Dalam perkembangannya kemudian, barulah obyek kecemasan itu menjadi lebih nyata, yang disebut kecemasan sekunder. Contohnya, anak takut pada orang yang baru dikenalnya, takut pada binatang tertentu, takut ditinggal sendirian, dan sebagainya.
Pada kecemasan sekunder ada yang dinamakan ketakutan karena tuntutan perkembangan. Misalnya, ketika bayi mulai belajar berdiri atau berjalan. Ia cemas karena tak terbiasa dengan pengalaman tersebut. Seolah-olah ia menghadapi sesuatu yang sulit dan mengerikan. Ia jadi takut untuk belajar berdiri/berjalan.
Bila orang tua tak membantu mengatasi kecemasannya, maka akan berpengaruh pada cepat-lambatnya perkembangan si anak. Misalnya, orang tua tak pernah melatih si anak berjalan. Maka kecemasan/ketakutan si anak tak pernah terselesaikan, sehingga perkembangannya pun terlambat.
Selain ketakutan karena perkembangan, ada juga ketakutan yang berkaitan dengan kejadian sehari-hari dan berdasarkan pengalaman hidup yang berasal dan ditentukan oleh dunia luarnya. Misalnya, anak dimarahi orang tuanya karena berkelahi dengan temannya. Hal ini membuatnya jadi takut.
Perlu diketahui, semua ketakutan yang bersumber dari kecemasan primer ini dipengaruhi pula oleh faktor kecerdasan. Anak yang kurang cerdas cenderung menginterpretasikan sesuatu lebih dengan ketakutan. Karena ia sulit mengerti sehingga apa-apa diinterpretasikan salah.
BELUM TENTU JADI FOBIA
Semua ketakutan yang dialami anak, lanjut Dwidjo, akan direkam. Sehingga pada suatu ketika bisa saja salah satu dari ketakutan tersebut muncul keluar kala si anak menghadapi situasi yang hampir sama. "Nah, pada situasi tersebut timbullah ketakutan yang irasional."
Misalnya, waktu usia setahun ia digigit anjing. Ia punya persepsi bahwa anjing adalah monster menakutkan. Ketika dewasa, bisa jadi ia fobia terhadap anjing. Begitu melihat anjing, ia langsung histeris meskipun si anjing cuma diam saja. "Jadi, kesan khusus tentang anjing yang ada pada anak itu tak bisa diungkapkan secara mudah dan sederhana. Mekanismenya sudah ada dalam alam bawah sadarnya."
Kendati demikian, tak semua ketakutan pada masa kanak-kanak akan menjadi fobia. Sekalipun ketakutan tersebut tak ditanggulangi. "Banyak, kok, anak yang takut di masa kecilnya, tapi begitu sudah besar tak fobia." Karena ketakutannya di masa kecil itu tidak dipersepsikan secara berlebihan, tapi wajar-wajar saja. Tapi kalau ia mempersepsikan ketakutannya secara berlebihan, tidak wajar dan rasa takutnya didiamkan, tanpa disadari lama kelamaan di alam bawah sadarnya ia menghubungkan ketakutannya tersebut dengan apa yang dipersepsikannya. Misalnya karena digigit kucing lalu ia takut kucing. Kemudian ia mempersepsikan kucing tersebut sebagai 'monster'. Nah, ketakutan yang tidak wajar ini lah yang kelak menimbulkan fobia. Karena itu jangan biarkan anak menghadapi ketakutan sendirian dan menghayati ketakutannya secara berlebihan. Karena itu bisa memunculkan gangguan-gangguan kecemasan.
TINDAK PENCEGAHAN
Agar tak timbul fobia pada anak kelak, maka yang pertama-tama harus dilakukan orang tua ialah menciptakan lingkungan yang kondusif. "Orang tua harus paham bahwa anak butuh rasa aman. Tapi seringkali yang terjadi malah kebalikannya. Orang tua yang butuh rasa aman. Misalnya, anak terbangun dan menangis, tapi orang tua malah memarahi. Seolah-olah anaklah yang harus menciptakan rasa aman bagi diri orang tua," tutur Dwidjo.
Padahal, sambungnya, dengan menangis si anak memberitahukan situasi emosinya pada orang tua. Di sini orang tua dapat belajar memahami emosi dan perasaan anak. Kalau tidak, akan memperkuat rasa takut anak saja. Itulah mengapa Dwidjo menekankan orang tua harus memiliki kapasitas emosi yang matang dan baik. "Kepribadiannya juga harus cukup dewasa. Karena dari orang tua, anak belajar bahwa lingkungannya itu aman, hangat dan bisa dipercaya. Sehingga ketakutannya menjadi minimal sekali."
Selanjutnya yang harus dilakukan orang tua ialah memberikan penjelasan tentang situasi-situasi atau obyek yang ada di sekitar anak. Tentunya disesuaikan dengan kemampuan berpikir si anak. "Jadi, anak dibantu untuk mengidentifikasi pengalaman-pengalaman yang pernah dilihat dan dialaminya. Dengan demikian akan mengembangkan penghayatannya tentang realita yang dihadapinya. Hal ini akan mengurangi ketakutan-ketakutannya."
Dengan demikian anak akan tumbuh sehat dan berani. Ia tak takut untuk mengeksplorasi dunianya.
Dedeh Kurniasih/nakita
KOMENTAR