Namun, jika anak memilih mainan di luar tradisi, sudah seharusnya orangtua tak memaksakan kehendaknya. Sekalipun orangtua memilah permainan yang dilarang dan tidak, alam bawah sadar dan pengaruh lingkungan sang anak dengan sendirinya akan memiliki pengaruh lebih kuat.
Jika selama ini, sudah terbentuk pandangan mengenai pilihan mainan bagi anak, menurut Mitha, ini disebabkan, lagi-lagi, oleh pengaruh budaya, "Yang salah bukan pada mainan yang tak sesuai dengan gender sang anak, tapi lebih kepada apakah anak paham identitas seksualnya atau tidak," tegas Mitha.
Pengaruh budaya tadilah yang akhirnya mempengaruhi pandangan orangtua, seandainya anaknya bermain dengan mainan yang dianggap tak sesuai jenis kelaminnya. "Orangtua khawatir jika perilakunya berubah. Tapi yang harus diperhatikan justru bagaimana anak mengetahui identitas seksualnya."
Nah, agar tak salah kaprah, langkah yang harus dilakukan justru dengan mengenalkan segala jenis permainan kepada anak. "Tak mengapa anak lelaki bermain boneka, masak-masakan, dan lainnya atau anak perempuan bermain bola dan panjat pohon. Itu berguna untuk kehidupan mereka di saat dewasa kelak," jelas Mitha.
Jadi, tak ada salahnya anak perempuan bersikap tangguh, semata-mata sebagai perlindungan diri. Dan anak lelaki memiliki keahlian memasak, karena suatu hari kemampuan ini akan berguna, misalnya ketika ia mulai hidup mandiri.
Astrid Isnawati
Foto: Agus Dwianto/NOVA
KOMENTAR