Ibu Rieny Hassan yth,
Saya adalah seorang istri dari suami yang terkena HIV, belum AIDS, ya, Bu. Sebelum suami memutuskan untuk menikah dengan saya, dia menceritakan tentang penyakitnya. Dipaparkannya mengenai penyebabnya, akibatnya, dan apa yang dia lakukan sekarang untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya. Saat itu saya hanya menangis dan bertanya kepada Allah, '"Mengapa saya?" Saya tahu penyakit itu menular dan belum bisa disembuhkan dan juga belum ada obatnya.
Malam seusai mendengar pengakuannya, saya banyak merenung dan melakukan salat malam. Setelah saya mendapatkan ketenangan, akhirnya saya menemukan jawabannya. Kenapa Allah memilih saya? Karena Allah percaya kepada saya, dan saya pasti bisa menghadapi semuanya. Dan saya juga percaya Allah tidak akan memberikan cobaan yang melebihi kemampuan umatnya. Setelah itu saya hanya berucap bismillahirrohmanirrohim, dan saya mulai menjalani semua ini dengan ikhlas.
Mulai saat itu saya mulai mempelajari seputar HIV dan AIDS. Termasuk mempelajari apa yang harus dilakukan oleh pengidap penyakit tersebut. Saya setiap bulan selalu ikut konsultasi ke dokter, karena suami saya harus mengonsumsi obat seumur hidupnya. Selain itu, saya juga harus bisa menjaga perasaannya, menyenangkan hatinya, dan selalu memberikan semangat. Suami adalah seorang karyawan swasta yang bekerja di lapangan. Dia adalah suami yang bertanggung jawab, perhatian, sayang, dan tidak pernah bicara keras atau kasar kepada saya.
Alhamdulillah perkembangan suami saya sampai sekarang semakin membaik. Walau kami harus punya anak. Tapi balik lagi ke atas, Allah pasti punya rencana yang lebih baik untuk saya dan suami. Allah memberikan hal yang negatif, tapi Allah juga pasti memberikan hal-hal yang positif.
Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih kepada Ibu, karena setiap tulisan Ibu pasti menambah wawasan dan pengetahuan saya untuk selalu berpikir positif. Semoga saya bisa menjadi istri dan perempuan yang bahagia dan tahan banting (amin, amin, RH).
R -Jakarta Timur
R sayang,
Terima kasih atas suratnya, walau ini adalah juga seperti surat yang dijawab minggu lalu, respons terhadap tulisan saya tentang perempuan tahan banting, saya ingin surat ini juga sampai ke pembaca NOVA lainnya. Mengapa? Karena dalam surat dengan tata bahasa sederhana serta singkat ini, tersirat ketabahan serta ketulusan seorang perempuan muda yang tahu benar apa yang sedang ia jalani sebagai konsekuensi dari pilihan yang ia buat, yaitu menikahi seorang penderita HIV.
Keterusterangan adalah awal yang paling baik untuk memulai sebuah hubungan yang permanen, seperti halnya perkawinan. Hal ini merupakan pertanda adanya keterbukaan yang merupakan acuan utama pembentuk TRUST atau rasa saling percaya antara suami dan istri. Ketika keterbukaan ini berpadu dengan cinta, maka hasilnya adalah penerimaan atas sisi kelebihan maupun kekurangan pasangan kita. Dari sinilah datangnya kesediaan untuk menghargai perbedaan diantara keduanya, dan bukannya justru menumbuhkan keinginan untuk mengubah pasangan seperti apa yang kita inginkan.
Cinta adalah unsur perekat ketika muncul konflik dan ketidaksepahaman. Cinta pula yang membuat kita selalu berpikir, kontribusi apa yang bisa kita berikan untuk memberikan rasa nyaman pada pasangan, terutama ketika kita berada bersama-sama dengannya. Inilah yang menghilangkan kecenderungan untuk menuntut saja dari pasangan kita tanpa ada kesediaan untuk memulai memberinya rasa nyaman.
Banyak individu yang menganggap bahwa pasangan hidupnya harus memberinya kenyamanan, tanpa merasa bahwa ini adalah sebuah proses yang berlangsung interaktif sehingga oke-oke saja kalau ia yang mengambil inisiatif untuk memulai. Rasa nyaman yang diciptakan istri inilah sebenarnya yang menjadi semacam magnet bagi suami, sehingga ketika ia berada di luar rumah untuk bekerja atau urusan lainnya, ia selalu punya keinginan untuk cepat pulang karena tak ada tempat yang lebih nyaman dibanding rumahnya, dan disana, ada istri yang selalu berusaha membuatnya nyaman.
Hal berikut yang juga penting adalah penguasaan keterampilan untuk berumahtangga. Perkawinan yang bahagia dan harmonis bukanlah hadiah yang jatuh dari langit, tetapi merupakan hasil dari upaya berkesinambungan untuk menambah skill & knowledge, ketrampilan dan pengetahuan. R aktif mendampingi suami ke dokter, belajar tentang apa itu HIV, dan apa pula sebbanya ia belum bisa hamil. Karena tahu manfaat pemakaian obat secara teratur dan displin, istripun bisa menjadi sosok yang membantu suami untuk memastikan jadwal minum obatnya berjalan baik.
Tak bisa tidak, perempuan hanya akan jadi istri yang bijaksana bila ia punya cukup ilmu, dan ini artinya kita tak pernah boleh berhenti belajar tentang kehidupan dengan segala dimensinya.
Bayangkan kalau suami menyembunyikan fakta bahwa ia sakit. Bukankah saat rahasianya terbuka, istri bisa merasa sakit hati bahkan dibohongi dan bukan tidak mungkin, lalu merasa bahwa ia dijebloskan dalam sebuah hubungan dengan seorang 'sakit'?
Marilah kita belajar dari pengalaman R bahwa dalam kondisi apapun, bahkan ketika mendampingi suami yang punya penyakit tak ada obatnya sekalipun, peluang kita untuk bahagia tetap terbuka. Asal saja, sekali lagi asal saja, sejak awal perkawinan kita sudah terbiasa untuk saling membuka diri, jujur, menghormati perbedaan antar kita dan menjadikannya dasar penerimaan kita atas apa saja yang lekat dengan keberadaan suami atau istri kita.
R sayang, terimalah salam hormat dan kekaguman saya atas ketabahan Anda menjalani konsekuensi dari pilihan Anda menikahi suami. Saya orang Jawa yang sejak kecil terbiasa mendengar nenek, bude, dan kerabat saya mengatakan: "Gusti Allah ora nate sare," Tuhan tidak pernah tidur, ketika mereka sedang menghibur kekecewaan saya, maupun mengingatkan untuk selalu berbuat kebaikan di saat saya bandel sebagai anak-anak. Itu pula yang ingin saya sampaikan pada Anda, karenanya yakinilah bahwa segala upaya positif yang Anda lakukan untuk suami pasti berbuah manis nantinya, karena Tuhan pasti melihat apa saja yang dilakukan oleh hambaNya dan memberi imbalan berlipat ganda .
Untuk saya, Andalah contoh konkret perempuan yang tahan banting, dan (mudah-mudahan) bahagia menjalani hidup Anda. Mudah-mudahan surat singkat Anda memberi pencerahan juga bagi pembaca lainnya, seperti halnya yang terjadi pada diri saya ketika membaca surat Anda. Jangan lupa menyurati saya lagi, ya, di masa datang.
KOMENTAR