Selain itu, teman khayal juga sebagai latihan untuk mengatasi masalah sehari-hari, belajar tentang peran, dan bersosialisasi. Misalnya, anak ngomong dengan teman khayalnya, "Adik mau makan? Makanannya enak nggak? Nggak enak, ya." Nah, darimana anak bisa berdialog semacam ini? Tentu ia belajar dari lingkungannya.
Contoh lain, anak tak suka makan sayur. Ia lalu berdialog dengan teman khayalnya, "Aku kesel, deh, kalau disuruh Mama makan sayur. Aku, kan, nggak doyan sayur." Teman khayalnya lantas menjawab, "Kamu harus makan sayur, soalnya sayur bikin tubuh jadi sehat."
Nah, di sini ada faktor pengetahuan yang diperoleh anak, bahwa sayuran itu sehat. Mungkin dalam dirinya, makan sayur merupakan masalah yang dibawanya ke situasi imajinatif. Lalu ia mencoba mencari sendiri jalan keluarnya, "Kalau begitu, makan sedikit saja, ya, nggak usah banyak-banyak." Teman khayalnya menjawab, "Ya nggak apa-apa sedikit, asal dimakan."
Atau mungkin si anak mendengar hal itu dari orang tuanya, yang lalu dikomunikasikan dengan teman khayalnya. "Jadi, semacam exercise bagi anak untuk mengatasi masalah, untuk mengatasi rasa tak sukanya, rasa marahnya, senang, dan sebagainya." Hal ini, menurut Shinto, bisa menunjang bagi pengembangan emosi si anak. Meski jarang, teman khayal juga biasanya dilakukan oleh anak-anak yang kesepian. "Mungkin ia nggak punya teman. Jadi, ia kemudian mengobrol dengan bonekanya. Atau kalau nggak ada benda apa-apa, ia akan mengobrol dengan teman khayalnya".
LIBATKAN DIRI
Orang tua, anjur Shinto, tak perlu khawatir. Justru dari teman khayal ini, orang tua bisa memantau apa yang dihadapi anak sehari-hari. Misalnya, dalam obrolan dengan bonekanya si anak bicara kasar. Nah, orang tua bisa memantau, anak belajar dari mana. "Dengan adanya interaksi yang baik, biasanya secara emosional ada kedekatan antara orang tua dan anak. Ini adalah bibit penting bagi komunikasi lebih lanjut."
Selain itu, orang tua juga bisa menggali hal-hal terpendam yang tak bisa dikemukakan oleh anak. "Jangan-jangan anak tengah menghadapi masalah." Caranya, amatilah si anak kala berdialog dengan teman khayalnya. Misalnya, ia tengah memarahi boneka atau teman khayalnya. "Nah, sebetulnya si anak itu sedang marah pada seseorang."
Alangkah baiknya bila orang tua mau melibatkan diri ke dalam dunia anak selama si anak tak keberatan. "Tapi kalau anaknya keberatan, ya, jangan dipaksa. Karena akan memutus fantasinya." Dengan kata lain, orang tua bisa terlibat sejauh hal itu akan mendorong anak untuk berfantasi.
Paling tidak, orang tua bisa merangsang anak dengan pertanyaan-pertanyaan. Misalnya si anak mengatakan, "Nggak, ah, aku nggak mau makan wortel." Lantas ditanya, "Lo, kenapa? Wortel, kan, baik. Bisa bikin tubuh jadi sehat." Dengan begitu, si anak tak merasa bahwa sebetulnya dialah yang sedang ditanya. Karena saat itu ia masih ada dalam dunia khayalnya.
Kalau si anak ada masalah, orang tua juga mengemukakan alternatif pemecahannya. Misalnya, anak sedang menonjok-tonjok teman khayalnya. Jangan orang tua langsung melarang dengan mengatakan, "Jangan ditonjok, kan, sakit." Tapi katakan, "Kalau Adik ditonjok-tonjok, rasanya bagaimana?" Cara ini, terang Shinto, mengajak si anak untuk berpikir dan lalu berempati, "Oh, iya, ya, kalau ditonjok, kan, sakit." Sehingga, fantasinya pun "berjalan". Jadi, dengan orang tua mendampingi atau melibatkan diri, akan bisa mengarahkan fantasi si anak. "Tapi bukan ikut campur, lo," tandasnya.
DAMPAK NEGATIF
Yang penting, kata Shinto, jangan sampai si anak terlalu asyik dengan teman khayalnya. "Kalau anak sampai menghabiskan banyak waktunya dengan berfantasi yang lalu membatasi aktivitasnya dalam bidang lain atau bersosialisasi, orang tua baru boleh khawatir. Karena hal ini sudah di luar kewajaran." Misalnya, anak jadi lebih senang mojok dengan teman khayalnya. Ia hidup di dunianya sendiri.
Seperti ditulis Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya yang dialihbahasa Perkembangan Anak, ada 3 dampak negatif teman khayal. Pertama, teman khayal tak dapat mengajarkan keterampilan bermain atau memberikan kesempatan bagi anak untuk mempelajarinya dari permainan yang bersifat kooperatif dengan anak-anak lain. Kedua, anak dapat berperan sebagai pemimpin di tengah-tengah teman khayalnya dan mendominasi situasi permainan. Hal ini mendorongnya untuk selalu memerintah, suatu kebiasaan yang akan menghambat usahanya untuk berperan sebagai pemimpin di tengah-tengah teman sebayanya atau bahkan untuk dapat diterima sebagai pengikut dalam kelompok teman sebayanya itu.
Dampak terakhir ialah anak tak akan memperoleh kesempatan untuk mempelajari berbagai pola perilaku seperti wawasan sosial, kerja sama dan sportivitas. Hal ini jelas akan menghambatnya untuk dapat diterima oleh teman sebayanya ketika ia menyadari bahwa teman khayal sudah tak dapat memenuhi kebutuhannya akan teman.
Oleh karena itu, anjur Shinto, orang tua harus memberi anak kegiatan yang banyak memerlukan sosialisasi. Entah memberi kesempatan luas untuk bergaul dengan teman sebayanya, masuk kelompok renang, sanggar lukis, dan lainnya. Tak sulit, kan ?
Hasto Prianggoro/nakita
KOMENTAR