KEMAMPUAN AKADEMISNYA RENDAH
Karena ayah lebih menjadi figur identifikasi bagi anak lelaki, maka ketiadaan ayah akan berdampak lebih besar pada anak lelaki ketimbang anak perempuan. Meski sebetulnya anak lelaki bisa saja beridentifikasi pada sifat-sifat ayah dari ibu, namun, seperti sudah dipaparkan di muka oleh psikolog Rahmitha P. Soendjojo, hasilnya bisa berbeda bila sifat-sifat lelaki diberikan oleh sosok yang an sich memang lelaki.
Tapi bukan berarti si Buyung nantinya akan bersifat kewanitaan atau menjadikannya homoseksual. Sebab, terang Zamralita, untuk sampai pada terjadinya penyimpangan seksual biasanya lebih dikarenakan ada sesuatu dalam dirinya, seperti bawaan dari lahir dan kemudian ada trigger-nya atau pencetusnya.
Jadi, tak usah khawatir si Buyung kelak akan mengarah ke sana hanya karena ketiadaan figur ayah. Toh, masih ada ibu yang bisa mengajarkan sifat-sifat lelaki kepadanya. Apalagi dari banyak penelitian, lebih sering ditemukan pengaruhnya pada perkembangan kognitif anak lelaki. "Anak lelaki yang tumbuh dalam bimbingan ayahnya akan mendapat pencapaian akademis tinggi dan keterampilan matematika yang lebih baik dibanding anak lelaki tanpa ayah," tutur Zamralita.
Selain itu, dari penelitian terhadap jenis kelamin orang tua tunggal karena salah satunya meninggal atau berpisah, ditemukan bahwa anak lelaki yang diasuh oleh ayahnya akan tampak lebih mandiri, ceria, punya rasa percaya diri tinggi dan lebih matang. Bagi anak perempuan, ketiadaan ayah membuatnya kehilangan sifat-sifat ayah, karena sifat-sifat tersebut tak akan diperolehnya dari figur ibu.
Tapi dampaknya tak terlalu besar, karena umumnya anak perempuan tak menjadikan ayah sebagai model identifikasinya. Jadi, tak akan membuat si Upik sampai mencari-cari figur ayah atau malah membenci dan penyimpangan perilaku lainnya. Ketiadaan ayah juga tak berdampak pada kemampuan akademis si Upik, tapi lebih pada masalah sosialisasinya dengan lawan jenis. "Bila ketiadaan ayah karena meninggal, biasanya di masa remaja nanti ia akan menjadi sosok pencemas, mudah gelisah dan tak nyaman bila berada di antara teman lelakinya. Tapi bila karena bercerai, ia cenderung bersikap tak tegas terhadap pria di usia remajanya," tutur Zamralita.
Umumnya, ketiadaan ayah karena meninggal akan sangat berbeda pengaruhnya dibanding karena bercerai. Bila ayah meninggal, biasanya anak akan mengenang hal-hal yang indah dan menyenangkan bersama ayah. Tapi bila disebabkan perceraian, biasanya berdampak buruk karena akan banyak hal negatif yang dikenang anak. Bukankah biasanya sumber perceraian adalah ketidakcocokan?
Nah, hal inilah yang sulit disembunyikan orang tua dari anak, sehingga akan menciptakan iklim tak menyenangkan atau tak baik bagi perkembangan anak. Misalnya, ibu sering menangis atau ayah jarang pulang. Padahal anak usia ini perlu belajar kasih sayang, rasa aman, percaya diri, dan berani dari lingkungan rumah yang nyaman. Pendeknya, ketiadaan ayah, entah karena meninggal atau bercerai, mengakibatkan ada sesuatu yang kosong atau hilang pada diri anak.
