Jika mau ditelusuri, kata Henny lebih lanjut, kekerasan yang dilakukan seseorang, ujungnya pasti memang ada sesuatu yang terjadi pada saat kecil. Misalnya, anak pernah dianiaya atau ia yang menganiaya. Jika penganiayaan yang dilakukan anak, entah kepada orang, hewan, atau pengrusakan kepada benda mati tak mendapatkan respon seimbang, artinya tak ada reaksi negatif terhadap tindakan tersebut dan dibiarkan begitu rupa, "maka ketika dewasa, apapun akan ia lakukan untuk mencapai pemenuhan keinginannya, entah dengan cara halus atau kasar."
Memang, diakui Henny, ada anak yang memiliki turunan gen menjadi orang yang keras atau agresif. "Tapi tentu kita nggak bisa semata-mata menyalahkan gen, karena kita, kan, makhluk sosial dan berbudaya yang memang harus banyak belajar." Jadi, tandasnya, separah apapun gen, selama masih ada kontrol dari lingkungan dan masih bisa menerima masukan seawal mungkin dari yang lain-lain sesuai norma-norma yang ada, maka suatu tindakan bisa terbentuk menjadi lebih baik. "Anak seorang penjahat, kan, nggak selalu menjadi penjahat juga.
Faktor lingkungan berpengaruh besar, tak semata-mata oleh gen." Henny juga tak sependapat bila dikatakan perilaku menyakiti binatang menunjukkan tingkat keberanian anak. "Kalau tujuannya iseng, cuma untuk menyakiti, itu, kan, artinya jahat. Jadi, kalau tak ada tujuannya, untuk apa dilakukan?" ujarnya. Setiap orang, tambahnya, dalam melakukan sesuatu harus ada tujuannya dan harus bisa dipertanggungjawabkan. "Jadi, harus dilihat juga untuk apa tindakan itu dilakukan," tandasnya.
SEGERA PERINGATI
Jadi, Bu-Pak, bila melihat ada potensi anak untuk mengganggu orang lain, merusak lingkungan, membahayakan makhluk di luar dirinya, atau bahkan membahayakan dirinya sendiri, harus secepatnya dilakukan tindak pencegahan atau peringatan. Tapi bukan berarti kita selalu bilang jangan pada anak, karena akan membuat anak tak bisa bebas berkembang. "Jadi, kita antisipasi sajaKalau memang kelihatannya menuju ke arah yang berbahaya, buru-buru kita kasih peringatan," ujar Henny.
Malah kalau diarahkan, perilaku ini bisa ada gunanya, lo. Misalnya, anak suka menarik-tarik kaki kucing. Nah, katakanlah, "Eh, kucingnya kesakitan, lo. Nah, daripada ditarik-tarik, lebih baik Ade hitung kaki kucing ada berapa." Dengan begitu, anak belajar berhitung. Tapi kalau dibiarkan, selain kucingnya menderita, anak juga tak mendapatkan apa-apa; malah di dalam dirinya sedang ada "kerusakan" yang terjadi. Henny menegaskan, lebih baik mencegah daripada mengobati. "Seawal mungkin anak sudah harus belajar bahwa lingkungan adalah bagian dari dirinya dan ia harus bersahabat dengan lingkungan."
Adapun yang dimaksud lingkungan, selain binatang, juga termasuk tanaman dan manusia. Dengan begitu, anak akan belajar bahwa kalau ia menyakiti lingkungan berarti ia akan menyakiti dirinya sendiri, karena ia adalah bagian dari lingkungan. Bila memang sudah terlambat diketahui, secepat mungkin anak harus diperingatkan dan diberi tahu bahwa tindakannya itu menyakitkan, tak baik, jelek sekali dan memalukan. "Jadi aspek-aspek negatif perlu ditekankan agar tindakan itu berhenti, dengan penekanan bahwa tindakan itu memang nggak ada gunanya," kata Henny.
