Orang tua, ujar Rostiana, sebaiknya jangan panik ketika anak ngomong kasar/jorok, "Tapi tetap harus waspada. Coba ditelusuri, apakah anak mengerti apa yang ia omongkan." Bila si anak belum mengerti, sebaiknya orang tua memberikan pengertian yang benar. Tapi bila si anak ternyata sudah mengerti, maka orang tua harus hati-hati. "Karena mungkin saja ada konsep yang belum tentu dipahami secara benar oleh anak."
Staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara ini juga menekankan pentingnya pengawasan saat anak bermain dengan teman-temannya, "Sehingga kalau ada anak yang omong kasar atau kotor bisa diberi tahu."
Sering terjadi, orang tua melarang anaknya bergaul dengan temannya yang suka omong kasar/jorok. "Mungkin kalau hanya omong kasar, kita bisa bilang pada anak agar jangan meniru omongan temannya itu. Tapi kalau anak yang suka omong jorok, seringkali juga memiliki perilaku buruk. Misalnya, suka memukul. Biasanya anak-anak ini berasal dari keluarga yang tidak harmonis dan tak mengutamakan pendidikan bagi anaknya."
Karena itulah Rostiana setuju saja bila anak dilarang bergaul dengan temannya yang suka omong jorok. "Cari teman yang lain saja. Kita, kan, nggak bisa mengatasi anak orang lain. Jadi, yang harus dilakukan adalah melindungi anak kita sendiri." Hal ini, lanjutnya, juga merupakan sanksi sosial agar orang tua dari si anak tersebut mendapatkan masukan bahwa anaknya ternyata tak punya teman. Sehingga si orang tua bisa melakukan introspeksi diri mengapa sampai anaknya dijauhi teman.
CONTOH DAN KONSISTEN
Tentu bukan berarti orang tua harus mengisolasi anak untuk menghindari anak meniru ucapan-ucapan kasar/kotor dari luar. "Nggak bisa, kan, kita selalu menunggui anak. Lagipula ia tetap saja bisa mendengar omongan tersebut, misalnya, dari teve. Ini juga akan dipelajari anak dan akan me-reinforce perilaku anak untuk juga berlaku sama," tutur Rostiana.
Yang bisa dilakukan adalah mengurangi dengan memberi contoh di rumah. "Tentu dari orang tua, karena orang tua adalah figur yang memiliki pengaruh lebih kuat bagi anak." Namun pengaruh yang lebih kuat ni hanya bisa diperoleh apabila orang tua bersikap konsisten. "Jadi, kalau kita ingin agar anak tidak omong kasar atau kotor, ya, kita pun jangan memaki-maki orang." Kalau tidak, jangan kaget dan heran apabila si anak protes. "Anak juga punya hak untuk bersikap kritis, lo, sehingga orang tua tetap bisa konsisten."
Memang, Rostiana mengakui, kadang tanpa disadari orang tua pun berbicara kasar. Contohnya, mengumpat di jalan raya tadi. Tapi ketika omongan kasar itu diucapkan oleh si anak, orang tua tak bisa terima. "Tentu ini tidak fair. Nah, ini juga yang musti dipertimbangkan orang tua." Berarti, mau tak mau kita harus berupaya agar bisa selalu mengontrol diri kita, baik dalam berbicara maupun berperilaku.
Jangan lupa, ujar Rostiana, anak merupakan cermin dari perilaku orang tua. "Baik buruknya anak merupakan satu feed back bagi kita. Yang pertama diimitasi oleh anak adalah orang tua. Jadi, bercerminlah dari anak.
BERI PENGERTIAN
Selain lewat tindakan atau contoh nyata, anak juga harus diberi tahu secara lisan. "Hal ini bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja," ujar Rostiana. Misalnya, saat menonton teve yang menayangkan adegan seseorang tengah memaki-maki orang lain, orang tua bisa bilang, "Yang ini nggak boleh ditiru, ya."
Bisa juga memberikan pengertian dengan menanyakan pada si anak. Misalnya, anak omong kasar pada temannya, tanyakan, "Bagaimana rasanya kalau Kakak dikatain begitu?" Si anak mungkin akan menjawab, "Sebel, Yah." Selanjutnya orang tua bisa bilang, "Nah, makanya jangan ngatain begitu lagi, ya. Kalau teman Kakak nggak mau main sama Kakak lagi, bagaimana?"
KOMENTAR