Enggak apa-apa, kok. Tak ada salahnya kita turuti, asalkan positif. Tapi kalau berlebihan, harus diarahkan. Kalau tidak, ia bisa menjadi seorang yang egois.
Bapak dan Ibu pasti mengalami yang satu ini, si kecil mendadak berubah menjadi seorang "bos". Misalnya, melarang kita mandi sepulang kantor dan harus membacakannya cerita lebih dulu. Tentu dengan gaya kanak-kanaknya yang lucu dan menggemaskan, "Mama jangan mandi dulu, ya. Bacain cerita dulu, ya," sambil menyodorkan sebuah buku bergambar. Atau, menyuruh memakai baju tertentu kala kita usai mandi, menyuruh minum obat kala sakit, bahkan "menegur" kala kita melakukan kesalahan. Misalnya, "Ayah, tasnya taruh di meja," ketika melihat sang ayah meletakkan tas kerjanya di sembarang tempat.
Pendeknya, si kecil mulai mengatur segala tindakan kita, melarang dan menyuruh kita melakukan segala sesuatu. Tak jarang, kita dibuat kesal oleh "perintah-perintah"nya tapi sekaligus juga merasa lucu. Caranya "memerintah" itu, lo, yang kerap bikin kita sulit menahan senyum, kendatipun hati kesal. Namun tak urung, kita suka terbawa emosi juga dan bersikap keras, terlebih kala ia mulai "memerintah" di saat kita tengah lelah atau sedang terburu-buru. Iya, kan!
USIA BELAJAR
Perilaku mengatur, ujar Dra. Dewi Mariana Thaib, biasanya mulai muncul di usia 2 tahun. "Jadi, merupakan sesuatu yang wajar." Artinya, memang sudah menjadi bagian dari perkembangan anak usia batita. Sebab, usia batita merupakan masa perubahan dari bayi ke anak sehingga banyak yang terjadi pada anak. Misalnya, tubuh yang mulai membesar, keterampilan bertambah, dan perbendaharaan kata yang semakin banyak. "Di usia ini anak juga mulai banyak belajar, sehingga kemudian muncullah sifat membantah," lanjut psikolog Yayasan Mutiara Indonesia dan RS Bunda ini.
Misalnya, anak mulai mencoba, "Kalau aku bilang enggak pada apa yang Mama katakan, apa yang akan terjadi, ya?" Disamping, ego anak juga mulai muncul; ia sedang ingin menunjukkan siapa dirinya. "Anak juga sudah memiliki hak otonomi seperti, ingin mandi sendiri, tak mau dimandikan lagi, ingin pakai baju kesukaannya, dan sebagainya." Jadi, anak mulai berinisiatif, mulai belajar mengungkapkan keinginannya pada orang lain. Salah satunya dengan mengatur, entah mengatur orang tua, pengasuh, maupun temannya saat bermain. Namun perilaku mengatur tak akan hilang, melainkan berkembang terus seiring perkembangan usia anak. Untuk itu, anak harus diarahkan. "Kalau dibiarkan, akan bisa terbentuk menjadi perilaku sampai anak dewasa." Artinya, si kecil akan berkembang menjadi orang yang suka mengatur-atur.
ASAL POSITIF
Orang tua, saran Dewi, sebaiknya tak menghentikan ataupun bersikap terlalu keras saat anak mulai mengatur. "Kalau anak mulai berinisiatif dan kita potong, maka anak akan menarik diri. Akhirnya spontanitas itu lama-lama akan hilang," terangnya. Prinsipnya, selama tak mengganggu, anak mengatur nggak masalah, kok. Malah ia bisa belajar menjadi pemimpin, karena ia jadi punya keberanian untuk berinisiatif. "Nggak apa-apa, kan, kalau orang tua mengalah mengikuti aturan anak.Apalagi jika dengan mengikuti apa yang dimaui anak, tingkah lakunya bisa lebih manis," lanjut Dewi.
Jadi, selama yang dilakukan anak adalah hal-hal positif, masih bisa diterima oleh akal sehat, ya, tak apa-apa. Lain halnya bila anak meminta hal-hal yang tak biasa, orang tua tak perlu mengikuti aturannya itu. Kita bisa bilang, misalnya, "Bunda capek, Sayang. Lagian sekarang, kan, sudah malam. Kita tidur, yuk." Tapi jangan beri pengarahan yang bertele-tele, karena justru akan terjadi dialog yang tak penting.
CARI PERHATIAN
Yang perlu diwaspadai, lanjut Dewi, bila anak mengatur karena kurang perhatian. "Anak usia ini, kan, ingin selalu diperhatikan dan biasanya mencari perhatian." Misalnya, begitu ayah atau ibunya pulang kantor, ia langsung bertingkah macam-macam; melarang ibunya mandilah, melarang ayahnya makanlah, dan sebagainya. Secara emosi, terang Dewi, anak usia batita memang sedang labil. Misalnya, anak selalu dicium setiap kali sang ibu berangkat ke kantor. Nah, jika sekali waktu ia tak dicium oleh ibunya, misalnya, karena si ibu terburu-buru, ia akan bertanya-tanya, "Kenapa, sih, Mama enggak mencium aku? Jangan-jangan sudah enggak sayang." Jadi, "anak di usia ini memang sangat sensitif."
