Clumsy merupakan gangguan motorik khas. "Gejala"nya mudah dikenali karena berkaitan dengan perkembangan motorik halus. Untuk itu, orang tua harus tahu perkembangan normalnya. Tapi, bisakah clumsy disembuhkan?
Sering kita lihat seorang anak begitu keras menekankan pensil saat menulis, sehingga pensilnya patah atau kertasnya malah sobek. Atau seorang anak yang tak mampu menangkap bola dengan baik, sering menjatuhkan benda yang dipegangnya, dan sebagainya.
Biasanya orang tua akan memarahi si anak, karena dianggapnya ia sembrono, tak hati-hati. Padahal, terang psikiater anak, Dr. Dwidjo Saputro, SpKJ., si anak sebenarnya mengalami gangguan motorik khas atau disebut clumsy. "Jadi, koordinasi motorik, khususnya motorik halus, tak berkembang dengan baik. Hal ini berkaitan dengan kematangan fungsi otak," jelas pendiri dan pimpinan Klinik Perkembangan Anak dan Kesulitan Belajar Jakarta ini.
PERKEMBANGAN MOTORIK
Kemampuan motorik halus, tutur Dwidjo, diharapkan sudah muncul pada usia sekitar 3 tahun. Sejak bayi, orang tua bisa memantau perkembangan motorik halus tersebut. Misalnya, telapak tangan si kecil terbuka saat umur 3 bulan. Sebulan kemudian ia sudah bisa menyatukan kedua tangannya, lalu di usia 5 bulan bisa memindahkan benda antara kedua tangan dan melemparkan benda pada umur 9 bulan. Selanjutnya di usia 11 bulan sudah menjumput dengan dua jari (pincer grasp) dan genap setahun sudah bisa menggunakan sendok. Kemudian di usia 2 tahun bisa membuka baju sendiri, usia 3 tahun membuka kancing baju, usia 5 tahun memasang tali sepatu, dan sebagainya.
"Itu semua merupakan fungsi-fungsi kehidupan sosial sehari-hari yang diharapkan lingkungan dari seorang anak." Adapun kemunculan kemampuan ini melalui perkembangan sensoris dan motorik. "Perkembangan ini berlangsung pesat sejak bayi sampai usia 3,5 tahun, yang disebut fase sensorimotor. Fase ini merupakan dasar perkembangan kemampuan kognitif atau berpikir anak." Nah, melalui perkembangan sensoris dan motorik yang pesat ini, anak akan mengolah semua rangsang yang ia terima. Misalnya, meraba, menarik, menggenggam, mendorong, melangkah, dan sebagainya. "Dari situlah kemampuan motorik anak mulai timbul."
Jadi, melalui pengolahan sensoris motorik ini anak mulai berpikir. Misalnya, mengenal konsep jarak. Anak memahaminya melalui gerakan, yaitu dengan melangkah, "Oh, ini jauh, ini dekat." Contoh lain, melalui gerakan meraba, anak belajar tentang halus-kasar, licin-kesat, dan sebagainya. "Dengan demikian pemahamannya bukan murni pikiran tapi juga melalui pengalaman bergerak. Anak berpikir secara motorik."
Semua itu, lanjut Dwidjo, merupakan informasi yang sangat kaya untuk pengembangan kognitif anak. Sehingga, bila perkembangan motoriknya terhambat, otomatis akan juga menghambat perkembangan kognitif dan perkembangan lainnya seperti sosialisasi, kemampuan untuk menyesuaikan dan melakukan tugas sehari-hari. Bahkan, pada akhirnya juga menghambat perkembangan akademik si anak.
Hal inilah yang tak banyak dipahami oleh orang tua maupun kalangan pendidik, ujar Dwidjo, "Mereka kurang memberi perhatian." Yang justru lebih banyak diperhatikan adalah bentuk gangguan sensoris motorik dalam bentuk kecacatan atau ketidakmampuan yang berat seperti cerebral palsy. "Umumnya orang lebih tertarik mengamati akibatnya, oh, anaknya enggak bisa menulis, enggak mau sekolah. Jadi hanya dilihat dari hasil akademiknya tanpa menyadari apa yang dihadapi oleh anak."
