"Ade, jangan! Nanti tumpah," teriak seorang ibu kepada putrinya yang berusia 2 tahun, kala kedua tangan si anak yang memegang piring berisi kue terlihat bergerak seperti hendak menumpahkan kue tersebut. Namun teriakan sang ibu kalah cepat dengan gerakan tangan si anak. Belum habis kata-kata sang ibu, kue tersebut sudah berpindah tempat ke lantai. Marahlah sang ibu kepada putrinya, "Kan, Ibu sudah bilang, jangan numpahin makanan. Dasar bandel!"
Tapi, benarkah si kecil bandel lantaran menumpahkan makanan? Tidak! Sebagaimana perilaku "bandel" lainnya seperti melempar sesuatu, memukul, menendang dan sebagainya, maka menumpahkan makanan juga kerap dijumpai pada anak usia batita. "Ini memang merupakan suatu proses perkembangan, terutama perkembangan motorik kasarnya," terang Dra. Zahrasari Lukita Dewi atau Aya. Disamping, lanjut psikolog dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta ini, usia batita juga masa-masanya anak sedang bereksplorasi, "Anak sedang dalam proses belajar dari apa pun yang dia lakukan."
BUKAN NIAT ANAK
Sejak usia setahun, tutur Aya, perilaku yang demikian sudah ada pada anak. "Mungkin anak ingin melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan orang tuanya. Karena anak, kan, memang suka meniru." Misalnya, mengambil makanan. "Tapi karena gerakannya masih kasar dan belum luwes, maka akan tumpah-tumpah."
Contoh lain, anak melihat ibunya membereskan/merapikan meja. Nah, ia pun ingin melakukannya. Tapi yang namanya anak, kan, belum tahu bagaimana caranya. Ia pun tak pernah berpikir bagaimana caranya karena pola pikirnya memang belum sampai. Akibatnya, ia asal menarik taplak sehingga menjatuhkan barang-barang di atasnya.
Selain itu, anak juga lagi senang-senangnya mengulang-ulang perilaku tertentu. Misalnya, dia mengambil makanan dengan sendok tapi tiba-tiba makanannya berhamburan karena hentakan tangannya. "Nah, kejadian ini membuat anak merasa senang, sehingga dia akan mengulang kembali tingkah laku tersebut sampai ia tahu mana yang benar dan salah."
Jadi, awalnya bermula dari ketidaksengajaan tapi ternyata si anak merasa senang, sehingga ia pun mengulanginya lagi. Karena ia melihat hubungan dari apa yang dilakukannya. Misalnya, kalau sendok dia jatuhkan, maka efeknya akan menimbulkan bunyi tertentu. "Biasanya anak usia di bawah setahun lebih senang akan bunyi tersebut. Sedangkan anak usia batita sudah mulai melihat konteknya dalam kehidupan sehari-hari, seperti saat makan atau mandi." Misalnya, anak mengisi air di gayung lalu ditumpahkan. "Bukan bunyi yang ditimbulkannya yang ia suka tapi bahwa ia mencoba gerakan itu yang disukainya sehingga ia tahu apa yang diakibatkannya."
Sebenarnya, lanjut Aya, anak ingin bermain. Apa pun itu, entah makanan, kertas, tisu atau apa saja, bisa jadi mainan. Karena di usia ini rasa ingin tahunya besar dan ia sedang dalam belajar. Jadi, tandasnya, memang bukan niatnya anak menumpahkan makanan. "Jarang sekali anak yang sengaja menumpahkan makanan atau menjatuhkan dan melempar sesuatu. Karena orang tua pun tak ada yang mencontohkan seperti itu. Kecuali mungkin si anak sedang dalam keadaan marah."
Tapi bisa juga anak berperilaku demikian lantaran ingin orang tuanya memperhatikan. Misalnya, orang tua sedang asyik membaca buku atau menonton TV, tiba-tiba anak menumpahkan makanan atau melemparkan mainan dan sebagainya. "Tapi hal ini sifatnya kasuistik. Si anak pun berperilaku begitu bukan berarti dia kurang perhatian dari orang tua. Mungkin pada saat itu anak memang sedang ingin mengajak orang tua bermain atau diperhatikan." Nah, dengan berperilaku demikian, setidaknya ada reaksi dari orang tua atau perhatiannya. Entah itu dengan mengambilkan benda yang dijatuhkan si anak atau menyuruh anak mengambilnya sendiri.