Jangan malah orang tua merasa bangga, "Wah, anak Mama berani, ya," karena anak akan terus melakukannya. Tapi kalau sudah kelewat parah, saran Henny, bawalah anak ke ahlinya. Takutnya, ada sesuatu yang dialami anak. Misalnya, ada dendam, sakit hati yang tak bisa ia lampiaskan kepada orang lain. Misalnya, anak jengkel pada orang tua, tapi karena kosa katanya terbatas dan ia tak bisa "menyerang" orang tua, akhirnya binatanglah yang jadi kompensasinya. Perlu diketahui, tutur Henny, sejak di kandungan, anak sudah bisa merasakan sakit hati atau kecewa.
"Mungkin saat di kandungan ia merasakan apa yang dirasakan ibunya, tapi setelah lahir, ia juga belajar. Makin disayang, ia akan secara emosi lebih matang dan lebih stabil." Tapi bila ia melihat dan mengenali bahwa jarang ada orang yang menyentuh, menyapa, memeluk atau mencium, limpahan kasih sayang sangat langka, maka pada suatu saat anak akan merasa tak ada artinya. "Sehingga saking bingungnya, ia akan melampiaskannya ke mana-mana, bukan cuma ke binatang. Ia bisa melakukan tindakan apapun yang kadang-kadang enggak kita duga."
Orang tua, saran Henny, sebaiknya juga introspeksi, apa yang sudah dilakukan dan diucapkan. "Tindakan-tindakan menyakiti anak secara verbal, misalnya, mungkin saja akan diturunkan anak ke orang lain atau benda yang tak kita prediksikan sebelumnya," tuturnya. Misalnya, tanaman atau malah temannya. "Karena tak ada binatang di sekitarnya, maka temannyalah yang akan jadi korbannya." Namun begitu, orang tua tak bisa serta merta melarang anak. Orang tua harus lihat dulu frekuensi dan tujuannya. Misalnya, dengan menanyakan, "Kamu lagi apa, Sayang?" Jadi, lihat dulu, apakah dia memang sedang main-main ataukah disengaja.
Selanjutnya, perhatikan tempatnya, apakah saat itu memang waktunya anak bermain untuk mengeksplorasi, atau memang karena saking tak ada kegiatan lain dan semua waktunya ia habiskan di situ. "Bisa saja itu dilakukan anak karena ia tak punya teman atau orang untuk bercerita, sementara orang tua tak memperhatikan." Nah, ini juga harus diperhatikan. Jangan sampai orang tua serta merta bilang, "Jangan, jangan!" Selain bilang "jangan", orang tua juga harus melakukan tindakan lain yang memang ada gunanya. Caranya ialah mengalihkan proses penganiayaan tersebut dengan kesibukan lain. Contohnya, menghitung kaki kucing tadi. "Jadi, ada pelajaran lain yang memang berguna bagi anak."
AJARKAN MENYAYANGI BINATANG
Anak batita, tutur Henny lebih lanjut, sebetulnya sudah bisa dilatih untuk menyayangi binatang. Salah satu caranya adalah memperkenalkan jenis binatang pada anak. Misalnya, dengan mengajak anak ke kebun binatang atau taman safari. "Orang tua juga bisa memperkenalkan dengan memelihara binatang tertentu yang memang tak menyakiti. Misalnya, anjing kecil yang jinak. Kita ajarkan bahwa binatang ini jinak dan bisa menjadi sahabat."
Kalau memang sulit untuk pergi ke kebun binatang/taman safari ataupun memelihara binatang tertentu, maka bisa dilakukan dengan dengan melihat buku bergambar. "Kita ceritakan nama dan kebiasaan binatang yang ada di buku tersebut." Dengan memperkenalkan anak pada binatang, maka anak akan merasa bahwa ia tak hidup hanya dengan orang tua, tapi juga hidup bersama makhluk-makhluk Tuhan lain. Cara di atas juga bisa meredusir perilaku keras anak pada binatang.
"Makin kita sayang pada suatu benda, makin berpikir ulang kita untuk menyakitinya. Logikanya, kalau kita senang pada baju tertentu, tentu kita tak akan merobek-robeknya, kan?" Pada prinsipnya, tekan Henny, buatlah anak merasa bahwa semua itu merupakan bagian dari dirinya juga. Dengan demikian ia pun nantinya akan mencintai makhluk-makhluk itu juga.
Hasto Prianggoro/nakita
KOMENTAR