Tentu ayah dan ibu harus bekerja sama. Kemudian, delegasikan secara rinci tugas ini pada pengasuh anak. Misalnya, jangan hanya menyuruh pengasuhnya mengajak anak main, tapi terangkan juga mainnya seperti apa; bahwa saat main sama anak, kalau memang ia harus kalah, ya, harus kalah. "Jadi, pengasuhnya jangan mengalah melulu hanya gara-gara agar anak tak menangis."
Selanjutnya yang harus dilakukan orang tua ialah mengajarkan bagaimana cara mengatasi rasa kalah. "Orang tua wajib memberikan pengalaman pada anak, termasuk pengalaman untuk kalah." Caranya harus konkrit operasional. Artinya, harus betul-betul kelihatan, terasa, dan teraba oleh anak. Cara yang paling bagus adalah membudayakan anak bersosialisasi dengan teman-temannya. "Kala bermain dengan teman-temannya, pasti ada saat teman-temannya merebut mainannya atau ia merebut mainan temannya. Mungkin ia akan menangis pada awalnya, tapi lama-kelamaan anak akan belajar bagaimana untuk survive dalam perebutan itu."
Saat anak menangis karena kekalahannya itu, saat itulah sebaiknya orang tua masuk, "Sekarang Kakak kalah dulu, ya. Kalau nanti tanding lagi, mungkin Kakak akan menang." Kemudian saat ia menang, kasih tahu, ini namanya menang, "Senang, kan, rasanya? Kalau mau menang memang harus ada usaha."
DIBERI MOTIVASI
Walaupun keinginan untuk selalu the best atau unggul bisa berdampak terhadap proses sosialisasi, namun tak selalu berarti jelek. Sebab, tutur Rose Mini, dengan adanya keinginan tersebut berarti anak punya semangat untuk fight. Yang penting, orang tua jangan lupa untuk mengajarinya rasa kalah dan bagaimana cara mengatasi kalau ia sedang kalah. Karena tak jarang, anak yang mengalami kekalahan akan hilang semangat tandingnya.
"Kadang anak kurang semangat juang kalau tak didorong, lo. Terlebih lagi pada anak yang biasa disediakan segala fasilitas dari orang tuanya." Bila tak ada pompaan motivasi pada dirinya, mau kalah atau menang, ia akan tenang-tenang saja. Bukankah kalau segala sesuatunya sudah terpenuhi, untuk apa lagi ia fight? Jadi, tandas Rose Mini, "orang tua harus terus memberinya motivasi dan dorongan semangat untuk fight."
Umumnya anak kalau menghadapi kekalahan dengan menangis atau marah. Misalnya, ia marah dan hasil gambarnya lantas dirobek-robek, katakan, "Sayang gambarnya dirobek, jadi enggak bisa dilihat lagi. Walaupun gambarnya enggak menang, tapi, kan, bisa Ibu tempel di rumah." Jadi, jangan malah dimarahi kalau anak kalah bertanding, karena sebenarnya yang terpenting dalam pertandingan bukanlah kemenangannya.
"Kalah pun harus mendapat penghargaan. Bahwa dia berhasil menahan kekalahannya itu justru harus dihargai. Jadi, jangan kalau menang saja ia disebut 'Anak Mama'." Jikapun orang tua ingin memberikan punishment, caranya mesti bijaksana. "Punishment yang diterapkan sebaiknya berupa konsekuensi. Kalau ia tak berusaha dengan keras, maka kekalahanlah konsekuensinya." Misalnya, "Kakak tadi larinya enggak kencang, sih. Kalau Kakak larinya kencang, bisa cepat sampai finish." J
adi, mengatakan bahwa kekalahannya itu logis karena tak ada usaha, sebenarnya sudah merupakan punishment buatnya. Bahkan, tangis dan rasa sedih anak karena kekalahannya saja sudah merupakan punishment bagi anak. "Yang penting, saat ia sedih, kita bangkitkan kembali semangatnya. Jadi, jangan lantas malah dimarahi karena akan tambah memperkecil hatinya; ia makin kurang percaya diri nantinya." Tapi bila dalam kekalahannya itu kita berkata, "Mungkin gambar mereka lebih bagus, ya, Dik, sehingga menang. Tapi gambar Adik bagus, kok, buat Mama. Yuk, kita pajang di rumah!" Dengan demikian anak tahu bahwa rewards-nya ada juga, yaitu dengan orang tua menghargai gambarnya.
Akhirnya, Rose Mini menyarankan orang tua agar mendorong anak untuk rajin ikut lomba, entah lomba menggambar, lari, atau kegiatan lainnya. Meski dalam lomba tersebut ia tak menang, tak apa-apa. Karena yang dicari bukan menangnya saja, tapi proses untuk mengetahui bagaimana rasanya ikut lomba, bagaimana ia harus memenuhi waktu yang tersedia.
Indah Mulatsih/nakita
KOMENTAR