Ibaratnya, ada ruang kosong dalam kepribadian anak, baik anak lelaki maupun perempuan. Karena, jarang sekali ibu dapat dengan sempurna berperan ganda. Itulah mengapa para ahli kerap menganjurkan, harus dicari figur substitusi yang dapat menggantikan peran ayah, seperti kakek atau paman. Bagaimana bila ayah ada namun tak berperan? Misal, ayah sangat sibuk sehingga tak ada waktu untuk anak. "Tetap akan berdampak psikologis pada anak," ujar Zamralita, "karena keterlibatan emosi bagi anak sangatlah penting; akan timbul keraguan pada anak dan ia pun pasti akan komplain. Misalnya, 'Kok, Ayah nggak pernah ajak aku jalan-jalan, sih?'," lanjutnya.
BERMAIN
Nah, semakin paham, kan, Pak? Tentunya peran ayah bagi anak usia ini tak hanya sebatas tokoh identifikasi. Sebagaimana di usia-usia sebelumnya, ayah pun ikut berperan untuk mengembangkan aspek-aspek perkembangan lainnya pada anak. Hanya bedanya, bagaimana cara ayah menjalankan perannya tersebut akan "diambil", terutama oleh anak lelaki.
Dalam perkembangan motorik, misalnya, ayah biasanya mengajak anak perempuan melakukan permainan yang bersifat netral semisal main kartu. Tapi dengan anak lelaki, biasanya dalam bentuk fisik, seperti main bola atau mengajaknya melakukan suatu bentuk pekerjaan yang umumnya dianggap sebagai pekerjaan lelaki, seperti membetulkan mobil. "Umumnya, ayah tak membedakan antara anak lelaki dan perempuan," ujar Zamralita. "Hanya pada anak lelaki, ayah biasanya mengarahkan agar memiliki sifat-sifat berani seperti tegas, tak pengecut, tak pemalu, harus mempertahankan apa yang benar, tanggung jawab, dan sebagainya," lanjutnya.
Jadi, bila si Buyung menangis gara-gara berkelahi, misalnya, ayah biasanya akan menanyakan duduk persoalannya dan si Buyung pun diajarkan untuk tak boleh cengeng, serta harus berbaikan lagi dengan temannya. "Pada anak perempuan sebetulnya juga sama. Cuma bentuk pengarahan dan cara penyampaiannya berbeda. Misal, anak perempuan berkelahi, biasanya lebih secara verbal bentuk agresinya.
Nah, ayah mengarahkan atau melarang anaknya berkelahi, berlaku atau berucap kasar." Selain itu, ayah juga turut mengarahkan dengan siapa si Upik dan Buyung boleh bermain. Bukan dalam arti membeda- bedakan teman, lo, tapi ayah harus tahu persis lingkungan pergaulan anaknya. Bukankah teman turut mempengaruhi pula perkembangan emosi dan moral anak nantinya? "Nah, biasanya ayah lebih tegas dalam hal ini dibanding ibu." Pendeknya, tandas Zamralita, banyak hal dalam perkembangan anak dimana ayah dapat terlibat, terutama dengan kegiatan anak.
Permainan merupakan salah satu caranya. "Banyak sekali bentuk dan variasi permainan yang dapat dilakukan ayah bersama anak usia ini." Lewat bermain, selain kemampuan anak dirangsang, juga akan menciptakan kedekatan anak dan ayah. "Anak akan merasa, ayah menyediakan waktu baginya. Ini tentunya akan berdampak positif bagi hubungan anak dan ayah." Itulah mengapa, Zamralita minta, ayah harus berespons positif dalam bermain atau menanggapi ajakan anak.
"Umumnya anak usia ini masih banyak bergerak. Ada kesenangan tersendiri dengan melakukan banyak kegiatan. Apalagi jika kegiatan tersebut dilakukan bersama orang tua." Jadi, Pak, jangan beralasan capek atau sibuk, ya, kalau diajak main oleh si kecil. Bisa-bisa Anda nanti dijauhi si kecil dan akhirnya tak dijadikan tokoh identifikasi, lo.
Julie/Dedeh Kurniasih/nakita
KOMENTAR