Ibu Rieny Yth,
Saya, 35 tahun, bercerai sekitar empat tahun lalu. Saya memutuskan berpisah karena mantan suami punya kebiasaan marah-marah, bahkan memukul. Bicaranya pun selalu membual dan tak segan berbohong untuk mendapat pujian orang lain. Ilmu yang dipakainya, "biar tekor asal kesohor". Dia pun selalu merasa benar dan kerap menjelekkan orang lain, agar dirinya kelihatan hebat.
Setelah bercerai, putri saya yang saat bercerai masih balita, diputuskan pengadilan jatuh di bawah pengasuhan dia. Saya sedih karena proses pengadilan berlangsung tidak adil, hanya karena saya tak punya saksi dan bukti. Lagipula, semua orang yang tadinya tampak berpihak pada saya, saat sidang ternyata beralih membela dia, karena pintarnya dia memutar balikkan fakta.
Seorang kakak iparnya yang setiap kali kami ribut selalu jadi penengah, tak juga membantu saya dengan menceritakan fakta yang ada. Apalagi, adik-adiknya yang selalu saya bantu biaya pendidikannya, bahkan saya belikan motor, semua justru berbalik membenci saya.
Tadinya saya pikir, biarlah putri saya ikut bapaknya, toh saya masih bisa bertemu dengannya, seperti halnya kebanyakan orang bercerai. Tapi, tidak demikian kenyataannya Bu, mantan suami berusaha memisahkan saya dengan putri saya. Bahkan, dia menyebarkan cerita kepada orang lain, sayalah yang bersalah dan tak benar. Buktinya, hak pengasuhan anak saja jatuh padanya.
Yang lebih menyakitkan lagi, ternyata putri saya dititipkan ke orangtua ipar saya, yang suaminya (adik mantan suami) memang tak pernah cocok dengan saya. Mereka benar-benar orang asing buat anak saya, kan, Bu? Saya tak keberatan mantan suami kini sudah menikah lagi, tapi jika dia sibuk dengan anak barunya, mengapa anak saya tak dikembalikan saja kepada saya?
Dalam hati saya sering bertanya, ke mana "keluarga" mantan suami yang dulu selalu saya bantu? Rasanya hati ini jadi tak ikhlas bila melihat kenyataan mereka tak peduli keberadaan putri saya dan perasaan putri saya. Di mana hati nurani mereka? Biar bagaimana pun, putri saya juga keponakan dan cucu yang masih darah daging mereka. Tapi, mereka justru membiarkannya jauh dan berada dalam perawatan orang lain yang tak ada hubungan keluarga. Saya sendiri kesulitan menemuinya.
Saya pun selalu membatin, apakah mantan suami tak berperasaan sedikit pun untuk memahami apa yang dirasakan putri saya. Sebagai bapak yang baik, seharusnya dia berusaha mendidik dan menyayangi putrinya, bukan menjauhkannya dari ibu kandungnya sendiri, setelah dia punya bayi lagi.
Saya takut putri saya semakin tertekan perasaannya, Bu. Mungkinkah putri saya akan menyalahkan dirinya sendiri? Sebab, yang saya baca, anak korban perceraian kadang kala merasa dia jadi penyebab perpisahan orangtuanya. Apalagi, kenyataannya dia dipisahkan dari ibunya dan dibuang pula oleh bapaknya. Saya heran setiap memikirkan mantan suami. Jika dia tak mampu merawat putrinya, kenapa tak terpikir untuk mengembalikannya saja kepada ibunya. Seburuk-buruknya saya di mata dia, tak mungkin saya menyia-nyiakan anak sendiri, seperti yang dia lakukan saat ini.
Kejadian yang lebih menyakitkan, terjadi saat libur sekolah lalu. Saya berusaha menghubungi mantan suami agar bisa bertemu putri saya, seperti janjinya. Begitu saya telepon, yang menjawab kebetulan putri saya. Senang sekali saya bisa mendengar suaranya, tapi baru sebentar bicara, telepon langsung diputus mantan suami. Sampai kini saya sulit menghubunginya lagi.
