Tak jarang kita dibuat terperangah oleh tingkah si kecil. Salah satunya ialah "bermain sulap". Tapi, tak setiap anak harus melalui fase ini. Mengapa ?
Ria (1,5) tengah bermain balok dengan ibunya. Tiba-tiba Ria berseru, "Ma, ilang!", sambil tangan kirinya yang memegang sebuah balok disembunyikan di balik badannya sementara tangan kanannya diacungkan ke arah sang ibu dengan telapak tangan membuka. Ibunya dengan wajah bingung yang dibuat-buat pun menanggapi, "Nah, lo, hilang. Di mana, ya, baloknya?" Sambil tertawa girang, Ria segera mengacungkan tangan kirinya yang tadi disembunyikan dan memperlihatkan balok tersebut, "Nih!"
Buah hati Anda mungkin juga pernah "bermain sulap". Entah dengan menyembunyikan tangannya yang memegang sesuatu benda ke balik badannya atau menyembunyikan benda tersebut di balik selimut, bantal, koran, dan sebagainya. Tentu si kecil bukan tengah bermain sulap sungguhan, karena atraksinya itu memang tak bisa dikategorikan sebagai permainan sulap. Lantas, apa sebenarnya yang sedang terjadi pada si kecil?
ASPEK-ASPEK KOGNITIF
Menurut Yohana Ratrin H., Psi., hal ini berkaitan dengan perkembangan kognitif anak. Umumnya, sejak usia 2 tahun aspek-aspek kognitif anak mulai berkembang. "Anak sudah mampu memahami bahwa sesuatu benda tetap eksis atau ada walaupun tak ada di hadapannya," terang psikolog dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini. Biasanya pemahaman tersebut sudah dimulai sejak usia 18 bulan. Kemudian, "fungsi-fungsi simbolik pada tahapan usia ini biasanya juga sudah mulai muncul," lanjut Jo, panggilan akrabnya.
Jadi, anak sudah dapat mengeksplorasi hal-hal yang ada di sekitarnya menjadi simbol dari apa yang ia inginkan dan rasakan. Misalnya, bolpen meja yang memiliki tali menjadi pesawat telepon atau balok menjadi handphone dan sebagainya. "Mereka mencoba mengembangkan segala benda yang ada di sekitarnya menjadi simbol tertentu." Selain itu, "anak juga tengah berada dalam fase berimajinasi," tambah Jo.
Nah, bila ia sudah bisa menangkap pemahaman tentang benda-benda di sekitarnya, maka ia akan mencoba mengkreasikannya ke dalam ide-ide yang mengejutkan. Salah satunya adalah "bermain sulap". Tentunya, sejak awal anak sudah dirangsang untuk berkreasi atau ada stimulus untuk berkreasi. Anak dikenalkan dengan segala macam benda sederhana yang ada sehari-hari di rumah dan diberi kesempatan melakukan permainan, sehingga ia bebas mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya.
"Rangsangan-rangsangan semacam ini akhirnya akan membuat anak terbiasa mengkrerasikan ide, termasuk 'main sulap'." Hal lain ialah proses modeling atau belajar melalui imitasi (peniruan), yang biasanya mulai muncul di usia 1,5 atau 2 tahun. Misalnya, si kecil pernah menyaksikan permainan sulap dari TV atau orang yang terdekat dengannya. "Nah, hal itu terekam cukup kuat di benaknya sehingga ia merasa asyik dengan dunia itu." Apalagi dengan "bermain sulap", "ia mendapatkan kebanggaan karena bisa membuat orang terkaget-kaget." Permainan ciluk-ba juga bisa menjadi awal dari terbentuknya "permainan sulap". "Tapi biasanya tetap diawali dengan anak pernah melihat benda hilang, terkejut, dan ia senang, sehingga akhirnya ia pun memunculkan atraksi tersebut
"Biasanya sudah bisa muncul di usia 1,5 tahun. Karena bukankah pada usia itu, object permanent atau ketetapan benda sudah benar-benar terbentuk pada anak?
RESPON POSITIF
Respon orang tua sangat berperan kala anak menunjukkan atraksinya tersebut. Sebab, terang Jo, pada tahapan usia ini anak ingin menunjukkan bahwa ia bisa melakukan sesuatu. Misalnya, dengan nada terkaget-kaget orang tua menanyakan keberadaan benda tersebut, "Di mana, ya?" Respon demikian, menurut Jo, sangat positif bagi anak dan sangat berpengaruh pada pembentukan dirinya. "Anak akan merasa eksistensinya diakui, merasa mampu." Respon positif ini juga merupakan sebuah penghargaan bagi anak.
"Ia akan merasa bangga dan nyaman untuk mengekspresikan ide-idenya. Ia akan merasa berhasil membuat suatu yang positif dan termotivasi untuk lebih berkreasi," lanjutnya. Sebaliknya, jika orang tua selalu menghentikan imajinasi anak, maka kreativitas anak akan terbatasi. Padahal, bermain adalah dunia anak. "Dari bermain, anak mempelajari hal- hal yang baru. Kalau dibatasi, kreativitasnya pun akan terbatasi. Ia akan cenderung menjadi takut untuk melakukan sesuatu yang menurut dia menyenangkan," terang Jo.
KOMENTAR