GANGGUAN MOTORIK
Nah, pada anak clumsy, lanjut Dwidjo, fungsi motoriknya tak sempurna, khususnya motorik perceptual. "Karena anak belajar tingkah lakunya sebagian besar dilakukan di otak. Otak berfungsi menerima rangsang, yang pada umumnya berupa rangsang sensoris, yaitu apa yang didengar dan apa yang dilihat."
Misalnya, gelombang suara, apakah anak bisa hear (mendengar). Lalu setelah hear, apakah ia bisa listen (mendengarkan). "Nah, listen ini berkaitan dengan fungsi otak. Otaknya mencatat apa tidak. Bila otak tak mencatat, maka yang terjadi adalah anak hanya mendengar, bukan listen. Dalam hal ini proses dekoding-nya terganggu."
Tetapi, bila si anak listen, maka ia akan tahu. Sehingga otak akan memberi respon berupa satu sikap atau tindakan yang disebut motorik. "Motorik ini akan diatur oleh otak lagi. Kalau tidak, maka yang keluar adalah impulsifitas. Misal, gerakannya jadi enggak tertata."
Jadi, tandas Dwidjo, persoalannya bisa dirunut. Apakah output, input atau prosesnya yang terganggu. "Bila input-nya yang terganggu maka si anak tak bisa berkonsentrasi. Karena ia tak bisa menyeleksi mana input yang relevan dan tidak." Kecuali itu, indera juga berperan. "Jadi, bisa saja masalahnya bukan pada konsentrasinya, tapi pada alat sensoris tersebut."
Namun ketiga faktor tersebut belum menjamin jika kontrol output-nya yang terganggu. Karena bila ada gangguan pada kontrol output ini, yang terjadi adalah impulsif. "Sedangkan clumsy terjadi karena koordinasi motoriknya tak berkembang. Dalam hal ini alat-alatnya terganggu."
Jadi, harus dilihat apakah anak hanya mengalami clumsy saja atau fungsi kendali motoriknya juga terganggu. Ada anak yang tak bisa menulis hanya karena mengalami impulsifitas kognitif, bukan pada motorik khasnya. Ini terjadi karena fungsi pengendalian impuls motoriknya tak berkembang dengan baik.
Umumnya, 30 persen anak yang mengalami gangguan clumsy konsentrasinya juga terganggu. Sebaliknya, 30 persen anak yang mengalami gangguan hiperaktif juga mengalami gangguan clumsy.
LIFE ADJUSTMENT TERGANGGU
Menurut Dwidjo, gangguan clumsy sebagian besar berhubungan dengan faktor genetis. "Misalnya, berhubungan dengan masalah perkembangan otak waktu masih dalam kandungan, dengan proses persalinan, atau nutrisi," ujar pendiri TK Kid Gro ini.
Yang mengganggu jika disertai impulsifitas. "Kalau cuma nggak bisa berkonsentrasi, bisa dilatih. Tapi impulsifitas akan membuat lingkungan dikoyak-koyak oleh sikap anak." Clumsy yang disertai impulsif karena adanya gangguan hiperkinetik, tentu penanganannya jadi lebih sulit.
Yang jelas, baik clumsy maupun yang disertai impulsif, sejak dini harus ditangani, karena akan menghambat perkembangan kognitif dan perkembangan perilaku sosialnya. "Akan merugikan perkembangan anak di kemudian hari."
Gangguan perkembangan psikologis ini akan mengakibatkan life adjustment anak terhambat. "Tujuan fungsi perkembangan yang sempurna adalah untuk melakukan adjustment atau penyesuaian diri terhadap tuntutan hidup, sesuai dengan perkembangan usia dan harapan lingkungannya. Kalau anak mempunyai kendala, termasuk clumsy, maka jelas akan mengganggu life adjustment-nya."
Misalnya, setiap kali bermain, ia sering berbuat kesalahan. Akibatnya anak dianggap trouble maker oleh teman-temannya. "Nggak mau, ah, main sama dia. Pegang bola saja lepas terus, kok." Akibatnya, kehidupan sosialnya akan terpuruk. "Jadi, sebisa mungkin, masalah ini harus diselesaikan semasa anak berusia prasekolah."
Selain mengganggu life adjustment anak, clumsy juga akan mengganggu aktivitas akademik anak. "Anak yang clumsy, kan, enggak bisa menulis. Akibatnya, akademiknya terganggu."