HARUS DIAJARKAN
Kendati wajar namun tak berarti orang tua boleh membiarkan si anak dengan perilakunya tersebut. "Orang tua tetap harus mengajarkan mana perilaku yang boleh dan tak boleh," kata Aya. Sehingga anak tahu bahwa makanan bukan untuk dimain-mainkan tapi untuk dimasukkan ke mulut, dimakan.
Beri tahu anak secara baik-baik. Katakanlah, misalnya, "Ade, enggak boleh menumpahkah air karena lantainya jadi basah." Lalu ajaklah anak untuk membersihkannya, "Yuk, kita ambil lap. Nah, sekarang Ade lap bagian yang ini." "Jadi, anak tak didiamkan saja. Pada saat itu ia harus benar-benar diajarkan."
Tapi jangan berharap setelah itu si anak langsung berubah atau perilakunya yang demikian tak berlanjut lagi. Sebagaimana orang tua mengajari anak untuk menyanyi, makan di meja makan, dan sebagainya secara berulang-ulang, demikian pula dalam mengajari anak untuk tak menumpahkan makanan ataupun melemparkan sesuatu.
Tentunya orang tua harus konsisten dalam memberitahukan tingkah laku mana yang dianggap benar. Artinya, jangan hari ini anak diberi tahu tapi besok malah dibiarkan. Tapi orang tua juga jangan lantas banyak melarang anak. "Kalau banyak dilarang, anak justru tak akan belajar. Dia jadi tak akan tahu bahwa taplak ditarik itu akan membuat benda di atasnya jatuh, misalnya." Yang terbaik, kata Aya, orang tua membiarkan saja namun tetap dengan memonitornya selalu.
Bila si anak marah atau menangis setelah diberi tahu, menurut Aya, biarkan saja. "Orang tua tetap harus konsisten." Toh, menangis dan marah karena dilarang biasa terjadi pada semua anak dan bukan hanya dalam hal menumpahkan makanan saja. "Kemarahan anak itu disebabkan ia merasa keasyikannya terganggu. Kita saja yang orang dewasa juga masih suka marah, kan, kalau sedang asyik melakukan sesuatu lalu diganggu."
BUKAN HAL MEMALUKAN
Bagaimana jika perilaku menumpahkan makanan terjadi saat anak diajak bertamu? Menurut Aya, orang tua tak usah malu. "Bukan berarti orang tua tak bisa mendidik atau mengajari anaknya, tapi perilaku itu memang wajar. Setiap orang juga pasti akan maklum dan tahu bahwa anak usia itu sedang dalam belajar dan gerakannya pun belum benar."
Orang tua juga tak bisa berharap bahwa di usia ini anak bisa dididik menjadi anak manis. Sebab, di usia ini anak memang sedang "nakal-nakal"nya. "Jadi bukan berarti salah didik." Orang tua baru dikatakan salah bila perilaku anak yang demikian didiamkan saja atau malah dipuji.
Jadi, bila hal itu terjadi saat anak diajak bertamu, beri tahu saja baik-baik, "Jangan, Nak, nanti tumpah." Biasanya anak akan mengerti. Atau, katakan, "Aduh, jangan, dong, sayang. Nanti gelasnya pecah. Ayo, minum pelan-pelan. Sini Ibu bantu pegangi gelasnya."
Yang harus diingat, lanjut Aya, perilaku anak yang demikian juga tak bisa dianggap sebagai suatu kesalahan. Karena itu, dalam mengajari si anak hendaknya orang tua tidak menggunakan cara yang ekstrim seperti membentak, memarahi atau malah memukul.
Seiring dengan bertambahnya usia, perilaku tersebut akhirnya berkembang menjadi lebih baik. Biasanya di usia prasekolah. Karena gerakan motorik si anak sudah menjadi semakin halus, sehingga dalam mengambil makanan/minuman tak tumpah-tumpah lagi. Disamping, sesuai perkembangan usia anak pula, ia akan melihat bahwa apa yang dilakukannya itu lama-lama bukanlah suatu yang menarik lagi. Dengan demikian ia pun jadi tak tertarik lagi pada perilaku itu, tapi mulai tertarik pada hal lain. Misalnya, menulis, menggambar atau kegiatan motorik halus lainnya.
Dedeh Kurniasih/nakita
KOMENTAR