari demikian banyak pengalaman tak menyenangkan yang sumbernya adalah suami sendiri.Bila dahulu, demikian banyak perasaan positip yang berhasil dikreasikannya sehingga Anda mau menikah dengannya, maka setelah wajah aslinya jauh dari citra yang dulu ia ciptakan, hemat saya, ini adalah konsekuensi yang logis dari perlakuannya yang negatif pada Anda.
Syukur, semangat Anda untuk berkarya di luar rumah tidak melemah, walau Anda sampai harus 4 kali berganti pekerjaan karena dicemburui. Dan, memang benar, bila secara ekonomis perempuan mampu menghidupi diri sendiri, ia akan cenderung merasa lebih kuat dan berani mengambil keputusan untuk mengakhiri saja perkawinan yang membuatnya malah jadi sengsara itu.
Anggaplah, bahwa ketika Anda membuat keputusan untuk menikah dengan X dahulu, Anda berada di waktu yang salah, dengan orang yang salah, sehingga keputusannya pun salah. Tetapi, tahun-tahun yang Anda lalui bersamanya dan tak pernah bisa mengoreksi kesalahan pembuatan keputusan dahulu, hemat saya sudah cukup Anda jadikan pembuktian bahwa di hadapan Anda, sebenarnya ada kehidupan yang jauh lebih cerah, bermartabat dan pastinya lebih indah, kalau Anda berhasil mematahkan belenggu cinta, yang kini malah sudah berubah jadi rantai kebodohan saja. Artinya, kalau masih mau mengikatkan diri, ya tak ada kata lain kecuali "bodoh" kan?
Anda memang cantik, kok, kalau saya lihat foto Anda, dan tampaknya keras hati juga. Nah, arahkan enerji Anda pada hal-hal yang positip. Di masa datang, waspadai diri kalau terlibat cinta lagi. Ingat, perempuan sering terperosok pada rayuan dari pria sejenis, karena kalau kita berpengalaman hidup bersama pria sulit sejenis X, seringkali secara tak sadar, Anda justru merasa tertantang ketika berjumpa pria sejenis dengan X. Nah, hati-hati dengan gejala ini. Segera jauhi suami orang, atau pria-pria benalu seperti X di masa datang. Salam sayang.
KOMENTAR