Disamping itu, bisa juga karena figur yang diidolakan tak ada di rumah. Misalnya, sang ibu sibuk bekerja. Jadilah ia mencari perhatian dengan cara mengatur agar orang yang ia idolakan tetap ada di sampingnya. "Anak juga bisa bersikap mengatur karena meniru," tambah Dewi. Anak melihat model. Misalnya, anak melihat ibu atau orang di sekitarnya bersikap mengatur pada orang lain. Akhirnya, anak pun akan bersikap sama. "Anak itu, kan, polos. Kita yang mengukir ia mau menjadi seperti apa."
ADA MODEL LAIN
Begitu pula bila anak mengatur teman bermainnya, tak jadi soal selama positif. Tapi kalau mengaturnya berlebihan, misalnya, anak selalu ingin menaiki sepeda kepunyaan temannya tanpa memberi kesempatan si pemilik untuk naik, "orang tua harus memberi pengarahan," ujar Dewi. Misalnya, dengan menekankan bahwa selama sepeda itu bukan miliknya, ia tak boleh bersikap seperti itu.
"Sebaliknya, kalau sepeda itu miliknya, anak juga harus memberi kesempatan kepada anak lain untuk mencoba naik sepedanya." Jadi, orang tua bisa memberi pengertian anak. Tentu saja dengan bahasa anak, kenapa ia tak boleh berlaku seperti itu. "Orang tua harus membuat rambu-rambu bagi anak, mana yang boleh dan tak boleh dilakukan." Kalau tidak, anak akan menjadi tak tahu aturan. Misalnya, main perintah kepada setiap orang, sopan ataupun tidak. Disamping, kalau anak dibiarkan dan selalu diikuti apa maunya, maka ia bisa menjadi seorang yang egois. Namun pengertian saja tak cukup. "Anak juga butuh melihat figur atau model lain yang sebaya. Anak dilibatkan dengan banyak anak yang seusianya. Misalnya, dengan memasukkan anak ke play group. Dengan begitu, anak bisa belajar dari lingkungan." Jadi kalau ia selalu mengatur temannya, kita bisa bilang,
"Kalau Ade selalu mengatur begitu, nanti teman-teman enggak suka sama Ade, lo." Pentingnya model lain yang sebaya, terang Dewi, karena anak belum bisa berpikir abstrak. Misalnya, kita bilang burung gagak itu warnanya hitam tapi anak tak pernah melihat seperti apa itu burung gagak, maka ia tak akan tahu. Lain hal kalau burung gagaknya ditunjukkan, ia akan tahu. Yang juga penting, jangan lupa memberi reward saat anak berbuat positif. "Banyak orang tua yang hanya bereaksi saat anak berbuat salah. Padahal seharusnya dibalik, bereaksilah saat anak berbuat positif karena anak akan mengulangnya," tutur Dewi.
TOLERANSI ORANG TUA
Dewi juga menganjurkan agar orang tua tak lupa untuk berdialog dengan anak. "Dalam kondisi apapun, entah anak lagi senang atau susah, orang tua harus mengajari anak bagaimana cara berkomunikasi yang baik. Jadi, anak belajar mengungkapkan perasaannya." Ini juga merupakan kunci supaya anak memiliki sikap yang baik. "Bukankah semakin usia bertambah, permasalahan akan semakin besar? Jadi, kalau sejak kecil enggak kita latih, akhirnya anak akan melakukan itu di lingkungan sosialnya."
Misalnya, karena sedang capek, ibu lantas marah dan memukul ketika anak terlalu mengatur. Anak akan belajar, oh, begitulah caranya. Maka, ketika temannya enggak menurut, dipukullah si teman. "Jangan lupa, nalarnya belum jalan. Karena itu dalam membuat aturan, orang tua harus konsekuen. Semakin besar, nalar anak akan semakin berkembang." Orang tua juga harus introspeksi, apakah kebutuhan anak sudah terpenuhi, apakah pola asuh yang mereka berikan pada anak sudah betul, apakah mereka sudah konsekuen.
"Tentunya juga, apakah mereka sudah berkomunikasi dengan baik pada anak. Dalam arti, anak sudah bisa mengutarakan isi hatinya tanpa rasa takut, baik waktu susah atau gembira." Misalnya, anak bikin salah, ia harus berani bilang. "Ini yang sehat," ujar Dewi. Untuk itu, lanjut Dewi, dibutuhkan toleransi orang tua. Orang tua harus tegas tapi juga luwes, jangan terlalu longgar dan jangan terlalu keras.
"Kadang, toleransi orang tua untuk melihat perubahan kurang besar. Akhirnya orang tua merasa, kok, ini anak menggurui saya. Padahal kalau mau sedikit mengalah, anak akan berkembang menjadi pribadi yang baik. Pengarahan yang baik akan membawa anak ke arah kematangan." Jadi, tandas Dewi, kuncinya ialah pengarahan, kesabaran dan toleransi orang tua dalam menghadapi perubahan ke arah kematangan anak. Lagi pula, "aturan anak, kan, enggak berlebihan. Kecuali memang kondisi kita lelah, nggak ada salahnya meluangkan waktu untuk anak." Nah, sudah enggak kesal lagi, kan, dengan aturan si kecil?
Hasto Prianggoro / nakita
KOMENTAR