Saya kasihan pada putri saya, Bu. Apa yang harus saya lakukan? Saya khawatir dengan perkembangan jiwanya, apalagi sekarang putri saya jauh di sana. Saya ingin dia bersama saya lagi, tapi saya merasa semua jalan tertutup bagi saya. Tolonglah beri saya saran, Bu! Saya selalu berdoa, semoga Allah membukakan pintu hati mantan suami, agar dia mau mengembalikan putri saya ke pelukan saya. Dia boleh membenci saya tapi tolong, jangan buang anak saya, kembalikanlah pada saya. Terima kasih.
L di B
Bu L Yth,
Saya pernah menangani satu program out bound untuk siswa-siswa SD berusia 10 tahunan. Sebagai psikolog, masalah perceraian tentu tak jauh dari keseharian saya sehingga rasanya itu bukan benda asing. Namun, ketika anak-anak ini bisa bercerita tentang bagaimana perasaan mereka, yang terpaksa hidup dengan ayah atau ibunya saja karena perceraian, saya amat terperangah oleh dua kenyataan yang saya hadapi.
Pertama, peserta yang diasuh orangtua tunggal, jumlahnya mencapai 35 persen dari keseluruhan anak yang ada. Bukankah ini berarti angka perceraian di sekitar kita memang tinggi? Kedua, penghayatan anak-anak ini terhadap masalah yang mereka alami, bukan main! Mereka bisa menceritakannya seakan mereka sudah berumur 20 tahun lebih tua dari usianya! Seorang teman saya, psikolog muda, sampai tak bisa menahan emosi berada dalam diskusi ini.
Kami yang ada di sana saat itu lalu sepakat, salah besar bila kita mengira anak "hanya" merasa mereka turut berkontribusi terhadap perceraian orangtuanya. Reaksi memang bisa amat berbeda dari satu anak dengan lainnya. Akan tetapi, ternyata mereka menyerap begitu banyak hal, bertanya-tanya tentang apa yang mereka lihat, dan rasakan tanpa tahu rujukan apalagi yang bisa dipakai untuk menjelaskannya.
Bertanya? Yang ada di dekatnya adalah ayah atau ibu, yang kebanyakan terlalu sedih atau malah terlalu marah untuk bisa memberi penjelasan yang obyektif. Jadilah anak sebagai pelampiasan kekesalan, lalu mengucapkan kalimat yang sudah sangat dihafal anak-anak ini, seperti "Masih belum cukup ya, Mama susah karena Papa kamu? Sekolah saja yang benar, urusan orangtua jangan dicampuri!" atau "Coba tidak ada kamu yang terlahir dari perkawinan ini, beban Mama tak akan seberat sekarang. Harus membesarkan kamu, menyekolahkan kamu, mana ayahmu sibuk dengan istri barunya lagi!"
Bagaimana tampilan mereka? Allah memang Maha Baik. Justru anak yang "kenyang" dipukuli ayahnya yang hampir selalu naik pitam bila melihat atau bercakap dengannya, karena wajahnya yang mirip ibunya, tampil peka dan peduli pada lingkungannya. Perilakunya diwarnai keinginan agar orang lain suka padanya, suka menolong, dan friendly. Rupanya dia lakukan ini untuk mendapatkan senyum, ucapan terima kasih, dan elusan sayang dari orang-orang yang lebih tua, yang semuanya tak dia dapat dari ayahnya yang kejam dan ibunya yang lari entah ke mana. Sebagian besar adalah anak yang mudah cemas, selalu butuh dorongan untuk menyelesaikan penugasan, dan sensitifitas emosinya tinggi.
Yang ingin saya sampaikan pada Anda, para pasangan yang bercerai, lebih banyak yang belum mampu atau malah tak mau menyelesaikan dampak emosional dari pertikaiannya dengan pasangannya dan tak kunjung menyelesaikan penyebab konflik, yang mengakibatkan mereka akhirnya bercerai. Karena itulah hubungannya tak pernah membaik, sehingga ada saja pihak yang lalu senang bila melihat mantan pasangannya menderita, sehingga dia melarang anak-anaknya berhubungan dengan mantannya. Jadilah anak sebagai senjata untuk membuat mantannya sedih, merasa terasing dari anaknya sendiri, dan tak punya akses untuk berhubungan.
