Bapak dan Ibu mungkin pernah menyaksikan si Upik sedang asyik memeriksa bonekanya dengan stetoskop mainannya. Atau si Buyung yang tengah serius menyupir sementara di belakangnya berderet sejumlah kursi tanpa "penghuni". Tak jarang mereka terlihat pula dalam permainan serupa bersama adik atau teman-teman seusianya. Entah itu main dokter-dokteran, rumah-rumahan, perang-perangan, sekolah-sekolahan, pasar-pasaran, dan sebagainya.
Dalam bahasa psikologi dikenal istilah bermain peran atau socio-dramatic. Permainan ini lazim dilakukan anak-anak usia 3-5 tahun. Malah, menurut Dra. Johana Rosalina K, M.A., permainan ini sangat bagus untuk si kecil. Soalnya, di usia tersebut kemampuan berfantasi, kognitif, emosi, dan sosialisasi anak tengah berkembang. "Nah, dengan bermain peran, seluruh kemampuan tersebut dapat dikembangkan oleh anak," ujar konselor sekaligus dosen di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta ini.
IQ LEBIH TINGGI
Salah satu manfaat bermain peran ialah anak bisa mempelajari banyak peran di sekeliling mereka dan lingkungan di luar mereka. Misalnya, menjadi dokter, perawat, polisi, guru, dan sebagainya. "Mereka juga akan berfantasi dan kemudian meniru, sehingga perkembangan kognitif mereka pun berkembang baik," lanjut Rosa.
Bermain peran juga membuat perkembangan intelektual anak sangat terbantu. Misalnya, "Dokter itu ngapain, sih? Oh, dokter itu menyembuhkan pasien." Nah, pemahaman tersebut diperoleh, salah satunya lewat bermain peran. Bahkan, penelitian di Amerika membuktikan, anak yang bermain peran, IQ-nya lebih tinggi dibanding anak-anak yang melakukan permainan tradisional seperti menggunting atau melipat.
"Perkembangan bahasa anak juga akan terbantu," tambah Rosa. Misalnya, anak berperan sebagai ibu. Ia akan mengenal kata-kata seperti popok, bayi, gurita, dan sebagainya.
Bermain peran juga bermanfaat bagi perkembangan moral anak. "Misalnya, sambil bermain dokter-dokteran, anak diajar mengenal nilai-nilai kemanusiaan, harus saling menolong, dan sebagainya." Anak juga belajar tentang mana yang benar dan salah.
Namun jangan memberikan informasi tentang peran yang sifatnya stereotype. Misalnya, tentang polisi yang jahat. "Mungkin orang tua punya pengalaman tak mengenakkan dengan polisi, yang kemudian ia tularkan kepada anaknya. Hal itu sungguh keliru," tutur Rosa. Dikhawatirkan anak akan memainkan peran yang salah dan akan memiliki konsep yang salah pula. "Sebaiknya beri informasi tentang polisi yang baik. Bahwa tugas polisi adalah mengatur keamanan dan melindungi warga. Atau dokter itu tugasnya menyembuhkan pasien, guru itu perannya mengajar, dan sebagainya."
JANGAN DIKOTAK-KOTAKKAN
Manfaat lain dari bermain peran ialah membantu anak menyadari perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, terang Rosa, secara kodrati ada perbedaan antara ibu dan ayah. "Akan lebih baik bila sejak kecil anak sudah diberi tahu, yang namanya perempuan, tipikalnya secara unik adalah mengasuh anak, misalnya."
Namun, Rosa mengingatkan, orang tua sebaiknya tak melakukan pengkotak-kotakan ekstrem terhadap jenis-jenis permainan. Misalnya, anak perempuan harus bermain pasar-pasaran dan anak lelaki mesti bermain perang-perangan. "Kalau dikotak-kotakkan, takutnya nanti akan terjadi bias gender sehingga pandangan anak menjadi sempit." Misalnya, perempuan harus selalu di dapur atau yang bisa menjadi tentara itu harus selalu laki-laki.
Jadi, tandas Sarjana Pendidikan lulusan IKIP Jakarta ini, "Anak harus dikondisikan secara netral. Perkenalkan padanya tentang adanya beberapa peran yang sama dan ada yang spesifik, misalnya bahwa ibu itu menyusui. Dengan begitu, anak akan melihat bahwa sebetulnya tak ada pembagian peran."
DIPANTAU DAN DIAWASI
KOMENTAR