BISA SEMBUH
Orang tua sebaiknya jangan memberi label. Jika kondisinya berat, sebaiknya berkonsultasi dengan ahli untuk mendapatkan arahan terapinya. Adapun terapi yang dilakukan berorientasi pada pencapaian perkembangan yang optimal, baik dari segi perkembangan motorik maupun perkembangan yang lain.
Jadi, apabila anak tak bisa memasang kancing baju pada usia dimana ia diharapkan sudah bisa melakukannya, sebaiknya jangan menganggapnya sebagai anak bodoh atau malas. "Kemungkinan besar ia mengalami clumsy."
Anak sebaiknya juga jangan dibatasi untuk harus bisa melakukan apa yang sebetulnya ia belum bisa. Biasanya, kalau anak tak bisa menulis, ia akan diminta menulis terus. "Padahal, mungkin saja anak bisa jago main bola, misalnya. Atau, bisa saja ia nggak bisa menulis, tapi jago menyanyi." Jadi anak jangan hanya difokuskan pada ketidakmampuannya saja. "Harus dikembangkan kemampuan-kemampuan yang lain. Mungkin saja kemampuannya di bidang lain justru hebat."
Apakah clumsy bisa disembuhkan, menurut Dwidjo tergantung dari hambatan yang dilatarbelakangi patologi otaknya. "Kalau nggak terlalu berat, bisa sembuh 100 persen. Misalnya, apakah juga disertai hambatan-hambatan dalam fungsi persepsinya, hambatan-hambatan dalam fungsi konsentrasinya, dan hambatan-hambatan fungsi-fungsi lain. Kalau itu ada, akan makin sulit bagi anak."
Selain itu juga tergantung sejak kapan anak mulai dilatih. "Kalau sudah lewat 5 atau 6 tahun, plastisitas otak sudah semakin berkurang, sehingga efek latihan menjadi semakin sedikit."
Latihan Untuk Si Clumsy
Jika anak Anda usia 4 tahun, cobalah minta ia mempertemukan ibu jari dengan jari kelingkingnya. Bila ia tak dapat melakukannya, sebaiknya Anda berhati-hati. Atau bila di usia tersebut ia belum bisa memasang tali sepatu atau memegang sendok. Karena, hal ini berarti koordinasinya tidak bagus. "Bisa jadi ia mengalami clumsy," ujar Dwidjo. Langkah terbaik segera berkonsultasi ke dokter ahli syaraf/neurologi anak.
Untuk mengenali apakah si kecil termasuk clumsy, orang tua harus tahu tentang perkembangan normal motorik halus. Memang setiap anak berbeda dalam berbagai aspek perkembangannya. Selain dipengaruhi faktor potensi dan kapasitas inteleknya, juga dipengaruhi pola perkembangan perorangan dan keturunan. Yang penting, jangan menganggap enteng setiap kelambatan perkembangan yang dicapainya.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk melatih motorik halus. Misalnya, latihan menjumput, meronce, atau membuat bentuk dari lilin. Dwidjo juga menyarankan orang tua untuk tak menghambat anak yang suka mencorat-coret dinding. "Dengan mencoret-coret, anak melatih kemampuan motorik halusnya. Ini akan menghindari tingkatan clumsy," ujarnya. Bila ada anak yang tak suka menulis di buku, "Mungkin saja ia memang clumsy."
Sediakan kertas yang lebar atau tempelkan lembaran kertas di tembok. Bila perlu, buatlah kotak-kotak besar pada kertas yang ditempel di tembok. Setelah itu, ajari anak untuk menulis di dalam kotak. Besoknya, kotaknya diperkecil dan anak diminta mencoret di kotak terkecil. "Tanpa disadari, anak akan mulai mengatur gerakan motorik, sehingga perkembangan motoriknya akan mulai lebih bagus."
Latihan lainnya ialah dengan meminta anak mengepalkan dan membuka telapak tangannya secara bergantian dalam waktu bersamaan. Misalnya, tangan kanan mengepal bersamaan dengan tangan kiri membuka, lalu tangan kiri mengepal bersamaan dengan tangan kanan membuka, dan seterusnya.
Hasto Prianggoro/nakita
KOMENTAR