Suami-suami takut istri bukan hanya ada di tayangan televisi saja. Mereka juga ada di sekitar kita, lho! Atau, malah pasangan Anda salah satunya? Ketahui ciri-cirinya, dan pastikan Anda bukan istri yang super dominan!
Tak ada lagi roman kebahagiaan membuncah di hati Dhanu setiap melihat perempuan bernama Irma yang sudah dinikahinya selama 10 tahun. Jangankan untuk menghampiri sekadar bertanya kabar, berpandangan mata pun rasanya malas minta ampun.
Bagi Dhanu, Irma sudah berubah menjadi sosok menakutkan, penuh ketegangan, dan diracuni kecurigaan berlebihan. Sementara, Irma yang menyadari suaminya semakin menjauh, semakin yakin Dhanu menyembunyikan sesuatu. "Mungkin ia berselingkuh," bisik hati kecil Irma. Ancang-ancang yang diambil, Irma memperlakukan Dhanu seakan-akan tawanan yang ditekan dari segala arah.
Ilustrasi di atas mengkategorikan Irma seorang istri dominan dan Dhanu menjalankan peran submisif. Inilah yang dinamakan fenomena suami takut istri, yang pada cerita komedi digambarkan, istri membentak dan menjewer suami, karena membantu tetangga yang (kebetulan) lebih seksi daripada istrinya.
Sayangnya, kisah itu ternyata bukanlah komedi belaka. Secara jamak, malah sering terjadi di sekitar kita. Lantas bagaimana mengatasinya? Lalu seperti apa ciri-ciri dari pasangan yang lebih dominan?
Siklus Keluarga
Ternyata, menurut Luciana I. Tangkilisan MAC, konselor hubungan keluarga, dalam diri setiap manusia pada dasarnya terdapat keinginan untuk mendominasi yang lainnya. "Tetapi, kenapa tidak semua orang bisa menguasai orang lain? Semua kembali kepada pribadi yang lebih kuat. Dialah yang akan menguasai," ujarnya.
Contoh sederhananya, ketika sekelompok manusia dikumpulkan dalam sebuah ruangan, akan muncul satu sosok pemimpin. Inilah salah satu kemampuan yang dimiliki oleh orang yang dominan. "Sama halnya dengan hukum rimba, selalu ada yang kuat dan yang lemah," ucapnya.
Zaman dulu, mungkin sangat jarang menemukan perempuan dominan dalam sebuah hubungan. Biasanya, prialah yang memegang kendali. Seiring perkembangan zaman, saat ini makin banyak perempuan yang justru berkembang lebih dominan dan menekan pasangannya. "Seringkali ini terjadi karena memang kepribadiannya dominan," ucap Luci.
Faktor lainnya adalah keluarga, dimana seorang anak akan meniru pola bagaimana lingkungannya bertindak. "Misalnya ibunya dominan, anak akan mengikuti siklus ini dan meneladani sang ibu yang menguasai ayah dan anak-anaknya," tambahnya.
Biasanya perilaku dominan ini dijalankan sehari-hari. Misalnya, dengan memaksakan kehendak tanpa mempedulikan kepentingan dan keinginan orang lain. Ibaratnya, tinggal menunggu ketika ia menikah dan dominasi pun akan dilakukan kembali.
Penghasilan Lebih Besar
Penyebab lain timbulnya dominasi istri adalah penghasilan material yang lebih besar ketimbang suami. "Seringkali banyak wanita tak siap ketika ini terjadi, sehingga istri merasa lebih super daripada suami," ucap Luci.
Ini terjadi bukan tanpa alasan, misalnya sistem patriarki yang berat sebelah dan membuat pria lebih dominan daripada perempuan. "Wanita kemudian menyadari, mereka harus setara agar tidak dilecehkan," imbuh Luci. Sehingga ketika suami kalah dari segi materi, istri menganggap suami tak lebih pandai dari dirinya.
Tak masalah bila perempuan ingin maju, tapi jangan sampai tidak menghargai suami. "Orang yang dominan tak punya batas, padahal batas adalah kunci relasi yang sehat," lanjut Luci.
Jangan sampai terkontaminasi pemikiran, harta nomor satu adalah uang dan benda mewah. Pemikiran ini lalu diduga ikut serta mempengaruhi istri menjadi sosok yang dominan. Luci pun lalu menegaskan, "Sukses finansial bukanlah segalanya."
Nah, solusinya mudah saja. Tanyakan kembali kepada diri, kualitas apa yang dimiliki suami sehingga Anda memutuskan menikahinya. Mungkin dari segi finansial suami kalah. Tapi, dari segi lainnya, suami mempunyai aspek positif lain yang tak dipunyai istri, contohnya, pengetahuannya lebih luas.
Sebaiknya, manfaatkan saja kelebihan yang dimiliki suami dan letakkan nilai yang benar dalam pernikahan, otomatis istri akan lebih menghargai suami.
Astrid Isnawati
KOMENTAR