Padahal, perpisahan itu sendiri, ketika ayah dan ibu bercerai, sudah merupakan beban berat bagi seorang anak. Apalagi jika masih ditambah pesan-pesan negatif penuh permusuhan yang ditiupkan dengan tujuan menjauhkan anak dari mantannya. Rasa bingung, karena di satu sisi anak cinta tapi, kok, harus membenci ayah atau ibunya, ditambah kesepian dan rindu karena tak boleh bertemu. Apalagi jika kemudian ada pernikahan kedua. Semua beban ini masih ditambah lagi dengan penyesuaian diri dengan ayah atau ibu baru dan saudara tiri.
Saya ingin sekali mengingatkan para orangtua yang membaca rubrik ini, bila Anda punya niat bercerai, cobalah bayangkan, bagaimana jika yang saya ceritakan ini terjadi pada anak Anda. Semoga saja, ini bisa membuat kita selalu berpikir ulang dan membuang ego jauh-jauh saat menghadapi masalah, sehingga sebesar apapun konflik rumah tangga yang dihadapi, tetap ada solusinya.
Suami Anda jelas menghalangi peluang Anda bertemu dengan anak, untuk membuat Anda tak nyaman. Tapi, saya ingin benar mengingatkan Anda, tambahkanlah kesediaan Anda dengan berpeluh-peluh dan berurai air mata untuk mengusahakan peluang bertemu anak. Jangan merasa gengsi bila harus memohon pada suami atau mencoba berhubungan dengan nenek-kakeknya yang kini mengasuh anak.
Coba terus dengan gigih, upayakan agar Anda selalu punya informasi tentang anak Anda, demikian pula agar anak Anda selalu tahu, Anda menyayanginya dan selalu memikirkannya. Ini akan membuatnya lebih kuat secara psikologis, karena dia lalu berkeyakinan, somewhere ibunya ada dan selalu merindukan dia.
Jangan marah karena mereka yang pernah Anda beri ini-itu kok, kini tak membalas budi. Bukankah dulu Anda ikhlas memberinya? Kini pun, keikhlasan itu harusnya tetap terpelihara. Dengan demikian, Anda bisa lebih merasa tak tertekan saat datang ke adik ipar, menjajagi kemungkinan bertemu dengan anak, dengan bantuan para ipar lain. Dekati juga mantan mertua, walau Anda marah pada anaknya, melalui mereka ada peluang bagi Anda untuk terhubung dengan anak, bukan?
Bila Anda konsisten dengan ini, masak sih, tak ada satu pun keluarga mantan yang tergerak hatinya membantu Anda? Sejalan dengan bergulirnya waktu, anakpun akan lebih berdaya untuk mencoba bertemu dengan Anda. Lagi-lagi, biarlah dia tahu bagaimana cara dia bisa menghubungi atau mencari Anda. Melambai saat dia pulang sekolah, masih bisa Anda lakukan, bukan? Jika semua langkah tak bisa membuahkan hasil, Anda boleh mulai memikirkan untuk mengadu ke KOMNAS ANAK. Paling tidak, Anda bisa mencari tahu, upaya hukum apa yang bisa ditempuh untuk merintis hubungan dengan anak. Jangan pakai motto, "Anak pasti akan mencari ibunya" karena dampak psikologis dari perceraian harusnya tetap dikendalikan agar tak penuh muatan emosi yang negatif.
Sikap proaktif tanpa marah-marah adalah sikap yang paling sesuai. Bila pada awalnya ayahnya menyebalkan, jangan ladeni. Bila Anda marah, memang itu yang dia inginkan. Tetap fokus pada tujuan Anda, yaitu akses terhadap anak, kendalikan emosi saat Anda menghubunginya. Dan jangan berhenti hanya karena ditolak. Mudah-mudahan sikap positif disertai kegigihan, akan membuat mantan suami mulai berpikir lebih jernih.
Jika Anda mau tetap mengingat, betapa berharganya nilai kehadiran Anda dalam kehidupan emosi anak, saya yakin Anda tak akan pernah lelah berikhtiar. Percaya deh, Bu, investasi Anda dalam berupaya ini amat berharga bagi bertumbuhnya perasaan tenang, aman, dan nyaman karena anak dicintai ibunya. Dengan memiliki ini semua, semoga anak Anda akan tumbuh dan berkembang dengan satu landasan keyakinan, meskipun orangtuanya berpisah, kasih sayang dari Anda tak pernah terputus, hanya karena secara fisik Anda tak bersamanya. Salam hangat.
KOMENTAR